SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Minggu, 11 April 1999

Pendidikan Itu Biadab

Pemanusiaan manusia, mestilah ditempuh secara beradab juga; Pasti bukan dengan cara tidak beradab (biadab), semisal menggali potensi komersial binatang menurut pola-pola umum-universal (dipandang sebagai benda-benda). Asumsi ini menunjuk kepada suatu proses yang harus ditinjau secara parsial menurut orientasi sejarah dan peradabannya. Proses tersebut, menurut cara modern adalah mengorganisir perubahan pikiran dan mental (spritual) secara sistematis menurut prinsip-prinsip dasar modernisme itu sendiri, hal yang kemudian diistilahkan sebagai pendidikan (educatio).


Orientasi sejarah dan peradaban dalam pendidikan tersebut sangat perlu, sebab individu dan masyarakat hanya bisa dijelaskan dan dielaborasi tidak cukup hanya dengan mempersoalkan apa masa depannya, atau apa realitas kekiniannya saja. Meminta seseorang untuk menyebut siapa orang tuanya, dibesarkan di mana, adalah pertanyaan yang sulit kita hindarkan manakala hendak merefleksikan eksistensi kemanusiaannya. Bukankah pertanyaan itu menyangkut masa lalu? Sejarah adalah termasuk bagian paling integral dari totalitas eksistensi manusia (manusia setutuhnya). Sebab sejarah adalah proses 'menjadi' dari sebuah peradaban. Tujuan pendidikan sendiri, seperti termaktub dalam Tujuan Pendidikan Nasional, adalah menciptakan manusia Indonesia seutuhnya.

Asumsi pada paragraf awal tadi membutuhkan penegasan tersendiri untuk memisahkan proses yang manusiawi dari kebiadaban wacana pendidikan style moderen di tanah air. Pemisahan itu akan memberi titik terang: Seperti apa pendidikan yang disebut "beradab" dan yang disebut "biadab"? Pendidikan yang biadab itu akhirnya jelas, yakni usaha sistematis memisahkan individu dan masyarakat dari sejarahnya sendiri. Individu dan masyarakat sebagai sebuah konsep --sejarah adalah konsep sebuah peradaban-- memerlukan suatu asal, atau suatu pusat sehingga proses ke arah "beradab" dapat berlangsung.
Dalam sebuah artikelnya (Ulumul Qur'an No.1 Vol V, Th. 1994), Goenawan Mohammad memberikan pengakuan yang sangat membantu kita dalam hal ini. Tiap musim semi orang Brugges (kota di Belgia tempat Goenawan mengikuti program megister) menyelenggarakan prosesi Darah Suci: puluhan orang dewasa dan anak-anak berpawai memperagakan cerita-cerita penting dari Injil. Mereka bagai diorama yang hidup. Goenawan menyaksikan persis seperti lukisan kuno. Dengan kereta keledai dan kostum prajurit-prajuri berkuda menirukan kontingen Romawi menaklukkan Yerusalem. Konon, beberapa percik darah Yesus dibawah dari Tanah Suci Yerusalem oleh seorang kesatria Eropa 700-an tahun yang lalu usai Perang Salib. Darah itu diarak keliling kota Brugges sebagai prosesi sejarah. Menyaksikannya, kata Goenawan, tak ubahnya kita membaca Injil.

Goenawan kemudian mengatakan: ''Saya sangat menikmati acara itu, tapi saya tahu: seandainya pun saya kemudian memutuskan tinggal di kota itu, dan mencatatkan diri sebagai warga yang baik, saya tetap tak akan merupakan bagian yang sah dari persambungan yang tergambar dalam prosesi di musim semi itu." Goenawan adalah penghuni yang berada di luar sejarah. Dan, Goenawan tokh tidak bisa diterangkan oleh gestalt yang ada. Ia berasal dari sebuah negeri di masa enam abad silam. Masa yang tak memberi bekas atau menampakkan kesinambungan dengan hari Prosesi Darah Suci itu. Proses peradaban sebagai sebuah sejarah itulah "gestalt", istilah yang dipopulerkan oleh James Baldwin dalam "Notes of a Native Son".

Kembali ke masalah pendidikan, peserta didik yang dipunya sekarang, adalah bagian sejarah dari sebuah peradaban Yunani, negeri Paman Sam, negeri asal boneka Sinterklas, atau dan sebagainya. Perubahan mental dan pikiran mereka diorganisir menurut "material-material" peradaban dan kebudayaan itu sebagai asal yang berkembang menuju menjadi perangkat ilmu, ilmu pengetahuan, filsafat, pendidikan, sains dan teknologi. Melalui kolonisasi, imperalisme (kultural) dan orientalisme, westernisasi menjarah orisinilitas mental dan pikiran para Inlanders atau nativeman (pribumi). Bahkan orientalis berhasil memberi label kepada pribumi di Afrika dan Asia sebagai suku bangsa barbar. Marco Polo ketika pertama menginjakkan kakinya di Benua Amerika langsung membuat catatan singkat yang menyebutkan bahwa, kehidupan pribumi (non Western) sangat tidak beradab dan liar, mereka memakan sesamanya.

Bagaimana mereka dijinakkan dari Barbarismenya, itulah wacana instrumen yang dikembangkan westernisasi. Secara membabi buta, atas dasar kesadaran etisismenya, "inlander" ini harus dibuat jadi beradab. Maka pendidikan pun diletakkan sebagai menumen yang memisahkan pribumi dari sejarah peradabannya yang hitam, bila perlu dengan cara despotis sekalipun. Pendidikan kemudian menyajikan materi-materinya seperti Revolusi Kemerdekaan Amerika Serikat 1774, Darwinisme, kehidupan demokrasi di polish Athena Yunani, dan memperkenalkan Hari Valentin. Kurikulum-kurikulum pendidikan telah mengunci leher pribumi sehingga tak sanggup lagi untuk menolehkan perhatiannya ke sejarah dan peradabannya sendiri.

Kemasyhuran sejarah bangsa seperti tradisi demokrasi yang pernah hidup di kerajaan Wajo abad ke-14, mozaik hikayat I La Galigo dari kerjaan Luwu, atau Petualang seperti Lamaddukelleng, Syekh Yusuf Al-Makassar, ajaran Taoisme, atau ajaran tanpa kekerasan (Ahimsa) dari Mahatma Ghandi, tidak menjadi sukma keintelektualan insan akademis di Timur. Realitas mereka hanya gampang diterangkan oleh narasi filosofis yang rada-rada mitologis (bukan seperti disebut berturut-turut tadi): pertarungan dua pahlawan peradaban: Logos (protagonis) dan Mitos (antagonis). Narasi filosofis ini memiliki gestaltnya sendiri, dan kita dari timur, berasal dari gestal yang berbeda. Memang telah terjadi, kurang lebih tidak sama dengan pengalaman Goenawan tadi, serangan badai ke Timur melalui instrumen pendidikan. Sebuah fasilitas demarkasi yang telah mengitegrasikan kekalahan kita ke sebuah gestalt yang disebut sebagai "Barat". Yang lebih ironis adalah "modern".

Ilmu-ilmu sosial yang sekarang ini --baik yang berteori canggih (positivisme) maupun yang malu-malu menyebut diri Post-Strukturalis, atau juga mazhab Frankfurt-- di dunia perguruan tinggi negara-negara bangsa berkembang seperti Indonesia sangat menderita karenanya. Masyarakat sosial setempat dielaborasi oleh perguruan tingginya (sarjananya, boleh jadi juga guru besarnya) dengan pencerabutan dari sejarah dan peradabannya sendiri yang amat menyedihkan. Kemudian fenomena sosial masyarakat kita dibumbuhi dengan paradigma-paradigma masyarakat western sehingga memudahkan riset-riset untuk membingkainya pada sebuah kesimpulan yang amat mengagumkan namun sangat berbahaya: sebab "biadab". Kita punya intelektual bijak sekaligus feodal seperti Karaeng Pattingaloang, tapi karena berasal dari Timur, maka oleh orientalis dikategorikan sebagai bangsa Barbar.

Hal ini memang menjadi rumit. Wajah ketimuran kita hanya interpretasi Barat tentang dunia, atau Dunia Timur (non Barat). Generasi yang ada sekarang telah berhasil diselundupkan ke dalam dan berevolusi menurut garis linear interpretasi itu. Maka, materi-materi pengetahuan tentang kebudayaan dan peradaban Timur, milik kita sekalipun, hanya dapat dipelajari dari persepsi mereka. Kita dipisahkan oleh sebuah jarak terhadap wacana-wacana kebudayaan sendiri. Ibarat perjalanan, melalui kendaraan pendidikan, bangsa Indonesia terutama suku-bangsanya yang tersebar di seluruh Nusantara, telah melangkah meninggalkan sejarahnya yang sudah jelas alamatnya, dan beralih ke sejarah lain yang tak mungkin mereka tembus sebab berasal dari "gestalt" yang berbeda. Oleh sebab itu, terombang-ambing. Meninggalkan tujuannya dan berusaha meraih arah yang sudah pasti bukan tujuannya (menurut sejarah dan peradabannya).

Sekarang, kalangan intelektual semakin sulit dan rumit untuk kembali mengaktualisasikan potensi-potensi lokalnya yang telah tercerabut itu. Adalah Prof. Dr. Abu Hamid yang disertasinya mendeskripsikan kembali petualangan spritualitas Syekh Yusuf Al-Makassar hingga kota Goerge Town, Afrika Selatan, tokh tidak menjadi cermin bagi pemikiran para intelektual di Makassar misalnya. Menyedihkan memang, karena hal itu dianggap sebagai hal yang baru, unik oleh masyarakatnya sendiri, dan diselaraskan dengan roman-roman picisan Motinggo Busye, misalnya. Potensi lokal alam pikiran Abu Hamid masih mungkin diterangkan dengan sejarah Syekh Yusuf. Tapi intelektual generasi terkini yang telah nyaris tuntas pencerabutan mereka dari sejarah dan peradabannya sendiri, mungkin hanya bisa diterangkan dengan epistemologi rintisan Rene Descartes, atau Charles Darwin, karya agung Shakespare dan seterusnya.

Itulah sebabnya Edward W. Said mewanti-wanti tentang gampangnya integritas intelektual seseorang ditundukkan oleh imperialisme kultural kesenian dan kesusastraan Barat (Edward W. Said: 1979). Yah, kita telah meninggalkan sukma masa lalu sendiri, dan itu sangat berbahaya dalam kehawatiran Anwar Ibrahim, mantan Deputi Perdana Menteri dan Keuangan Malaysia. Untuk itu, ia mengangkat legenda Melayu si Tenggang (di Indonesia, populer dengan nama si Malin Kundang) yang tercerabut dari akal kulturalnya sendiri (Anwar Ibrahim: 1996). Maka yang jelas terjadi, kita telah membiadabi diri sendiri. Jelas, karena pendidikan ini tetap dibiarkan menelorkan manusia-manusia yang tercerabut dari akar kulturalnya sendiri, terasing dari potensi-potensi lokalnya. (Maqbul Halim)

Pernah dimuat di Koran Kampus identitas, kolom Bias, tahun 1999.
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim