SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Senin, 12 Juli 1999

Catatan Tahun 1999: Tintah Putih di atas Kertas Putih

Oleh Maqbul Halim*

Banyak yang telah terjadi sepanjang tahun 1999 lalu. Di atas gerbon waktu tempat kita menumpang, sejumlah kemajuan peradaban yang terartikulasi dalam kehidupan manusia, hadir serempak dalam pengalaman atau pengetahuan kita. Kita sempat melambaikan tangan sembari sesekali mengucapkan pikiran, dan bahkan pula sempat turut bertindak untuk menyatakan eksistensi. Dalam riuhnya perjalanan itu, gerbon kita sering tersentak oleh banyak harapan dan cita-cita yang dijumput menjadi satu untuk sebuah penghidupan yang lebih beradab dan menjanjikan.


Banyak juga titik-titik peristiwa itu ada kalanya hendak mengajak kita berhenti pada rentan yang tidak memberi kita waktu untuk menunggu. Cara kita menoleh pun selalu menjadi sebuah teka-teki tanpa argumen irrasional dan rasional. Sebab hampir setiap titik pemberhentian, selalu saja banyak yang menitipkan serpihan dirinya agar tak alpa pada setiap kemajuan dan perubahan pada tiap halte, misalnya. Menjadi pahlawan pada setiap titik itu tiba-tiba menjadi sebuah trendi yang begitu menggiurkan. Ia adalah candu yang siap meluruhkan imajinasi tentang warna dan akhir perjalan untuk nantinya diberi arti dan makna. Barangkali pada saat itu, kita (inner self) sedang tidak berjalan sama sekali, dan untuk pengertian lain justru kita adalah objek perjalanan itu sendiri.

Ketika rakyat Indonesia diajak untuk berdemokrasi di bawah panji demokrasi Pemilu Juni 1999, banyak yang tidak sanggup menahan diri berhenti sejenak berpikir sehat. Segala ambisi dan keterpaksaan tumpah menghampari lahan baru demokrasi yang konon belum tergarap berdasarkan cita-cita bangsa Indonesia yang orisinil. Kita seakan-akan menjadi sebuah proses dari gerak mekanik yang sulit ditentukan sentrumnya. Sebuah irama musik tengah dipentaskan tanpa pemandu dirigen dan mengalir sepanjang kehendak pribadi masing-masing aktor. "Role of Low" atau "Role of the Game" tidak lebih dari sebuah instrumen temporer. Itu dibutuhkan hanya ketika aktor, pada saat yang sama adalah seteru, melangkah maju melampaui kemampuan kita secara objektif. Tentu sulit diterima akal sehat, pementasan musik konser bakal berlangsung sukses di bawah rivalisasi, di mana ambisi dan tipu mislihat diramu menjadi keteratuan yang kacau atau kekacauan yang teratur.

Biar bagaimana, pada kenyataannya, kita telah sukses melaksanakan Pemilu Juni 1999 dan SU MPR RI 1999. Hasilnya pun sangat jauh di luar bingkai perangkat dan kesimpulan analis dan pakar politik. Bersandar dari hasil yang di luar analisis pakar itu, yang telah menggeluti pekerjaannya sejak mengjinjak dewasa dulu, memberi kita pelajaran sangat berharga. Kita masih ingat akan ancaman desintegrasi sosial menjelang dan pada saat pelaksanaan Pemilu Juni 1999 silam. Di sana, para pakar dan analis sosial-politik ramai menata dan merumuskan setan-setan menakutkan yang dikandung Pemilu Juni 1999 melalui seperangkat teori dan metode. Setan-setan itu dirancang secara sistematis dan cermat melalui publikasi segencar-gencarnya. Selanjutnya, publik dengan afdhal dan penuh kesungguhan memaklumkan ketakutan-ketakutan. "Social Disarter have been viewed of failed to the methodologi and theory".

Proses berbangsa pada pada titik itu telah banyak membuat orang-orang pintar kita menjadi bodoh dan dongkol. Kedongkolan itu sendiri lantas beranjak menjadi sebuah momen yang mengisi kekosongan massa akan sebuah wawasan sosial dan politik yang berorientasi masa depan bangsa. Jangankan masyarakat awam, para pakar dan analis sendiri pun sulit melukiskan masa depan bangsa yang sedang mengalami transisi ini. Kedongkolan ini juga telah mendistorsi prestasi-prestasi demokrasi bangsa yang telah dicapai melalui Pemilu Juni 1999 dan SU MPR RI 1999. Pada tingkatan komperatif proporsional tertentu, masyarakat awam atau massa itu, justru telah berhasil memberi makna dan citra diri perilaku politiknya pada sebuah pelaksanaan Pemilu Juni 1999. Dibanding dengan massa atau masyarakat awam itu, para intelektual atau analis dan pakar sosial-politik itu tidak mampu memparadekan kepiawaiannya berpolitik-demokrasi dalam mengelola negara dan pemerintahan. Hal yang terakhir ini memang menjadi tirai kelam yang terbentang menutup penghujung tahun 1999. Sebuah ending ekspresi politik yang sama sekali tidak memikat.

Persaksian demi persaksian kita catat dengan tenang sambil sesekali menenggak kopi hangat. Prahara, duka, malapetaka, semua jelas tergores di atas tikar sejarah. Tak ada yang terlewatkan meskipun gerbong kereta melaju dengan kencangnya. Semua penumpang bersorak-sorai memekikkan "hidup rakyat" dan mari menjelang "Indonesia Baru". Sedangkan di gerbong berikutnya, sayup-sayup terdengar pekikan "Selamat Datang Millenium ke-3 Tahun 2000" terbawa angin. Mungkinkah kita dapat bercermin dari catatan-catatan itu? Mengapa catatan itu tidak memberi petunjuk atau peta yang jelas dan tegas tentang masa-masa krisis? Mengapa dakwaan-dakwaan dalam catatan itu tidak memberi kita nyali dan keberanian berinisiatif mengeksekusi masa lalu?

Rupanya, catatan-catatan selama perjalanan tahun 1999 itu ditulis di atas kertas putih dengan tinta putih. Tak sesuatu pun dapat kita baca dengan catatan itu. Dari catatan itu, kita pun kebetulan sudah tahu bahwa pada 1999 ada Money Politic, Skandal Bank Bali, Rekening Ghalib, KKN mantan Presiden Soeharto, Pelanggaran HAM di Aceh dan Timtim, Semanggi II, ada tiga menteri Kabinet Gus Dur berbaju KKN, Skandal Texmaco, dan seterusnya. Kita pun akhirnya tidak diberi tahu siapa aktornya, pasal berapa dilanggar dalam KUHP, pihak yang telah menindaki. Selain dari itu, catatan itu juga tidak memberi rekomendasi tegas apa yang benar dan tepat dilakukan bangsa saat ini (tahun 2000). Sebab yang tercatat di situ adalah peristiwa-peristiwa politik. Di mana baik kertas catatan maupun tintanya telah dipolitisir. Maka kaburlah semua apa yang mestinya telah menjadi pengetahuan yang benar tentang Indonesia di tahun 1999.

Lalu? Inilah mustahilnya. Gerbong yang ditumpangi tidak berjalan di atas rel tapi di atas waktu yang berjalan linear. Gerbong bangsa Indonesia tidak mungkin dikembalikan ke Januari 1999 untuk memperjelas peristiwa-peritiwa itu. Kecuali bila hal itu dikehendaki Gus Dur. Sebab, seorang menteri bersalah melakukan KKN atau tidak, keputusannya terletak pada pernyataan Gus Dur yang mensubordinasi eksistensi jaksa dan hakim (prosedur hukum).

* Penulis : Alumni Pengelola SKK Identitas Unhas
* Pernah dimuat di Surat Kabar IDENTITAS Unhas, edisi Januari 2000.

Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim