SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Sabtu, 30 Januari 1999

WALI KOTA UJUNGPANDANG MENGORDER SWASTA UNTUK MENARIK PAJAK

Ujungpandang, Indonesia
21 Januari 1999

(Laporan Investigasi)

Oleh Maqbul Halim

Reporter Crash Program


UJUNGPANDANG --- Tiga bulan menjelang masa jabatannya berakhir, Wali Kota Madya Ujungpandang, Andi Malik Baso Masry, membuat keputusan yang spektakuler. Mulai 1 November 1998, urusan pajak pembangunan yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dikelola oleh swasta, yakni PT Maupa Utama, anak perusahaan Fajar Grup, pemilik penerbitan harian harian Fajar, Ujungpandang. Pajak yang dimaksudkan adalah yang bersumber dari hotel dan restoran.



Penanda tangan Memorandum of Understanding dilakukan awal Oktober 1998 oleh Alwi Hamu selaku direktur utama PT Maupa Utama dan Basry selaku Wali Kota Madya. Dalam kesepakatan itu target pencapaian pajaknya ditetapkan sebesar Rp7 milyar per tahun. Bila hasil yang diraup melebihi target, sisanya akan dibagi 25 persen untuk Pemerintah Daerah (Pemda) dan 75 persen untuk PT Maupa Utama. Namun bila target tidak tercapai, PT Maupa tidak mendapat apa-apa kecuali kerugian lantaran mempekerjakan 110 karyawan dan biaya operasional lainnya.


Untuk itu, PT Maupa ditunjuk sebagai pemegang hak untuk melakukan pendataan subjek dan objek pajak pembangunan itu. Selain itu, perusahaan ini ditunjuk sebagai satu-satunya perusahaan di Ujungpandang yang diperkenankan membuat bon pesanan seragam (BPS) -- yang wajib diisi pada setiap transaksi antara konsumen dan kasir. Biaya yang dikeluarkan konsumen untuk pajak sebesar 10 persen dari total transaksi.


Baru seminggu beroperasi, sejumlah pengusaha hotel, restoran, dan rumah makan di Ujungpandang serentak melancarkan protes keras kepada Wali Kota dan perusahaan swasta itu. Badan Pengurus Daerah Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia Sulawesi Selatan (BPD PHRI Sulsel) melalui ketuanya Andi Ilhamsyah Mattalatta, melayangkan Surat Maklumat Nomor 081/A/BPD-SLS/X/1998 yang ditujukan kepada seluruh pengusaha hotel dan restoran anggota PHRI Sulsel. Surat tersebut berisi seruan untuk menolak penggunaan BPS Maupa Utama. PHRI juga menyatakan penolakan BPS itu yang juga ditembuskan ke Pemda Sulsel, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Ujungpandang, dan Direksi PT Maupa Utama.


Persatuan hotel dan restoran itu menolak model penerapan pemungutan pajak tersebut dengan alasan tidak didahului dengan pemberitahuan kepada organisasi itu sebelumnya. Mattalatta menilai, kerja sama antara Wali Kota dan swasta itu mengandung unsur-unsur kolusi. Sebab, katanya, menurut aturan baru yang dikeluarkan Pemda, pajak hanya dibebankan kepada konsumen yang makan di restoran dan yang menggunakan fasilitas di hotel-hotel. Dengan demikian, apa pun alasannya, tambahnya, semestinya dilakukan koordinasi dengan pihak PHRI Sulsel. "Seharusnya Wali Kota melibatkan kami dalam pengambilan keputusan tersebut," ujar Mattalatta, Sabtu, 21/11/1998, di kantornya.


Meski diterjang protes, perusahaan itu tetap saja menjalankan kegiatannya. Tidak hanya hotel dan restoran yang dijadikan objek pajak, tetapi rumah makan kaki lima pun diharuskan membeli BPS seharga Rp 2.500 sampai Rp 6.500 per buku. Sejumlah pengusaha rumah makan yang dikonfirmasi mengaku terpaksa membeli BPS tersebut karena diancam dengan sanksi dari Pemda.


Tindakan-tindakan yang dilakukan karyawan PT itu di lapangan juga disesalkan oleh para pengusaha. Nadjamuddin, pemilik warung makan di Jalan Sultan Alauddin, mengaku sering diintimidasi petugas pajak swasta itu. "Kami tidak mau tahu ada orang makan atau tidak, lunas atau tidak bonnya, yang jelas harus setor BPS sesuai dengan jumlah yang kami serahkan,'' ujarnya menirukan karyawan PT itu. Bahkan, seperti pengakuan Muhammad Amir, pemilik warung makan Sari Laut di Jalan Hertasning, petugas pajak itu sering mengancam pemilik rumah makan yang selalu terlambat menyetor BPS-nya dengan mengatakan bahwa usahanya akan ditutup Pemda.


Lebih dari itu, Maupa juga melakukan pengawasan terhadap pengusaha wajib pajak. Perusahaan ini menjanjikan bonus sebesar Rp50 ribu sampai Rp100 ribu kepada masyarakat luas yang berani melaporkan adanya hotel, restoran, atau rumah makan yang tidak menggunakan BPS. Tindakan ini dinilai sudah jauh dari kesepakatan mengingat tugas penagihan dan pengawasan merupakan wewenang Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda).


Direktur PT Maupa Utama, Zulkifli Gani Ottoh, yang dikonfirmasi menampik pernyataan bahwa perusahaannya telah melakukan intimidasi dan pemaksaan dalam penggunaan BPS. "Kami hanya mencetak bon, mengantar, dan mengumpulkannya kembali," katanya.


Belakangan, Wali Kota mengakui kekeliruan mitranya. "Ibarat penjaja kaki lima yang diizinkan menjual di pinggir jalan, ternyata barang jajaannya digelar hingga ke tengah jalan. Begitulah praktek PT Maupa Utama," jelas Basry. Ia juga mengakui, kerja sama dengan Maupa dalam pengelolaan pajak itu belum mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD Ujungpandang. "Tetapi, catatan Dewan telah memberi warning bahwa konsep ini bisa dilaksanakan untuk uji coba," kilahnya.


Soal tudingan kolusi dalam penunjukan Maupa sebagai mitra, ia tidak ingin banyak berkomentar, apalagi dikaitkan dengan kursi jabatannya yang berakhir Januari 1999. "Jangan tanya itulah, tanya yang lain saja," ucapnya menghindar.


Logikanya, Basry memanfaatkan jasa perusahaan yang juga mempunyai penerbitan pers, karena pers dinilai sangat efektif untuk--salah satunya--mendukung kursinya, seperti yang dianalisis oleh masyarakat.


(Maqbul Halim adalah wartawan tabloid Pancasila dan peserta Program Beasiswa untuk Wartawan LP3Y-LPDS-ISAI)

Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim