SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Minggu, 24 Oktober 2004

Pluralisasi Dunia Kehidupan Sosial

Tugas Individu

Mata Kuliah Dasar-dasar Teori Sosial

PLURALISASI DUNIA-KEHIDUPAN SOSIAL

(Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern)

OLEH : MAQBUL HALIM

NPM : L2G04026

BKU ILMU KOMUNIKASI

PROGRAM MASTER (S2)

PASCASARJANA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG 2004


TUGAS (ASSIGNMENT)



Mata Kuliah : Teori-teori Sosial (Semester Awal 2004/2005)

Resume Bagian II: Teori-teori Masyarakat Modern (Sub Bagian 3)

Pluralisasi Dunia-Kehidupan Sosial*)

(Peter L. Berger, Brigitte Berger, dan Hansfried Kellner)

Dalam dunia sosial modern, individu hidup dalam dua setting kehidupan, yaitu Kehidupan ranah Pribadi/Individu (Privacy Space) dan ranah umum/publik (Public Space). Kedua ranah kehidupan yang mensetting masyarakat modern inilah yang menjadi pola melakoni kehidupannya. Dalam teori sosial, pembedaan ini disebut sebagai dikotomi. Dikotomi ini menjadi tak terelakkan akibat adanya makna individual dan norma sosial, yang dalam banyak kesempatan, sangat efektif sebagai metode analisis situasi kongkret fenomena masyarakat sosial modern.

Sebelum berlanjut pada penjelasan mengenai kedua makna di atas, perlu pula dipahami adalah bahwa dunia yang ditempati manusia berkehidupan saat ini, telah ada kehidupan yang terpola dan terstruktur dalam dunia makna. Sebuah "kehidupan yang terpasang". Dunia makna ini merupakan catatan perjalanan panjang dari generasi ke generasi selanjutnya. Suatu unit dunia makna akan bertahan karena telah "disepakati" secara kolektif oleh individu-individu dalam komunitasnya. Suatu nilai yang mengikat secara besama dan makna yang akan menjadi referensi menyelesaikan masalah bersama. Kontinuitas struktur makna dapat berlangsung melalui pelembagaan simbol-simbol dan pola hubungan dalam kehidupan bersama antara individu.

Selain dunia ini dihuni oleh individu secara berkelompok berdasarkan struktur makna yang diperoleh secara kolektif, juga terdapat banyak unit-unit komunitas sosial yang dalam perkembangan kehidupan sosial manusia pada akhirnya akan saling berinteraksi. Masing-masing komunitas ini memiliki desain simbol-simbol dan struktur makna yang berlaku hanya dalam komunitasnya sendiri. Oleh karena itu, dunia kehidupan merupakan dunia sosial yang terstruktur secara terpadu, tapi juga dapat dilihat secara parsial. Faktor-faktor geografis dan antropologis dalam hal ini dapat diajukan sebagai instrumen untuk melakukan penggambaran tentang struktur makna dunia kehidupan sosial. Dengan skalanya yang luas ini, maka struktur makna dunia kehidupan sosial menjadi sangat kompleks, karena menawarkan fenomena yang tidak mungkin hanya ditinjau dari aspek sosiologis atau antropologis, misalnya.

Seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa setiap kelompok sosial memiliki sistem dan struktur maknanya sendiri. Dalam konteks global, kohesivitas masyarakat dunia memang kelihatan rapuh, dengan asumsi bahwa setiap komunitas sosial cenderung protektif pada nilai dan struktur maknanya sendiri. Dan, "perundingan" memang akan alot manakala kehidupan dunia mulai mengintegrasikan masyarakat secara global. Masing-masing variabel sebagai instrumen mempelajari dunia kehidupan masyarakat modern akan memberikan kesimpulan yang berlainan. Demikian pula, pemberian pemahaman tentang realitas oleh masyarakat akan berlangsung dalam struktur makna yang berbeda pula. Oleh karena itu, struktur sosial kehidupan modern kurang terpadu dibandingkan dengan masyarakat kuno.

Meski demikian, tetap ada tatanan yang mengintegrasikan makna keseluruhan masyarakat tersebut. Contohnya adalah perkawinan antara orang yang memiliki latar belakang berbeda, selalu membutuhkan perundingan rumit tentang dunia makna yang berbeda. Kesamaan pengertian tentang dunia makna dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda struktur itu dapat menjadi makna bersama untuk mengusung dunia-kehidupan sosial bersama. Di sinilah muncul ideologi pluralisme yang berfungsi melegitimasi pluralitas pengalaman sosial unit-unit sosial dan individu.

Pluralitas dalam hal ini dapat diartikan sebagai suatu segmentasi masyarakat dalam tingkat yang sangat tinggi. Pengalaman individu itu merujuk pada keyakinan dan prakteknya atas struktur nilai yang pola hubungannya terekpresi melalui komunikasi modern. Komunikasi ini terus berproses melalui inisiasi. Proses ini dipercepat oleh teknologi media komunikasi: pulikasi massal, buku, majalah, lukisan, film, radio, dan televisi. Media ini mentransformasikan definisi kognitif dan normatif tentang realitas, lalu kemudian menyebar dengan cepat. Demikian juga, bergerak menembus generasi demi generasi.

Masyarakat dunia sebagai kesatupaduan, tersegmentasi dengan adanya varian struktur yang mempolakan sistem sosial secara paralel. Selain itu, konfigurasi sistem makna juga memegang peranan kunci dalam segmentasi ini. Struktur makna ini bekerja menurut konteksnya: terdapat dalam dunia kerja, religi, dunia birokrasi, budaya konsumerisme, rumah tangga, atau pemahaman terhadap realitas. Dalam struktur makna tersebut, individu memainkan peran-perannya. Peran-peran inilah yang kemudian mengalami dikotomi, sebagaimana disebutkan sebelumnya: kehidupan pribadi dan bidang umum.

Dikotomi dalam hal ini sebenarnya bukan suatu pengelompokan, atau kelas dalam strata sosial. Tetapi inilah konsekuensi logis dari kegiatan-kegiatan individu dalam dunia pekerjaan dan dunia birokrasi pemerintahan. Pluralisasi berlangsung dalam kedua bidang tersebut. Setiap individu mengalami kehidupan umum dengan pemeberian makna tertentu sebagai materi pengalamannya dalam kehidupan umum. Tetapi juga, hubungan individu terhadap kedua bidang tersebut selalu mengalami pergeseran dari satu dunia kehidupan ke dunia kehidupan lainnya. Adanya pembagian kerja, misalnya, menciptakan sistem perekonomian yang kompleks dan menyeluruh.

Tetapi yang pasti adalah bahwa setiap individu dalam masyarakat modern mempunyai situasi yang khas berbeda dari yang lainnya. Itulah sebabnya, ada sektor yang bebeda-beda dalam kehidupan sehari-hari yang menghubungkan mereka dengan dunia makna dan pengalaman yang sangat berbeda, dan itu seringkali tidak cocok. Kehidupan dalam bidang pribadi itu sendiri tidak lepas dari infiltrasi proses pluralisasi. Setiap individu moderen selalu berusaha mengatur bidang pribadinya sedemikian rupa sehingga memberi tatanan integratif dan makna yang bersifat mendukung. Dalam penjelasan terdahulu disebutkan bahwa setiap komunitas sosial akan berusaha melanggengkan struktur nilai dunia-kehidupannya. Demikian juga individu dalam bidang pribadi, akan selalu juga melanggengkan sebuah "dunia rumah" ("home world") yang akan berfungsi sebagai pusat kehidupannya yang bermakna di tengah masyarakat.

Selanjutnya, kehidupan pribadi dan umum itu bisa digali dari gerak-gerik individu dalam dunia perkotaan yang lebih heterogen. Kota, disebut sebagai subyek dalam hal ini, karena menjadi "resource" dan barometer pertumbuhan dan pengembangan modernisme. Sesuai dengan strukturnya, kota mendorong penduduknya menjadi ber-"budi" ("urban") dengan menghormati orang asing, serta "canggih" dalam berbagai pendekatan menghadapi realitas berbeda. Urbanisasi, dalam hal ini kota, lebih dari pengertian lazim tentang pembangunan pranata-pranata yang kemudian disebut sebagai kota. Lebih dari itu, urban adalah suatu proses kesadaran yang mencakup gaya hidup, gaya berpikir, perasaan dan realitas pengalaman yang bersifat umum. Kesadaran ini akan memberi individu makna atas sejumlah aktivitas-aktivitas individu di hadapan dunia umum yang menjadi sifatnya kota itu sendiri. Pada kenyataannya, kesadaran ini dalam masyarakat moderen, tidak hanya didominasi individu-individu perkotaan melainkan juga telah ditemui pada masyarakat rural (pedesaan) atau pinggiran kota.

Dalam perkembangannya, pluralisasi dalam bidang pribadi ini telah membentuk dasar-dasar kepribadian dan dunia subyektif, suatu pengalaman sosial yang terdesain dari awal, yakni masa kanak-kanak. Implikasinya adalah individu mengaburkan identitasnya sehingga mereka (individu moderen di kota) sulit dijelaskan menurut prinsip kepemilikan makna "dunia rumah" belaka.

Kembali kepada mengenai dasar kepribadian dan dunia subyektif itu, dengan sendiri itu berasal dari tatanan yang telah mengalami proses sosialisasi sekunder. Yaitu sosialisasi yang berlangsung setelah tahap-tahap awal pembentukan diri (individu). Umumnya, proses sosialisasi sekunder ini diselenggarakan melalui lembaga-lembaga formal seperti mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Sosialisasi ini memungkinkan seseorang dapat beranjak dari satu dunia sosial ke dunia sosial lainnya. Juga peralihan dari dunia kanak-kanak menuju dunia makna dewasa yang tentu saja sebelumnya belum pernah mereka alami. Yang paling primer dalam proses ini adalah individu mendapatkan patron-patron sosial untuk menata pola tingkah laku sosialnya sehingga eksistensinya dapat diakomodasi oleh pranata-pranata umum (norma sosial yang berlaku).

Mengapa pluralitas yang telah dijelaskan di atas berfungsi lebih dari hanya sebagai suatu konsep? Atau katakanlah hanya sebagai teori belaka (tools) untuk menggali hukum-hukum yang bekerja dalam fenomena masyarakat modern. Pemahaman lebih lanjut tentang pengertian pluralitas itu adalah sebagai pertautan sejumlah makna asasi dapat memberi solusi atau alternatif dalam melegitimasi berbagai nilai-nilai universal seperti "demokrasi", "pembangunan", atau "Hak Asasi Manusia". Legitimasi ini penting karena masyarakat modern mendapatkan kesempatan menentukan atau mendapatkan lebih dari satu pilihan dalam menghadapi kenyataan baru, sekaligus menginspirasi sikap-sikap familiar (out-trover) terhadap orang-orang atau ide-ide asing. Pluralitas, karena komponen dan elemennya yang sangat kompleks, maka individu dalam masyarakat pluralis itu cenderung lebih terbuka terhadap nilai-nilai universal—pada akhirnya ini juga tidak mutlak ketika dihadirkan bersama dengan potensi protektif kepribadian individu, bukan kepribadian sosial.

Jadi, kehidupan dalam bidang pribadi yang ternyata juga diinfiltrasi pluralisme, rupanya tidak hanya berimplikasi pada konteksnya sendiri. Ada saja keputusan dan tindakan individu terjadi dalam lingkungan yang bersifat pribadi. Tetapi karena hal tersebut mungkin sangat mendasar, maka hal itu memberi konsekuensi di mana akan tersangkut paut juga dengan setiap bagian struktur kelembagaan sosial yang lebih luas. Keputusan seseorang individu untuk menikahi seorang perempuan yang berasal dari suku yang berbeda memang merupakan perencana yang konteksnya berada dalam bidang pribadi. Tetapi perbedaan suku, secara antropologis, berarti juga perbedaan dunia makna. Struktur sosial akan menghadapi hal ini sebagai bukan hal yang lazim, tetapi mendasar. Oleh karena itu, dengan sendirinya terkait dengan berbagai bagian struktur kelembagaan sosial dari masing-masing pihak.

Oleh karena itu, individu dalam berhadapan dengan berbagai peristiwa pribadi dalam dirinya, memiliki sebuah "peta masyarakat" yang di dalamnya ia dapat menempaatkan dan memproyeksikan dirinya di tengah-tengah struktur sosial dan pranata umum yang melingkupinya. Karir (paling tidak sebagai suatu rencana) dan riwayat hidup suatu individu senantiasa mempunyai pengetahuan faktual, dibantu oleh "peta masyarakat" ketika hendak bergerak memasuki dunia yang sifat proyeksinya realistis ataukah hanya ilusi (mimpi-mimpi). Riwayat hidup (pembentuk segi-segi kesadaran) dan perencanaan (draft keputusan dan tindakan sosial) secara serempak membentuk sebuah konstelasi yang dapat disebut sebagai sinkronisasi multi-relasi. Artinya, individu harus tetap memiliki secara teratur dalam benaknya bukan hanya suatu keragaman hubungan-hubungan sosial tetapi juga suatu kemajemukan.

Namun, penekanan aspek multi-relasional ini harus dengan penuh empati agar mencakup diri sendiri maupun orang lainnya. Riwayat hidup seseorang dimengerti sebagai sebuah proyek terpasang yang mencakup identitas. Riwayat hidup seseorang hanya penjelasan tetang perstiwa masa lalu. Sementara makna kehidupan sehari-hari berasal dari rencana-rencana masa depan. Tetapi, rencana masa depan tetap tidak hanya sebatas mencakup apa yang hendak dilakukan, melainkan juga mencakup rencana tentang seseorang individu akan menjadi apa. Di sinilah identitas individu akan tersematkan melalui peran-peran sosial yang akan dilakoninya. Dengan kata lain, identitas mampu menjelaskan peran-peran sosial, serta pengertian dan makna peran-peran dalam dunia sosial. Juga identitas dapat dipahami sebagai ekspresi dari suatu rencana-rencana.

Identitas di sini didefinisikan sebagai cara seorang mendefinisikan dirinya sendiri. Dalam dunia pekerjaan, seseorang akan mendefinisikan dirinya berdasarkan profesi yang ia geluti. Ketika menghadapi masalah atau pilihan pengambilan keputusan atau tindakan, seseorang akan mendefinisikan dirinya menurut pengetahuan faktual yang dimiliki berkaitan dengah masalah yang tengah ia hadapi. Dengan itu pula, seseorang itu akan memformulasikan rencana-rencana tindakannya. Artinya, ada kapasitas kognisi dan daftar riwayat hidup yang senantiasa memberinya faktor-faktor pertimbangan dalam tindakan-tindakan sosial. Dengan demikian, identitas merupakan bagian dari paket struktur kesadaran yang khusus.

Dalam masyarakat moderen, identitas didefinisikan sebagai sebuah rencana. Ada empat argumen tentang hal ini:

  • Identitas moderen secara khusus bersifat terbuka. Hal ini berarti proses pembentukan kepribadian individu moderen adalah proses yang "belum selesai". Oleh karena, terbuka untuk mengalami transformasi dari dunia sosial ke dunia sosial lainnya. Di sini terdapat kesadaran dan kesiapan subyektif untuk mengalami transformasi itu.

  • Identitas moderen mempunyai perbedaan-perbedaan khusus. "Titik berat realitas" bergeser dari tatanan pranata obyektif ke bidang yang subyektif. Pengalaman individu tentang dirinya sendiri menjadi lebih nyata dari pada pengalamannya tentang dunia sosial obyektif. Karena itu, individu berusaha mendari "tempat berpijak" pada realitas dalam dirinya sendiri dari pada luar dirinya. Konsekuensinya, realitas subyektif individu menjadi sangat beragam, kompleks, dan menarik.

  • Identitas moderen secara khusus bersifat reflektif. Seseorang yang tengah berada dalam dunia sosial yang mapan, utuh dan terpadu, tak perlu lagi melakukan refleksi. Asumsi dasar tentang makna dunia sosial diterima begitu saja, dan mungkin akan sejalan atau malah ikut membentuk riwayat hidupnya.

  • Identitas moderen secara khusus diindividualisasikan. Di antara hak-hak individu adalah hak untuk merencanakan dan menentukan kehidupannya sebebas mungkin. Hak-hak dasar inilah secara terinci dilegitimasikan oleh berbagai macam ideologi moderen, baik dalam struktur kelembagaan maupun dalam struktur kesadaran.

  • Selanjutnya, kita beralih ke masalah pengaruh pluralisasi dalam bidang kehidupan agama. Sebagaimana diketahui secara luas, agama telah memainkan peranan penting dalam memberikan ajaran makna tentang simbol-simbol yang mencakup segala hal. Legitimasi ini jugalah yang mengintegrasikan komunitas masyarakat sosial menjadi lebih berarti. Berbagai macam makna, nilai dan kepercayaan dipersatukan dalam sebuah penafsiran menyeluruh tentang realitas hubungan manusia dengan dunia kosmos secara keseluruhan. Selain membentuk komunitas sosialnya sendiri, secara keseluruhan dari komunitas itu juga tertata dengan sendiri berdasarkan nilai-nilai dan makna agama tentang realitas.

    Secara kelembagaan, akibat yang dapat dilihat dari proses pluralisasi ini adalah privatisasi agama. Dikotomi kehidupan sosial menjadi bidang umum dan pribadi telah menawarkan "pemecahan" atas masalah agama dalam masyarakat modern. Ketika agama harus mengungsi dari satu wilayah yang lain dalam bidang umum, agama telah berhasil memelihara dirinya sebagai suatu perwujudan makna pribadi. Peristiwa yang dapat disebutkan untuk merepresentasikan masalah ini adalah pemisahan antara gereja dan negara. Bahkan otonomisasi ekonomi telah terang-terangan melawan norma-norma agama yang lama. Termasuk juga sekularisasi hukum dan pendidikan umum dan ditinggalkannya gereja sebagai pusat komunitas. Semua ini adalah refleksi kecenderungan yang kuat dalam modernisasi masyarakat.

    Secara psikologi sosial, pluralisasi telah meruntuhkan status makna religius sebagai makna dunia sosial. Hal ini terjadi akibat argumen-argumen atau tesis tentang realitas dalam definisi agama telah kehilangan sifat kepastiannya. Hal ini tidak lepas dari kemajuan ilmu pengetahuan yang mengedepankan rasionalitas dan studi-studi empiris tentang realitas alam atau dunia. Dalil-dalil tentang alam semesta atau realitas dalam definisi agama tidak menyediakan istrumen untuk memverifikasi kebasahan dalil-dalil itu dalam peristiwa alam. Sementara ilmu pengetahuan yang menganut asas positivistik (istilah dalam filsafat ilmu), mampu memenuhi tuntutan logika yang bekerja pada pemikiran manusia. Hal ini juga berarti bahwa penjelasan ilmu pengetahuan tentang gejala alam dapat ditemui dalam proses-proses pluralisasi.

    Iman tidak lagi diberi secara sosial, melainkan harus dicapai secara individual. Artinya, iman sulit ditemukan dalam situasi pluralistis. Dengan kata lain, pluralitas telah menggiring masyarakat modern mentransformasikan dirinya melalui instrumen-instrumen sekularisme untuk mempertahankan agama sebagai makna pribadi.

    Konsepsi hubungan antara pluralisasi dan sekularisasi ini sama sekali tidak menyangkal adanya faktor-faktor lain yang mendorong sekularisasi dalam masyarakat modern. Misalnya tentang misteri, magi, dan otoritas telah menjadi hal penting dalam religiusitas manusia, rasionalisasi kesadaran (elemen sekularisasi) modern justru telah merusak sifat masuk akal dari definisi agama tentang realitas. Akibat yang paling dekat dengan hal ini adalah manusia modern telah menderita karena suatu kondisi "ketidak-berumahan" yang mendalam.■

    Islam dan Multikulturalisame**)

    Islam sebagai Rahmat bagi seluruh alam semesta, berarti rakhmat bagi manusia dan termasuk selain manusia di alam kehidupan ini. Lebih-lebih lagi bahwa, apabila Islam hanya rahmat bagi yang memeluk agama Islam, berarti Islam tidak lagi menjadi rahmat bagi alam semesta. Dalam sejarah modern Indonesia berbagai kalangan, aliran, kelompok sosial, dan kelompok partai politik pernah memperjuangkan agar pelaksanaan ajaran-ajaran Islam menjadi agenda negara untuk mewajibkannya pada warga negeranya. Belakangan ini, upaya seperti itu digerakkan kembali setelah rezim otoriter Orde Baru ambruk. Terdapat dua jalan mengangkat kembali issu penegakan syariat Islam ini: 1) Cara-cara konstitusional dan 2) Gerakan-gerakan sosial-militan. Yang pertama dilakukan oleh partai-partai yang ikut dalam Pemilu 1999 dengan agenda memperjuangkan dituangkannya kembali Piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD 1945. Partai-partai yang ikut dalam barisan ini adalah: Partai Keadilan (sekarang Partai Keadilan Sejahtera/PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hanya saja, suara yang berhasil dikumpul dalam pemilu 1999 itu tidak memungkinkan kedua partai ini memperjuangkan issu syariat Islam ini di parlemen.

    Gerakan-gerakan sosial militan dapat ditemukan di Makassar Sulawesi Selatan sejak akhir abad ke-20 atau tepat mulai tahun 1999. Gerakan ini digerakkan melalui organisasi modern dengan nama Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) dan bermarkas di Makassar. Selain organisasi induk ini, KPPSI juga punya organisasi sayap yang disebut sebagai cikal bakal "tentara" pengawal syariat Islam dan Dewan Syariat. Organisasi sayap ini diberi nama Lasykar Jundullah (Tentara Tuhan). Sementra dewan syariat mempunyai tugas-tugas dan fungsi untuk memberikan fatwa-fatwa dan peradilan terhadap persoalan-persoalan syariat.

    KPPSI inilah, dalam konsepsi multikulturalisme, yang membawah persoalan-persoalan agama yang sifatnya privat dan induvidual untuk memasuki wilayah umum atau publik/negara. Masyarakat muslim di Makassar mempersepsikan gagasan penegakan syariat Islam ini sebagai ancaman besar dengan alasan bahwa hal ini menjadikan Islam ekslusif di tengah masyarakat sosial Indonesia yang heterogen. Heterogen dalam artian pengertian tidak hanya dalam situasi berbeda agama orang mungkin menganut nilai-nilai kultural yang berbeda, tetapi juga dalam masyarakat yang monoreligi (bergama sama) pun menjalankan nilai-nilai kultural yang berbeda pula.

    Pengertian subtansinya adalah Islam secara dalil dan historis mengakui dan melegitimasi perbedaan agama dan kultur. Secara historis pula sejak abad pertengahan hingga saat ini, pergerakan "Islam for States" cenderung memperlakukan Agama Islam menjadi ekslusif dan melawan arus modernisasi dan "sekularisasi" (meminjam istilah Nurcholis Madjid) sebagai pijakan masyarakat menjadi plural seperti saat ini. Dampak yang paling nyata dari dari modernisasi dan "sekularisasi" ini adalah kalangan muslim yang berbeda kultur dan kebangsaan (juga negara) dapat saling berinteraksi secara beradab karena setting kehidupan-sosial modern telah memerdekakan agama sebagai urusan pribadi yang terlepas dari campur tangan negara, bisa lepas dari konteks budaya dalam konsepsi multi-kulturalisme atau perbedaan kebangsaan (anti-rasisme). Selain itu, juga bahwa Islam—demikian juga agama Kristen, Yahudi, dan agama lainnya—yang telah dilepaskan meninggalkan wilayah urusan umum atau negara.

    KPPSI di Sulawesi Selatan dalam hal ini cenderung mengabaikan realitas stukruktur sosial dan budaya yang memaknai kehidupan modern, dengan konsep maistream-nya pada dikotomi urusan pribadi dan umum, serta membahayakan agama Islam itu sendiri karena bakal terisolasi dari perkembangan modernisme. Alias, karena beragama Islam itu adalah makna pribadi, maka ketika makna pribadi itu bertransformasi menjadi makna birokrasi, misalnya, ia akan kesulitan mengakomodasi perubahan sosial masyarakat yang sudah terdesain secara modern dan sekular yang memang sifatnya rawan perubahan.n

    Note:

    Disari dari:

    *) __________, 1988. Teori Masyarakat: proses peradaban dalam sistem dunia modern.Penyunting: Hans-Dieter Evert; Kata Pengantar: Selo Soemardjan; Penerjemah: Thomas Rieger. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (YOI). Hal: 35 - 54

    **) Studi kasus didasarkan pada pengamatan langsung penulis ketika masih sebagai wartawan di Makassar tahun 1999.

    Selengkapnya >>

    follow me @maqbulhalim