SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Jumat, 27 Juli 2007

Upaya dalam Pengembangan Lembaga dan Aktivitas Media Watch*)

Oleh Maqbul Halim**)

Saat ini, kita sedang berhadap dengan industri media yang me-“raksasa” secara bisnis. Korporasi bisnis telah mengarah kepada upaya kepemilikan media melalui saham-saham perusahaan media. Selain dari itu, berbagai perusahaan juga telah melakukan join dengan perusahaan media, juga perusahaan pemilik media dengan perusahaan pemilik media lainnya. MNC, misalnya, berhasil mengandeng tiga stasiun televisi: Global TV, RCTI, dan TPI, serta satu jaringan radio Trijaya dan satu koran nasional SINDO. Perusahaan besar seperti penerbit harian KOMPAS, Gramedia, juga mengembangkan bisnisnya selain dari penerbitan harian KOMPAS dan koran Tribunnya di daerah-dearah, seperti Penerbit Gramedia, Toko Buku Gramedia, hotel Santika Grup, dan sebagainya.




Industri media cetak pun juga sedang berpacu dalam “arena” bisnis media. Jawa Pos Network News (JPNN) mengembangkan media satelitnya di daerah-daerah, seperti harian FAJAR, Maluku Pos, Riau Pos, Kaltim Pos, Surya, dan lain-lain. Di Sulawesi Selatan, FAJAR, yang merupakan anak jaringan JPNN, juga mengembangkan jaringan bisnis medianya: BKM, Ujungpandang Ekspres, Radar Sulbar, Palopo Pos, Pare Pos, Ambon Ekspres, Kendari Pos. Selain itu, FAJAR grup juga mengembangkan bisnis di luar penerbitan: Makassar Ekspo, FAJAR Transport, Perkebunan Kokon, Fajar Tours & Travel, STIKOM Fajar, FAJAR Nitro, FAJAR TV, FAJAR FM dan lain-lain.

Selain persoalan bisnis sebagai ancaman bagi produk-produk berita institusi media, perkembangan dalam sektor politik, sosial, dan budaya juga masih tetap menyisakan persoalan. Media menjadi instrumen yang memegang peranan penting untuk menciptakan keadilan

Jika merujuk pada isi UU no. 40/1999 tentang Pers, kelompok media watch yang ada ini bisa dilihat sebagai bagian dari peran serta masyarakat untuk turut “mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan” (pasal 17, ayat 1), yang dilakukan dengan cara:

  1. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
  2. Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional (pasal 17, ayat 2)

Dalam latarnya, industri media saat ini memang berkembang dengan mengikuti arah liberalisasi, namun di dalamnya juga persoalan; hanya sangat sedikit grup media yang menguasai industri media di Indonesia. Bagaimana pun juga ketika kita bicara tentang diversifikasi kepemilikan dan isi dari industri media, perkembangan tersebut tentu mengkhawatirkan. Untuk itu media watch juga perlu memiliki kapasitas tertentu untuk menjadi pemberi masukan dan rekan dialog dari industri yang sudah berkembang dengan sedemikian pesat, dan di dalamnya terkait dengan sumber daya manusia dan modal bisnis yang tak kecil jumlahnya.

Sasaran media watch adalah menunjukkan dominasi informasi dan yang biasanya dimiliki oleh pihak-pihak berikut:

  1. Kekuasaan Pemerintah/Negara. Pihak pertama ini biasanya diidentifikasi berdasarkan indikasi regulasi yang berusaha memberikan pembatasan-pembatasan bagi kemerdekaan pers atau kebebasan informasi. Ruang publik pemberitaan berubah menjadi corong bagi kepentingan-kepentingan kekuasaan pemerintah/negara. Pembatasan ini memberi pengaruh yang cukup mujarab terhadap isi berita dan informasi yang diproduksi oleh lembaga-lembaga media.
  2. Kekuasaan Modal. Dominasi dalam bentuk kedua ini biasanya ditunjukkan oleh adanya orientasi yang kuat bagi komersialisasi produk-produk media, termasuk produksi-produksi berita. Berita sebagai salah satu produk institusi media dalam kelompok kedua ini berkembang ke dua model: menyisihkan kepentingan publik dari ruang publik dan mengamankan korporasi bisnis tertentu.

Dua kelompok bentuk dominasi informasi di atas itulah yang menentukan latar belakang kapasitas yang diperlukan oleh lembaga-lembaga media watch. Jika perkembangan media yang memproduksi berita/informasi berada zona dominasi kekuasaan negara/pemerintah, maka institusi media watch harus berasal dari masyarakat atau publik itu sendiri. Institusi media watch yang muncul dari kepentingan masyarakat atau publik ini bukan bagian dari perangkat aparatus (state apartus) maupun program-program pemerintah. Indonesia pernah memiliki perangkat aparatus yang bertindak sebagai lembaga media watch, yaitu Departemen Penerangan. Selain itu, Indonesia juga pernah mengembangkan program-program media watch seperti populer dengan nama “Pers Pancasila”.

Dominasi dalam bentuk kelompok kedua menggiring lembaga-lembaga media menjadi lembaga industri. Oleh karena itu, semua fungsi-fungsi lembaga media diorientasikan kepada upaya penciptaan laba sebanyak-banyaknya. Ruang publik yang menjadi ranah bagi industri media dalam mengembangkan pemberitaan-pemberitaan, berubah menjadi komoditi dan menjadi bagian dari modal dasar korporasi dan konglomerasi. Dalam kondisi ini, society atau publik tentu berada dalam posisi yang lemah atau kecil di hadapan industri media yang pure kapitalistis. Kekuasaan negara/pemerintah diperlukan dalam persoalan ini.

Ada dua model keterlibatan kekuasaan pemerintah/negara yang diperlukan dalam persoalan ini: pertama, fungsi regulasi negara/pemerintah perlu memberi perlindungan terhadap kepentingan publik/masyarakat dari kepentingan-kepentingan bisnis semata oleh industri media. Tetapi perlu dicatat dalam hal ini bahwa regulasi pemerintah bukan untuk mengatur isi dan bentuk produk-produk industri media, melainkan mengorganisir akumulasi modal dan korporasi industri media agar tdak berpotensi melenyapkan bentuk dan keragaman isi berita-berita yang diproduksi lembaga media tersebut.

Model keterlibatan kedua adalah memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga media watch oleh institusi-institusi sosial sebagai upaya memperkuat masyarakat sipil dalam berhadapan dengan institusi bisnis besar media berita. Lembaga-lembaga media watch dalam hal ini tidak perlu mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti program-program yang dianggarkan melalui APBD atau APBN, atau juga standarisasi secara nasional sebagai bentuk pelayanan. Dukungan yang diperlukan oleh lembaga media watch ini adalah keberpihakan melalui produk kebijakan dan regulasi, serta keberpihakan politik ketika berhadapan dengan institusi bisnis media.

Secara umum, untuk mengadapi dua model dominasi informasi melalui media ini, pihak yang menjalankan media watch ini terbagi ke dalam tiga kategori menurut kertas posisi media watch yang disusun oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta tahun 2007.

  • Pihak konsumen: Kidia (Kritis Media dan Anak) di Jakarta, Lembaga Konsumen Media (LKM) di Surabaya, Media Ramah Keluarga di Jakarta, Aliansi Anti Pornografi.
  • Pihak Akademisi: Media Watch The Habibie Center (THC), LSPS di Surabaya, LP3Y di Yogyakarta.
  • CSO/Eks Jurnalis: ISAI Jakarta, Lespi Semarang, LSPP Jakarta, Elsim Makassar, LPSAIR.

Sejak tahun 1999, Elsim Makassar mencatat beberapa poin pengalaman dalam menjalankan dan mengembangkan program pemantauan media atau biasa juga disebut Media Watch. Meski memiliki beberapa poin pengalaman itu, Elsim sendiri belum sepenuhnya dapat disebut menjalan fungsi-fungsi media watch.

Bentuk Penyelenggaraan Media Watch

Bantuan Lembaga Donor

Media Watch non Departemen Penerangan di Indonesia mulai bermunculan ketika majalah TEMPO dan EDITOR serta tabloid DETIK dibreidel tahun 1994. Sikap kritis terhadap media dari kelompok-kelompok masyarakat anti status quo waktu itu telah menandai adanya usaha-usaha untuk memberi sikap-sikap tertentu terhadap lembaga-lembaga media. Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta adalah salah satu lembaga media watch yang muncul ketika itu, yakni tahun 1994.

Lembaga-lembaga asing yang bertindak sebagai lembaga donor, adalah pihak yang banyak memberi sokongan dana terhadap munculnya lembaga media watch setelah berakhir kekuasaan Orde Baru. Hampir semua lembaga yang disebut sebagai lembaga media watch ketika itu menggantungkan operasional programnya dari agenda-agenda pendanaan donor asing itu. Praktis, setelah sokongan lembaga donor ini sedikit demi sedikit berkurang, program media watch oleh civil society organization (CSO) ini juga ikut reda. Sementara, secara organisasional, kapasitas CSO untuk meng-generate dana operasional sendiri masih sangat lemah.

Pada masa-masa awal, sepertinya memang tidak ada sub-program yang spesifik dari lembaga donor untuk memperhitungkan kesinambungan program-program media watch yang mereka danai itu. Kapasitas lembaga-lembaga media watch ini juga memang menyambut uluran lembaga donor itu dalam konteks proyek berjangka. Kelemahan kedua pihak ini, lembaga donor dan lembaga penerima donor untuk program-program media watch, membuat program ini tidak berkesinambungan dan kehabisan nafas ketika industri media baru saja mulai menguatkan otot-ototnya.

Elsim pernah mendapatkan bantuan dalam bentuk hibah dari USAID untuk program media watch selama tiga tahun, 1999 – 2001. Program itu dilaksanakan secara berjaringan: Kippas di Medan, Lespi di Semarang, ISAI di Jakarta, LSPS di Surabaya, Radio MARA di Bandung, LP3Y di Yogyakarta dan Elsim di Makassar. Kegiatan-kegiatan program tersebut antara lain; penelitian berita-berita, up-grading kru redaksi media, dan pendidikan jurnalis.

DO (Delivering Order)

Ada pula kalanya, media watch diselenggarakan untuk memenuhi permintaan pihak-pihak yang membutuhkan output program media watch ini. Pihak yang membutuhkan itu seperti badan-badan dalam pemerintah, perusahaan, atau lembaga-lembaga kepentingan tertentu. Untuk menyelenggarakan program media watch ini, pihak yang membutuhkan akan menyokong sepenuhnya dengan dukungan dana bagi operasional program ini.

Orientasi dan target program media watch pesanan ini ditentukan oleh pemberi DO. Oleh karena itu, penakanan media watch dalam rangka aktualisasi kepentingan publik tentu saja tidak mejadi maksimal. Kepentingan yang prioritas untuk dielaborasi dalam kegiatan-kegiatan media watch adalah kepentingan yang sifatnya sektoral dan privat. Meskipun ada sikap kritis yang mungkin terbaca dari aktivitas watch ini, sikap kritis itu telah tidak mewakili keseluruhan kepentingan pubik secara total.

Ada empat kategori pihak-pihak yang biasanya memesan program media watch, yaitu:

  • Lembaga Media itu sendiri: lembaga-lembaga media kerap membutuhkan media watch untuk mengukur kelemahan dan kekurangan produk beritanya, dan sekaligus mengestimasi citra publik terhadap institusinya.
  • Pemerintah: media watch dibutuhkan untuk mencari dukungan dari pihak lain untuk mengurangi keadaan yang kontra-produktif dari produk berita media mengenai program-program pembangunan, sekaligus mengidentifikasi sikap-sikap oposan terhadap kebijakan pemerintahan.
  • CSO (Ornop dan Ormas): mengidentifikasi sikap dan produk media yang mendukung atau yang kontra produktif terhadap program dan misi kelembagaan yang tengah diusung oleh CSO yang bersangkutan. Program yang pernah diselenggarakan elsim dalam kategori ini adalah Program Media Watch untuk Pemilu 2004 yang diselenggarakan oleh Yayasan SET Jakarta, Media Watch untuk Pemantauan Pilkada Bupati di Sulsel tahun 2005 yang diselenggarakan KOPPSS.
  • Sektor swasta: program media watch yang dipesan oleh perusahaan-perusahaan. Yang terakhir ini lebih sebagai bagian dari kegiatan kehumasan oleh peruahaan yang bersangkutan.

Salah satu kelebihan dari program pesanan ini adalah memungkinkan lembaga watch ini mampu melepaskan diri dari ketergantungannya pada lembaga-lembaga donor. Selain itu, memungkinkan juga untuk mensinambungkan operasional administrasi program-programnya secara swadaya pada masa-masa selanjutnya.

*) Disampaikan pada Forum Sosialisasi Pembentukan dan Pemberdayaan Lembaga Pemantau Media. Diselenggarakan oleh Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) Republik Indonesia, di Hotel Banua Makassar, 26 Juli 2007.

**) Direktur Lembaga Studi Informasi dan Media Massa (ëLSIM) Makassar


Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim