SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Sabtu, 30 Mei 1998

Oportunis

Oleh Makcbulatov
Makassar, 28/5/98

Labil, oportunis, plin-plan, bermuka dobel, adalah lazim dalam nuansa ketidak-pastian. Relativitas pendirian, paling tidak, bukan kesalahan. Semua orang menginginkan dirinya selamat, bahkan di luar dugaan dapat menjadi pahlawan. Keprihatinan para budayawan, bagaimana usaha membangun harga diri bangsa dengan cara beradab. Kelaziman manusia sebentuk di atas, perlukah disebut beradab. Sisi gelap seperti ini menghantui pahlawan, yang seratus persen penuh perjuangan. "Pahlawan gadungan," sebut Mohamad Sobari, "macam ini selalu hadir setelah jelas siapa pemenang."


"Bagaimana menjelaskan hal ini?" tanya mahasiswa demonstran di Lapangan Karebosi, Ujungpandang dalam aksi demonstrasi menuntut reformasi Mei 1998.

Saya rasa tak seorangpun waras pikirannya. Apalagi di tengah kesempatan. Orde Baru dihancurkan oleh kesempatan nyeleweng. "Prinsip" jauh lebih kurang penting ketimbang kelestarian peran dan kehendak. Orde Baru tidak memberi kita kesempatan mengerti pembangunan harga diri. Untuk itu, rencananya, wajarlah jika ditentukan oleh arah hembusan angin. Anggota MPR, umpamanya, bagaimana mengklasifikasi prinsipnya: pakai kain kotor melap jendela bersih.

Dalam era perjuangan reformasi Mei 1998, pasti banyak pihak mengoleksi sejarah yang tidak bertangung jawab dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Saya melihat pengalaman itu ada pada film G30S/PKI. Sejarah perjuangan itu akan dilelang setiap ada kesempatan mengadakan seminar, diskusi, nostalgia. "Ini sejarah perjuangan bangsa, dik," kata operator pemutaran film layar tancap G30S/PKI. Ia bersemangat sekali bertutur, entah karena saya masih murid SD atau karena ia juga mencoba ambil bagian dalam proyek pembohongan tanpa ampun itu. Keheroikan memang sering menampilkan daya pikat dan sejarah menjadi subjektif.

Sepertinya tak perlu saya pungkiri. Harmoko dimufakati sebagai ketua DPR/MPR RI agar Soeharto, betul pernah hendak "lengser keprabon", terpilih kembali sebagai presiden RI periode 1998-2003. Tetapi imbauan Harmoko sebagai pernyataan resmi pimpinan DPR & MPR RI 18 Mei 1998 agar Soeharto dengan arif dan bijak mengundurkan diri dari jabatannya, bukan kelaziman. Kita disuguhi real perubahan melawan imaje yang diinjeksikan Orde Baru di kepala kita. Luar biasa sahutan mahasiswa penuntut reformasi di kompleks suara rakyat ketika itu pada Harmoko. Tapi nurani saya jijik menyebut Harmoko sebagai pahlawan, minimal kontributor reformasi 1998.

"Saya curiga kamu cuma sakit hati," pendapat seorang teman atas sikap saya. Jika memang antipati terhadap Harmoko itu ekspresi sakit hati, apakah cuma saya. Silakan hitung orang sakit hati namun tidak ngomong atau mengaku.

Katakanlah Harmoko adalah personifikasi sistem dan budaya ABS (Asal Bapak Senang). Apa pendapat kita terhadap Harmoko terakhir, yang mengusahakan kesenangan namun bukan untuk "bapak". Terakhir, kecurigaan kita yang beralasan, yakni identitas interest politik mereka jelas.

Ibaratnya pusat perbelanjaan. Kadang-kadang berwajah Kristen, Islam, Nasionalis, tergantung aroma hembusan angin. Hari Raya Natal misalnya, rak-rak toko dipenuhi miniatur pohon cermara atau boneka Barbie. Isi rak-rak itu berubah sekejap seandainya tanggal 17 Agustus hanya berselang dua atau tiga hari dengan Hari Raya Idul Fitri. Orang-orang seperti Harmoko, harus menyiapkan berbagai macam wajah dan watak.

Prinsip konstant dalam tempratur bangsa yang fluktuatif sulit bagi umumnya orang. Belum perlu mencari atau menentukan suri teladan. Apalagi orang dengan gampang mencampakkan masa lalunya, bisa diminta tanggapan Harmoko tentang Harmoko era Orde Baru. Seminggu sebelum Soeharto mengundurkan diri, Sidang Istimewa MPR dan mempercepat Pemilu menurut Habibie adalah inkonstitusional. Bandingkan Habibie setelah dilantik jadi Presiden RI menggantikan Soeharto. Pendirian dalam atmosfir politik enggan menganak-tirikan vested interest.

Waspadalah terhadap zaman edan, pesan Ronggowarsito. Selama waspada setiap saat, kita akan jadi pemenang. Harmoko orang waspada, Habibie juga waspada. Mungkin Amien Rais dan Nurcholis jauh lebih waspada. Bagaimana masyarakat menentukan kewaspadaan patut? Terlebih dahulu menentukan kenapa tokoh-tokoh tadi waspada. Ada waspada karena kepentingan umum dan ada juga waspada karena menghambat kepentingan sendiri.

(Dimuat di IDENTITAS Unhas pada Juni 1998)

Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim