SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Jumat, 11 Januari 2002

Pesona Kekuasaan

Pesona kekuasaan, tak akan pernah pasrah membuat kalap mata pemangsanya. Pesona kekuasaan adalah tempat duduk, di mana setiap orang yang memilikinya, dapat menyapa setiap orang yang dikehendaki. Juga yang tidak dikehendaki. Katakanlah ia—pesona kekuasaan itu—adalah sebuah kursi. Orang yang mendudukinya, akan secara sengaja dan seksama dalam posisi duduk yang khidmat mengayungkan kaki, untuk menendang atau melangkah ke suatu tujuan misalnya.

Pada 1994, rezim kuat Soeharto di bawah panji Orde Baru sungguh terampil memutar roda mesin kekuasaannya. Maka, setelah itu, dengan mata sembab dan hati pilu, bangsa Indonesia menyaksikan TEMPO, DETiK, dan EDITOR terkapar digilas mesin yang berputar di bawah “kursi”. Publik kehilangan mata dan telinga untuk sampai ke realitas dan peristiwa “Indonesia” sesungguhnya. Pers, atau media massa, sebagai mata dan telinga publik untuk mencapai peristiwa yang tak tersedia dalam kesempatan semua orang, meratap di atas ketakberdayaan.

Betulkah tidak berdaya? Goenawan Mohamad hanya berujar singkat, “Tak pernah ada pikiran atau pendapat divonis (dihakimi—pen).” Kekuasaan, atau ‘kursi’ itu, memang sampai pernah memenjarakan aktivis pers ‘bawah tanah’ pertengahan 1990-an. Tapi, pikiran adalah sebuah arus. Sebuah arus, pada waktunya sebagaimana revolusi Bolsevick, seringkali sulit menjelaskan jejak aktornya. Pikiran bergerak di alam kepala, dan alam dalam kepala adalah wadah tranformasi di mana gagasan atau pikiran menjadi simpul dalam norma-norma—pranata-pranata masyarakat—yang sosiologis dan antropologis.

Suatu negara yang dilengkapi “kursi”, maksimal hanya bisa menghakimi tindakan yang lahir dari pikiran. Atau meng-“hotel prodeo”-kan subyek suatu tindakan. Arus sebuah pikiran, bukannya liar, selalu bergerak, tanpa kendali pasal-pasal pidana. Ketika aparat pasal-pasal pidana menyidik suatu arus, paling jauh hasilnya cuma BAP; bagaimana tidakan itu berproses, bagaimana subyek itu berproses. Tapi “apa”-nya “itu” yang berproses itu, amat jauh dari jangkauan instrumen positivis modernitas peradaban manusia. Sebab, pikiran bermain pada alam yang sebenarnya dari dulu dihindarkan piranti-piranti postitivistik.

Kekuasaan telah membendung proses suatu tindakan dan subjek. Tetapi arus mengalir dalam alam pikiran pada kepala yang berjumput jumlahnya, alam pikiran “bangsa Indonesia”, alias sebuah desakan yang mengalir bersama arus dari jutaan sumbu titik pikiran. Di situlah hukum archimedes sempat membenarkan: energi paling besar dilepaskan dalam bentuk aksi, akan mendatangkan reaksi resiprokal yang paling minimal sama dengan besaran energi aksi. Sekalipun itu hanya analogi, sebab analogi tidak pernah jelas menunjuk subtansi, tapi peristiwa pembreidelan 1994 sangat ekuivalen dengan analogi tersebut.

Maka, mengapa sesungguhnya Benitto Mussolini, pemimpin rezim Nazi Italia saat pecah Perang Dunia II, berhitung membuka medan konfrontasi dengan jurnalis di Italia saat itu? Mussolini menyadari, kekuasaan dan perkakasnya semacam militer tidak akan mampu menaklukkan pikiran-pikiran. Soeharto, juga Gus Dur, rupanya tidak ingin digurui oleh Mussolini. Mereka, Soeharto dan Gus Dur itu, tetap meletakkan pikiran, bahasa (dan tulisan), dan wacana (discourse) ke dalam wilayah panetrasi kekuasaan. Di sanalah Departemen Penerangan-nya Orde Baru berdiri angkuh menantang arus tahun 1994, seperti Gus Dur coba awetkan kekuasaan dengan melengkapi “istana”-nya dengan pemantau (Media Watch) terhadap media yang menempatkan tim reporternya di Istana Negara. Kedua founding father tersebut telah kalap memainkan keputusan itu, karena memang menjanjikan garansi langgengnya status quo.

Tak ada yang kurang dari kampanye global tentang pers bebas. Apapun nilai dan norma sosial yang dikantongi bangsa Indonesia, dalam banyak soal, pers bebas (freedom press) tetap perlu dan masuk akal (necessary and common sense). Organisasi kekuasaan pada ruang tertentu yang cenderung mengisolasi kepentingan nasional dari main-integration nilai-nilai universal dari wilayah demografis dan cyberspace seringkali menuntut untuk mengorbankan kemanusiaan, katakanlah HAM. Dalam dunia yang bergerak liar semacam itu, pers akan mempersonifikasi diri sebagai resiko politik. Dalam ruang pers itulah, kepentingan universal dunia global, kepentingan publik, dan kepentingan organisasi kekuasaan (mungkin rezim) akan saling menghadapkan wajah dalam senyum dan marah, tetapi tetap ada interaksi yang niscaya.

Pers adalah resiko politik. Ketika pers “bernyanyi” tentang tingkah laku kekuasaan, itu berarti pers melapor kepada publik, kepada masyarakat. Politisi dan massa, baik pendukungnya maupun bukan, dihubungkan oleh pers (Bimo Nugroho dkk, 1999 hal. 11). Ternyata memang, interaksi abadi antara publik atau masyarakat dan politisi atau kekuasaan terjadi pada pers. Pers melapor ke publik sangat penting bagi kekuasaan, sebagai faktor primer pengawet status quo. Realitas kekuasaan dalam kaitannya dengan nilai dan cita-cita tertentu yang direkonstruksi oleh pers (baca: media) adalah motor bagi mesin gerakan sosial (social movement), yang tidak hanya melibatkan grass root tetapi juga komponen-komponen kekuasaan itu sendiri. Lazimnya, alamat suatu gerakan sosial selalu tertuju pada dirombaknya struktur sosial yang terorganisir dan mapan.

Di sinilah letak media watch yang digagas Gus Dur berdiri gamang dan penuh ragu. Gagasan ini tidak diletakan pada posisi yang tepat betul. Namun, bila beringsut ke kanan, ia adalah awal demoralisasi. Beringsut ke kiri, ia adalah awal destabilisasi, sekaligus “bunuh diri politik” dalam istilah Alfian Mallarangeng. Gus Dur, dalam pengertian lain adalah partisan dalam pergumulan, mendeklarasikan metafora dirinya sebagai polantas lalu lintas pikiran dalam media. Jabatan presiden sebagai “kursi”-nya menggiringnya ke atraksi politik yang over-active dan over-confidence menjamu petantang petenteng berita dan jurnalis media. Dengan “kursi” itu, Gus Dur mempersonifikasi diri sebagai republik itu sendiri: “L'état est moi” (negara adalah saya), mengingatkan Raja Prancis, Louis VI.

Tapi begitulah; kekuasaan penuh pesona. Politisi, penyulap kekuasaan jadi kenyataan dalam ambisi, steering committee yang menggerakkan mouse kekuasaan di atas “kursi”, menganggap: “pers tentu sangat menggairahkan,” kata William J. Small.

Pers?
Pers sebagai resiko politik, mungkin juga melahirkan bentuk-bentuk demoralisasi dan destabilisasi pada kuartal tertentu. Pers bukan kebenaran secara eksistensial. Bukan pula melahirkan kebenaran, apalagi mengontrol kebenaran. Ia, pers itu, tidak lebih dari lalu lintas, di mana pelintas diwajibkan mengentahui dan mematuhi marka dan pasal-pasal. Polantasnya adalah sintesis dari senyawa antara nilai dan nilai serta zaman dan zaman, ia bukan kewenangan yang ditetapkan oleh Surat Keputusan (SK) atau mandataris. Atau, polantas dari pers merupakan sintesis dari proses pergumulan yang berlansung kontemporer.

Setiap organisasi, termasuk departemen-departemen dalam birokrasi negara, mewajibkan diri merekam peristiwa lingkungan dan kepentingannya dalam klipping. Klipping, suatu ketika, akan jadi saksi bisu berujar, menegasi argumen lawan. Dan, berubah jadi kitab yang diletakkan di samping Kitab Suci (Al Kitab). Sebuah tradisi yang hendak menawarkan (memaksakan) kebenaran, sebab tersusun dari kepingan fakta peristiwa yang dipungut wartawan, dirawikan editor, kemudian disabdakan percetakan di atas kertas. Kebenaran, dalam perjalanannya itu, agaknya memang mesti instan, tidak butuh waktu lelah karena harus menanti, misalnya, atau menunggu hingga kuantitasnya percaya diri di-polling.

Kebenaran itukah yang kemudian berangkat dikhotbahkan pakar ekonomi, budaya, politik, sosial, dst? Lantas mereka, dalam bayangan selebritinya, diuber kerumunan wartawan agar menjelaskan lebih jauh kebenaran itu, sekalipun hanya dalam satu kali tarikan nafas: “Itu kan sudah opini publik!” Sementara watak media di Indonesia selalu berorientasi elit sumber dalam mengeksplorasi opini publik (Pinckey Triputra: 2000, hal. 411-412). Maka kebenaran yang disaling-benturkan dalam ranah media antara Gus Dur-Presiden dan DPR/MPR medio Desember 2000 – Juli 2001, sungguh kehilangan karakter, bergerak dalam bayang-bayang, dan akhirnya kesepian. Bukankah setelah itu, gerombolan elit sumber media berpaling, melangkah pergi dengan kaki ringan.

Kepentingan dalam ranah itu, ditemukan satu kamar bersama nilai kebenaran, obyektivitas, dan sikap netral. Fungsi media mendistribusi kebenaran, menetapkan pihak mana yang mesti melakonkan kebenaran, pihak mana yang durjana. Sementara media mana yang pusing saya….
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim