SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 30 November 1999

Harapan Itu

Maqbul Halim
Makassar, Nopember 1999

Selama 32 tahun "ummat" Indonesia hidup di bawah kegelapan. Bangsa tidak memerlukan mata sebab tak ada sesuatu yang dapat atau mungkin mereka lihat. Boleh jadi waktu itu "umat" ini tengah dirumahkan dalam perut bumi yang jaraknya dari permukaan bermil-mil. Merenungi nasib kehidupan yang demikian, mereka kiranya membutuhkan "Superman" melebihi atau minimal seperti Nabi Musa. Cerita tentang Bangsa Yahudi yang dikisahkan secara kontemporer dari generasi ke generasi, memang tidak menyertakan arsip penderitaan. Tapi ketidakputusasaan Bangsa Yahudi menekuni penderitaan, tokh akhirnya mengundang Tuhan mengulurkan campur tangannya melalui Nabi Musa.


Setelah sukses menderita di bawah penindasan Rezim Fir'aun di Mesir, Bangsa Yahudi kemudian diantar Nabi Musa menuju sebuah tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka. Tapi Tuhan dalam harapan Bangsa Yahudi ini bukan politikus; Nabi Musa bukan pemimpin parpol, aktivis prodemokrasi, bukan pula aktivis HAM atau bukan manusia tanpa cela dalam perubahan rezim atau penguasa. Amanat Tuhan dalam missi yang diemban Nabi Musa, tidak ada sasaran antara atau target antara, seperti reformis di Indonesia me-report skandal Bank Bali, kasus Andi Ghalib atau Kredit Macet Texmako. Meskipun ini cerita tentang Tuhan atau Nabi Musa di bawah kendali Tuhan, menjajikan Indonesia Baru bagi "umat" Indonesia dalam analogi ini masih jauh lebih proporsional.

******

Sebelum Nabi Musa mengantar Bangsa Yahudi menyambut tanah yang dijanjikan, Tuhan terlebih dahulu membuktikan ganjarannya dengan menenggelamkan Fir'aun kelitka melintasi teluk (Laut Merah) menyeberang dari Mesir dalam pengejaran Nabi Musa bersama Bangsa Yahudi. Boleh jadi itu merupakan bukti bahwa Tuhan tidak memberi harapan kosong kepada Bangsa Yahudi. Oleh sebab itu, Tuhan menindak dulu penindas Bangsa Yahudi agar ia yakin betul akan harapan yang dijanjikan-Nya.

"Penipuan ekonomi," kata Wimar Witoelar dalam kolom ASAL USUL-nya di Harian KOMPAS Minggu, "harus dihentikan secara sepihak secara nyata sebelum janji masa depan." Atau seperti dikatakan Munir, SH dari KONTRAS, "Tidak cukup masa depan dibangun tanpa merefleksikan kesalahan masa lalu. Hal ini bukanlah hal yang sederhana dan mudah dalam suatu masa transisi."

Sebenarnya persoalannya malah lebih dari menghentikan, tetapi menerobos sampai ke masa lalu. Dalam merealisasikan janji Indonesia Baru kepada "umat" Indonesia, apa yang telah dilakukan pemberi janji kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penipuan ekonomi dan politik serta pelanggaran HAM semasa Rezim Orde Baru. Alias, kita membutuhkan garansi berupa "Action in Concreta" dalam memberi "punish and reward" kepada aktor-aktor Orde Baru. Itu pulalah yang ditunjukkan Tuhan kepada Bangsa Yahudi. Persoalan keadilan memang sulit disembunyikan dari klaim janji-janji yang betul-betul benar dan sungguh-sungguh. Menjanji tanpa mengadili masa lalu, itu cuma kampanye (mungkin kampanye politik). Tapi Menjanji dengan mengadili masa lalu, itulah harapan. Bukan pula dengan sendirinya bentuk harapan selalu demikian. Tapi harapan yang timbul karena kesalahan atau kekeliruan masa lalu memutlakkan berlakunya formula harapan tadi.

Janji adalah subjektivitas masa depan. Membuat objektif masa depan dalam janji, tentu harus diobjektifkan dulu masa lalu. Pelaku sejarah adalah bagian integral masa lalu yang harus dibenarkan atau disalahkan menurut hukum dan etika kesusilaan. Tanpa itu, mustahil dipercaya harapan masa depan berupa "Indonesia Baru" yang dijanjikan. Janji seseorang pun dapat dipelajari kesungguhan dan kebenarannya, salah satunya, melalui "track record"-nya. Maka, kita akan bertanya kembali, "Apa yang akan, sedang atau telah dlakukan pemberi janji hari ini?"

-------------

Selengkapnya >>

Minggu, 07 November 1999

Tentang Demokrasi

Makassar, Nopember 1999
Selama proses reformasi yang belum menemukan bentuk ini berlangsung, kehendak rakyat selalu menjadi komoditi yang laku dan laris terjual di pasaran politik nasional. Apalagi menjelang Pemilu 99 dan SU MPR RI 99 beberapa waktu lalu, dagangan ini ditawarkan semua partai dan golongan. Membedakan kepentingan rakyat dengan kepentingan partai atau golongan dalam situasi seperti ini sama sulitnya seorang buta sejak lahir untuk membedakan siang dan malam atau hitam dan putih. Sebab, salah satu subtansi prilaku politik memang mengaburkan antara kesetiaan dan pengkhianatan, kepentingan rakyat dan kepentingan kelompok/pribadi, integritas dan ambisi. Refleksi demokrasi dalam diri rakyat itu sendiri harus berhadapan dengan realitas-realitas artikulatif tangan-tangan jahat perwakilan.


Lantas, bagaimana suara rakyat yang orisinil itu? Asalnya dari mana? Melalui apa? dan bentuknya bagaimana? Memang agak sulit menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Sebab ada beberapa "main sources" dibutuhkan untuk mengetahui kehendak rakyat, yang senantiasa menjadi "lips service" elit partai dalam gelanggang politik nasional namun punya representase dan referensi sebagai suara/wakil rakyat. Suara atau kehendak rakyat memang sesuatu hal yang sangat misterius dan sulit dipastikan sumbernya yang orisinil. Apalagi dalam konteks politik Indonesia kontemporer, hal ini akan semakin rumit bila diperhadapkan dengan puing realitas kekuasaan politik Orde Baru yang memilih menjadi gerakan laten.

Ada beberapa sumber utama untuk mengetahui kehendak rakyat yang senantiasa menjadi "lips service" elit politik dalam gelanggang politik nasional. Suara atau kehendak rakyat memang sesuatu hal yang sangat misterius dan sulit dipastikan orisinalitasnya. Seorang anggota dewan misalnya berhak mengatasnamakan rakyat dalam pengakuannya untuk beberapa urusan. Sebab status sebagai wakil dari aspirasi rakyat mereka peroleh melalui tiket demokrasi berupa pemilihan umum. Mereka yang duduk di dewan tidak dengan jalur ini, tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara administratif.

Selain itu, ada juga tokoh masyarakat dan tokoh intelektual yang telah lama dan sangat berpengalaman menginternalisasi kepentingan dan aspirasi rakyat, namun tidak mendapat kesempatan politik untuk dapat memperoleh tiket duduk di dewan. Akses langsung ("direct access to grace") tokoh-tokoh ini pada dasarnya punya lisensi yang lebih bertanggung jawab mengklaim diri sebagai penyambung lida rakyat untuk sejumlah urusan ketimbang anggota dewan. Argumentasi ini memang masih sangat mentah ketimbang mencari titik pemisah secara administratif antara anggota dewan dengan tokoh masyarakat atau intelektual. Tetapi, aspirasi rakyat bawah yang riil akan dengan mudah dapat membedakan antara wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan politik melalui dewan dengan tokoh masyarakat atau intelektual melalui gerakan-gerakan swadayanya.

Awal mula perbedaan di antara komunitas ini dengan anggota dewan dalam berlomba mengedepankan diri sebagai aspirator rakyat terletak pada proses dan tawar menawar politik. Pada awalnya memang kepentingan rakyat satu-satunya kartu lisensi untuk memasuki wilayah proses ini. Sayangnya, proses politik diorganisir sedemikian rupa di bawah panji demokrasi modern menyebabkan demokrasi negara kota dalam sejarah Yunani harus dikembangkan menjadi proses pereduksian subtansi kepentingan rakyat untuk diakumulasi menjadi kepentingan sejumlah kelompok aspirasi (katakanlah azas/ideologi perjuangan). Dalam tingkatan ini, tidak lagi menjadi penting apa itu kepentingan rakyat. Melainkan perjuangan telah digariskan pada kepentingan kelompok (partai politik) yang senantiasa mengeliminir atau bahkan cenderung membunuh, kalau tidak, meniadakan lawan atau rival kelompok dalam proses politik.

Tokoh masyarakat atau intelektual akan terseleksi secara ketat secara nepotis dan "like or dislike" namun tetap atas nama obyektif dan proporsional. Pada dasarnya komunitas ini tidak punya instinc politik dan sulit diorganisir menurut tradisi birokrasi sehingga faktor ini melemahkan kekuatannya untuk menjadi corong aspirasi dan suara rakyat bila diperhadapkan dengan anggota dewan yang mengantongi lisensi dari proses politik. Hasil seleksi ini bukanlah tanggung jawab sepenuhnya institusi yang memproses tawar menawar kepentingan politik tersebut melainkan kelompok politik itu sendiri (baca partai politik kontestan pemilu). Proses seleksi ini ada kemungkinannya dapat dianalogikan pada pada proses seleksi berpola piramida yang pada tiap tingkatan terjadi pengguguran hinggal mencapai hasil yang makin terfokus pada puncak piramida. Perjalanan dari sisi alas menuju puncak piramida penuh dengan reduksi serta pergeseran-pergeseran subtansial. Meski hal ini rumit dipertanggung-jawabkan secara intektual menurut azas-azas politik tertentu, tetapi mempermudah bagi kita untuk melukiskan "the thrue of modern democracy".

Aplicable
Salah satu sarana mencapai suara atau kehendak rakyat adalah Pemilihan Umum sebagai tradisi demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara modern. Dalam pakteknya, demokrasi di Indonesia belum dapat diterjemahkan ke dalam orientasi tertentu sebab di sana sini masih banyak gerakan prodemokrasi di tengah proses reformasi yang kontra-produktif serta mereduksi cita-cita berbangsa seperti persatuan nasional, kemakmuran, kesejahteraan atau ketentraman. Namun demikian, proses reformasi yang salah satu intinya adalah penegakan praktek-praktek politik tetap akan diusahakan seoptimal mungkin demokratis. Dan oleh sebab itu maka titik sentral perhatian mobilitas politik bangsa adalah demokratisasi. Hampir semua kekuatan politik menggunakan wacana demokrasi dalam gerakan politiknya menjelang Pemilu 99 dan SU MPR RI 99 maupun untuk persoalan selingan berupa ancaman desintegrasi.

Masing-masing pelaku politik menyusun dan merancang kehendak rakyat yang kemudian dijadikan senjata bermata ganda: dapat melumpuhkan lawan-lawan politik (meminimalisir rintangan) dan yang kedua meraih kemenangan-kemenangan politik. Praktek politik bersenjatakan suara rakyat kerap dan kental menghiasi program-program dibalik tirai suara dan aspirasi rakyat melalui mulut-mulut elit-elit parpol. Tidak ada jaminan dari kepentingan parpol tertentu merupakan cerminan amanat penderitaan dan kehendak rakyat yang bahkan tidak menutup kemungkinan malahan sebagai bentuk pengeksploitasian label kepentingan rakyat/publik terhadap suatu peristiwa yang dianggap membawa kerugian-kerugian bagi negara, misalnya. Ada banyak contoh yang telah ikut dipresentasekan oleh media massa terhadap penyelewengan di bidang perbankan dan praktek "money politic" menjelang Pemilu 1999.

Membedakan kepentingan rakyat dengan kepentingan partai atau golongan dalam situasi seperti ini sama sulitnya seorang buta sejak lahir untuk membedakan siang dan malam atau hitam dan putih. Sebab, salah satu subtansi prilaku politik memang mengaburkan antara kesetiaan dan pengkhianatan, kepentingan rakyat dan kepentingan kelompok/pribadi, integritas dan ambisi.

Ada beberapa sumber acuan utama untuk mengetahui kehendak rakyat yang senantiasa menjadi "lips service" elit politik dalam gelanggang politik nasional. Suara atau kehendak rakyat memang sesuatu hal yang sangat misterius dan sulit dipastikan sumbernya yang orisinil. Seorang anggota dewan misalnya berhak mengatasnamakan rakyat dalam pengakuannya untuk beberapa urusan. Sebab status sebagai wakil dari aspirasi rakyat mereka peroleh melalui tiket demokrasi berupa pemilihan umum. Mereka yang duduk di dewan tidak dengan jalur ini, kita kategorikan bukan wakil rakyat.

Selain itu, ada juga tokoh masyarakat dan tokoh intelektual yang telah lama dan sangat berpengalaman menginternalisasi kepentingan dan aspirasi rakyat, namun tidak mendapat kesempatan politik untuk dapat memperoleh tiket duduk di dewan. Akses langsung (direct access to grace) tokoh-tokoh ini pada dasarnya punya lisensi yang lebih patut mengklaim diri sebagai penyambung lidah rakyat untuk sejumlah urusan ketimbang anggota dewan. Argumentasi ini memang masih sangat mentah ketimbang mencari titik pemisah secara administratif antara anggota dewan dengan tokoh masyarakat atau intelektual. Tetapi, aspirasi rakyat bawah yang riil akan dengan mudah dapat membedakan antara wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan politik melalui dewan dengan tokoh masyarakat atau intelektual melalui gerakan-gerakan swadayanya.

Awal mula perbedaan di antara tokoh ini dengan anggota dewan dalam berlomba mengedepankan diri sebagai aspirator rakyat adalah proses dan tawar menawar politik. Pada awalnya kepentingan rakyat satu-satunya kartu lisensi untuk memasuki wilayah proses ini. Sayangnya, proses politik diorganisir sedemikian rupa di bawah panji demokrasi modern menyebabkan demokrasi negara kota dalam sejarah Yunani harus dikembangkan menjadi proses perduksian subtansi kepentingan rakyat untuk diakumulasi menjadi kepentingan sejumlah kelompok aspirasi (katakanlah azas/ideologi perjuangan). Dalam tingkatan ini, tidak lagi menjadi penting apa itu kepentingan rakyat. Melainkan perjuangan telah digariskan pada kepentingan kelompok (partai politik) yang senantiasa mengeliminir atau bahkan meniadakan lawan atau rival kelompok dalam proses politik.

Tokoh masyarakat atau intelektual akan terseleksi. Hasil seleksi ini bukan merupakan tanggung jawab sepenuhnya institusi yang memproses tawar menawar kepentingan politik, melainkan kelompok politik itu sendiri (baca partai politik kontestan pemilu). Hingga pada titik ini, juga belum waktunya atau tidak tepat tiba-tiba mengeluarkan klaim absolut terhadap kelemahan penerapan demokrasi modern dalam menolong masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Sejumlah kontrak-kontrak politik antara rakyat dan wakil-wakilnya di legislatif mesti dicermati dan dikritisi. Meski tidak menutup kemungkinan bahwa kontrak-kontrak politik itu masih menyisakan benang merah yang mengaitkannya dengan proses-proses politik.

Namun hal ini tetap hendak ditempatkan secara tersendiri pada konteks-konteks yang jelas agar tanpa terjadi pembauran yang dapat mengaburkan subtansi suara dan aspirasi rakyat dalam proses politik dan kontrak politik. Apa yang seharusnya dan sepatutnya diperbincangkan tentang kepentingan rakyat oleh legislatif untuk diperhatikan dan dilaksanakan oleh eksekutif merupakan terminal yang sangat struktural dan kerap berakhir dengan kesimpulan yang keliru, boleh jadi ditelikung.

Aplicable

Perilaku menarik dari penegakan hukum menurut kehendak rakyat dan semangat reformasi sangat jelas terlihat dalam skandal Bank Bali. Terkuaknya skandal ini merupakan jasa besar Prajoto, SH, seorang pakar hukum perbankan yang dengan jeli menemukan keganjilan dalam transaksi "cessie" piutang antara Bank Bali dengan PT Era Giat Prima (EGP). Yang pertama dilakukan Prajoto adalah safari dari parpol ke parpol lain untuk mensosialisasikan skandal Bank Bali ini. Mengapa ini dilakukan, tentu merupakan pertanyaan yang tidak populer manakala telah telah dicumbu dengan ganas oleh perkembangan politik? Antusiasme Prajoto menemukan alamatnya yang tepat setelah ditemukan sejumlah elit teras Partai Golkar diduga terlibat. Andaikan niat baik Prajoto menjadikan penyelesaian hukum sebagai target, safari sosialisasi seharuskan dialamatkan di Kejaksaan Agung, ke DPR RI atau ke Kepolisian RI. Apa yang akan dilakukan Prajoto selanjutnya menjadi kian jelas. Kasus Bank Bali ini kemudian difloor menjadi kepentingan negara melalui pencitptaan opini publik. Proses itu bukan sebuah perkerjaan sulit sebab di pihak berwajib seperti kejaksaan dan kepolisian, memang telah kehabisan kredibilitas untuk dipercaya menghasilkan langkah jujur dan adil serta tranparat dalam skandal tersebut.

Selain dari itu, memang ada sejumlah tuntutan atas nama publik yang sangat gegabah bila serta-merta membuat kita yakin akan sejumlah peristiwa sebagai berdiri sendiri. Ada formulasi "Kekuasaan politik sebagai panglima dalam penegakan hukum" dan "Negara Kesatuan RI adalah negara yang berdasarkan atas hukum" yang harus jelas menjadi pijakan dalam menatap setiap penanganan skandal demi skandal di atas meja diskursus penegakan hukum di Indonesia. Jelas bahwa, bila perspektif penegakan hukum didasarkan pada formulasi pertama akan merekomendasikan kerja instrumen proses penegakan hukum yang berselisih negatif dengan pijakan pada asumsi yang kedua. Aplikasi pada salah satu formulasi ini dalam sebuah bingkai persepektif memberi perkembangan nuansa menuju titik yang berbeda, bahkan mungkin cederung saling menjauhi.

****************
Melawan kepercayaan rakyat;
- Berhadapan pemerintah dipilih oleh rakyat
- Berhadapan dengan hukum yang buat oleh rakyat
Melawan hukum;
- Berhadapan dengan pemerintah yang bertugas menegakkan hukum (jaksa/polisi)
- Berhadapan rakyat yang membuat hukum
Melawan pemerintah;
- Berhadapan dengan hukum yang melegitimasinya
- Berhadapan dengan hukum yang melegitimasinya
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim