SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Jumat, 29 Juli 2005

Kebohongan dan Politik

Oleh Maqbul Halim

"Kekuasaan tidak datang dari senjata (berkat senjata—pen). Tetapi dari kebohongan: kebohongan besar!" kata Sanitary Rock, seorang pejabat kejaksaan kepada seorang polisi, Hardigen (Bruce Willis) yang sedang terbaring di ruang bedah. Sang pejabat yang tak terungkap karakternya hingga film "Sin City" usai dalam kisah itu memang sedang murka. Hardigen beralasan bahwa anak perempuan sang pejabat ini tewas di tangan para gangter di Basin City, sebuah kota yang penuh sesak dengan dan berjumbai dosa. Ia tewas tercabik dan terbuari dalam suatu operasi penyelamatan gadis bocah yang akan jadi saksi di pengadilan.

Alasan Hardigen itu sebetulnya adalah sebuah niat adu-domba; terlalu mahal bagi Rock jika harus konfrontasi dengan gangster Basin City. Ibaratnya mendaftar masuk neraka yang kekurangan populasi. Ini juga berarti Hardigen berhadapan dengan atasannya sendiri, karena Hardigen sendiri adalah salah seorang anggota komunitas gengster Basin City, seperti juga anak perempuan Rock yang terbunuh itu. Hardigen tak tahu itu, seperti juga anak perempuan itu tak tahu kalau ternyata Hardigen juga punya status dalam gengster Basin City. Hardigen yang bersenjata akhirnya kalah oleh kebohongan yang mengendalikan senjata.

Kebohongan dalam hal kekuasaan adalah pengakuan atau ikrar. Seperti ikrar dalam kisah tentang (declaration) kesetiaan H. Zainal Basri Palaguna (Gubernur Sulawesi Selatan waktu itu) untuk tetap setia pada kepemimpinan Orde Baru H.M. Soeharto. Presiden RI yang tengah meresmikan Monumen Perjuangan Irian Jaya "MANDALA" tahun 1994 di Makassar ini, sontak bangga mendengar komitmen itu lalu menepuk bahu Palaguna agar tegak kembali dari "rukuk"-nya. Dan, sebuah momen empat tahun kemudian, momen yang berdurasi singkat untuk suatu perubahan sikap, memang menyibakkan sebuah narasi "kebohongan". Palaguna berpihak kepada mahasiswa yang tengah mendesak Soeharto mundur dari kursi kepemimpinan Orde Baruya pada Mei 1998.

Kita lalu berpikir, Hardigen tidak lebih baik memahami kebohongan ketimbang Palaguna. Kebohongan, seperti uang, bisa menyatukan sekaligus mempersamakan. Dalam kekuasaan sebagai tujuan, kebohongan bukanlah sebuah cara. Kebohongan adalah mungkin sebuah kekuasaan dan kekuasaan adalah kebohongan itu sendiri. Hardigen sesungguhnya dalam keadaan berbohong, tetapi ia tak tahu manfaat kebohongan. Ia hanyalah seorang polisi yang ingin berprestasi di depan gerbang masa pensiunnya.

Kekuasaan sendiri kerap diterjemahkan ke berbagai bentuk kepentingan. Ia bisa berbentuk jabatan birokrasi, jabatan publik, uang, kesucian, ambisi, popularitas, seks, investasi, kepintaran, keluarga, agama, kealiman dan banyak lagi. Kekuasaan adalah pencapaian setelah kebohongan. Pencapaian yang berhasil mengamankan kebohongan adalah seperti sebuah ujung jalan kepahlawanan, heroistis.

Sebuah kampanye, iklan, reklame, baliho, puisi "pesanan" (seperti juga penyair "orderan"), keramah-tamahan, juga sering bertindak menghingkari isinya sendiri. Di sinilah motif sering mengendalikan isi, lalu juga mengedalikan ego individu seperti selera, keinginan dan kebutuhan (bahkan pilihan-pilihan). Sebuah isi pesan—yang dikendali dan dikontrol oleh kebohongan—yang mengendalikan ego individu-individu adalah sebuah rangkaian aparatus kekuasaan. Kebanggaan yang spontan Soeharto dalam kisah sebelumnya adalah obyek (ego yang menuntut kesetiaan orang lain) yang sedang dikendalikan oleh isi pesan "deklarasi kesetiaan" yang tengah dilancarkan Palaguna. Apalagi memang Soeharto tidak tahu bahwa empat tahun kemudian pesan itu sendiri adalah kebohongan.

Narasi kebohongan memang telah tercetak dalam halaman-halaman yang kian hari kian tebal. Penggusuran rumah "bedeng" rakyat miskin di kota-kota dan kawasan industri adalah sebuah narasi kehobongan tentang sebuah janji kampanye Pemilu Legislatif yang berangkat dari masa silam. Pertumbuhan liar ruko (rumah toko) dan mall-mall yang buta "master plan" kota adalah sebuah narasi kebohongan tentang kebijakan eksekutif dalam rangka mempermalukan berbagai peraturan daerah.

Dari sekian corak narasi kebohongan, tentulah kampanye politik yang memiliki reputasi paling brilian. Bukankah kampanye juga berarti menyiapkan kebohongan! Dalam sebuah ruang kelas di sebuah SD, puluhan murid tengah mengikuti pelajaran. Mereka sedang mengerjakan "exercise". Begitu bel berbunyi, mereka berhamburan pulang setelah lebih dahulu berkemas. Pikiran murid-murid itu telah menanti di Game Zone internet selama mengerjakan "exercise" tadi. Alias, mereka masih dalam kelas tetapi pikirannya terfokus ke Game Zone internet. Murid-murid itu berhasil mengendalikan (menguasai) keyakinan guru kelas tentang kebenaran keseriusan mereka mengerjakan "exercise" itu.

Keperkasaan motif dibalik perilaku aktual murid SD itu dalam mengerjakan "exercise" di kelas, juga umum diderita oleh politisi ketika menumpahkan materi program dan visi dari mulutnya di atas penggung kampanye Pemilu atau Pilkada Langsung. Ketika seorang calon legislatif bertutur tentang proritas utama kepentingan rakyat dalam kampanye, ia misalnya justru sedang berpikir tentang sebuah kursi yang berakibat kehormatan dan gaji setiap bulan dari APBD selama lima tahun. Suatu pikiran yang melampaui arena panggung kampanye, meninggalkan hiruk-pikuk yel-yel, menggelinding jauh hingga acara syukuran pelantikan di ruang sidang utama di kantor DPRD di masa depan.

Kursi bupati, kursi gubernur, kursi legislatif adalah juga kekuasaan. Reformasi telah melucuti senjata TNI/ABRI/POLRI untuk menjadi sumber mata air kekuasaan. Sekarang, tinggallah kebohongan sebagai sumber kekuasaan satu-satunya. Paling tidak, seperti itulah yang dikatakan Rock, seorang jaksa yang ditakuti karena mengayomi sejumlah kelompok gangster di Basin City: "kekuasaan tidak datang dari senjata, tetapi dari kebohongan; kebohongan besar." Tesis ini memang menggelikan. Dalam negara demokrasi seperti Republik Indonesia, kekuasaan justru datang dari pemegang kedaulatan: rakyat. Dari situlah lahir kursi bupati, kursi gubernur, kursi walikota, kursi legislatif.

Kalaulah Rock benar, justru rakyatlah kebohongan itu. Tentu saja si rakyat akan mendebat habis tesis ini. "Kekuasaan ada di tangan DPRD itu karena kami sebagai rakyat dibohongi," kata seorang juru bicara aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD DKI setelah rangkaian penggusuran awal tahun 2004. Bila demikian, script yang betul justru, mungkin, adalah rakyat dikelabui dan karena itu kedaulatannya memperteguh kekuasaan yang ada. Itulah sebuah keterlanjuran, karena pemilihan umum oleh rakyat berarti sebuah penyerahan dan pembenaran.

Namun, pembohongan kepada rakyat adalah bukan kejadian tersendiri. Sebab, rakyat sendiri meliputi sejumlah variabel. Atau sebutlah latar belakang. Artinya, kebohongan politik adalah konsideran yang menyebabkan eksisnya "ijab kabul" antara rakyat pemberi kekuasaan dan politisi sebagai penimba kekuasaan. Ada banyak konsideran yang telah ditawarkan politisi pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2004. Beberapa di antaranya seperti segardus mie noddle (instan), sepotong baju kaos, seamplop duit, atau juga seikat harapan hampa.

Tak ada jaminan bahwa pada Pilakada Langsung saat ini, konsideran itu tak akan digunakan lagi. Justru tetap menjadi primadona. Dan, materi kampanye pun akhirnya hampir serupa pada semua kontestan. Sebuah materi kampanye yang—lagi-lagi, bernyanyi tentang kepentingan rakyat, kepentingan daerah, kepentingan usaha kecil, dan seterusnya—akan menguap setelah selesai pelantikan Bupati/Walikota atau Gubernur. Sementara rakyat sendiri tidak hirau amat tentang benar-tidaknya materi kampanye itu karena mie instant, angpau Rp 10 ribu, baju kaos telah tergenggam erat dan siap dibawa pulang membahagiakan anak dan istri di rumah.

Bukan hanya seperti itu, rakyat pun "oga" peduli karena bagi rakyat pengangguran, rakyat miskin, rakyat buta huruf, atau rakyat kurang terdidik, politik atau Pilkada Langsung itu sama halnya dengan legislator yang tak akan pernah datang menemui mereka kecuali hanya pada Pemilu Legislatif. Memilih atau tidak memilih dalam Pilkada Langsung, rakyat tetaplah satu-satunya alamat kebohongan. Hanya kebohongan kepada rakyat satu-satunya tindakan yang efektif menghasilkan kekuasaan. Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Langsung dan Pilkada Langsung menfasilitasi efektifnya sebuah kebohongan untuk menghasilkan kekuasaan.

Rakyat memberi suara karena dibohongi. Kalau tidak dibohongi, rakyat tidak memilih. Agar politisi Pemilu Legislatif, calon presiden pada Pemilu Presiden Langsung atau kontestan Pilkada Langsung mendapatkan suara dari rakyat pemilih, berarti mau tidak mau terlebih dahulu sebaiknya berbohong. Jadi, kebohongan adalah sebuah keniscayaan politik. Maka adagium "vox populi vox rei" (suara rakyat adalah suara Tuhan) pun mengakibatkan tesis berikut: karena suara rakyat adalah suara Tuhan, berarti bila politisi membohongi suara rakyat, berarti pula membohongi Tuhan. Dalam bahasa alkitab disebut sebagai "Pendusta Agama".

Mari kita menyebutkan bahwa materi kampanye dalam Pilkada Langsung adalah draft kebohongan dan akan disahkan oleh kedua belah pihak (rakyat dan calon) pada hari pelaksanaan pencoblosan. Mengapa kebohongan? Siapa pun yang menang kemudian, pada akhirnya secara empiris, hanyalah pendukung pasangan kontestan itu sendiri yang mendapat pelayanan bupati/walikota/gubernur terpilih. Bukanlah rakyat yang bersorak bahagia karena dilayani. Fakta lebih lanjut lagi bahwa visi dan misi calon legislatif dalam kampanye Pemilu Legislatif 2004 tak berdaya dan menjadi lemas ketika rancangan peraturan daerah pemerintah daerah tak beranjak bentuk dan isi dari gayanya yang semula. Dua fenomena itu serupa esensinya: kedaulatan rakyat bukan penyebab kekuasaan.

Kedaulatan rakyat sebagai entitas primer (subyek) dalam konsep demokrasi modern adalah merupakan causal-primary bagi kekuasaan negara. Karena itu, eksistensi rakyat tidak perlu diperdebatkan: yang mana lebih dahulu menjadi, telur atau ayam. Ketika sebuah kondisi dimana rakyat diingkari oleh kekuasaan negara, maka itulah kekuasaan yang didesain dari rangkaian kebohongan. Rakyat diletakkan sebagai obyek di hadapan subyek (kekuasaan negara). Kebohongan dalam dunia politik adalah tindakan mengubah subyek menjadi obyek. Sebelum pencoblosan pada Pilkada Langsung, calon-calon menghamba kepada pemilih. Setelah bupati/walikota/gubernur dilantik, pemilih "ditekan" menjadi penghamba.

Kekuasaan tidak datang dari senjata, tetapi dari kebohongan: kebohongan besar. Kebohongan tentang ketidak-adaan halaman ke-2 Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) adalah sumber kekuasaan Soeharto yang selamat. Soeharto membohong besar bukan hanya kepada rakyat Indonesia tetapi kepada Bangsa Indonesia. Selama kekuasaannya yang dibangun di atas kebohongan itu, hanya kepada hewan Soeharto tidak melakukan kebohongan.

Kekuasaan tidak datang dari kebohongan pada hewan. Kekuasaan datang dari kebohongan kepada rakyat.

Penulis adalah Anggota Komunitas Lembaga Studi Informasi dan Media Massa (ëLSIM) Makassar.
[Dimuat di harian Tribun Timur Makassar pada Rabu, 26 Juni 2005]
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim