SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 23 Januari 2007

Foto Tanpa Kisah

Oleh Maqbul Halim
(23 Januari 2007)

Seseorang, biasanya amat bahagia ketika menyimak foto dirinya. Bangga berbaur bahagia ketika disimak oleh anggota keluarga sendiri. Congkak campur bangga ketika disimak oleh tetangga-tetangga. Angkuh nan congkak ketika disaksikan pada dinding pos kamling. Congkak lagi jumawa tatkala foto diri terpajang di mulut gang. Jumawa dan “rendah diri-memohon” saat tegak-jangkung di persimpangan jalan.

Lisa Gherardini, wanita dibalik lukisan Mona Llisa, haru apa gerangan yang ia alami andaikan masih hidup hingga kini. Rupa Monalisa dari tangan Leonardo Da Vinci telah disepakati para ahli sebagai pemberian Mona Llisa (juga pelukisnya) kepada dunia.

Llisa tidak sedang menanti. Ia bisa mengelak dari suatu nasib. Tapi ia tak bisa menjadi subyek terhadap takdirnya. Ia tidak bisa menikmati decak kagum dan teka-teki sang maestro dan ahli di kemudian hari setelah seluruh umat gereja propinsi Florence menghadiri pemakamannya pada Juli 1542.

Dalam lingkaran bingkai yang bergelantung kaku di Museum Louvre, Paris, ia hanya tersenyum. Sebuah senyum yang masih teka-teki hingga kini. Tanpa harap-menanti, jutaan tamu tak diundang datang setiap tahun untuk mengamati lukisan dirinya lamat-lamat. Kalau pun ia bahagia, siapa yang tahu.

Bruce Willis adalah nasib yang lain tapi dengan takdir mujur. Ia menganyam nasib sebagai aktor selama 26 tahun. Ia memulai debut nasibnya pada serial televisi laris Moonlighting pada dekade 1980-an. Sejak itu, ia membebani hidupnya dengan obsesi supaya namanya terpajang pada trotoar terkenal Walk of Frame di Hollywood.

Ia ingin namanya bersama aktor lain terbaca oleh pengunjung di trotoar bertabur bintang itu. Setelah mendapat pujian dengan penampilannya dalam Pulp Fiction, The Six Sense, dan Twelve Monkeys, kesempurnaannya sebagai seorang pesohor Hollywood pun tercapai (Republika, 01/12/06). Ia dianugerahi bintang dan nama terpatri di tebing trotoar.

''Saya dulu suka datang ke sini dan memperhatikan bintang-bintang ini dan saya tak bisa membayangkan apa yang Anda akan lakukan bila Anda mendapatkan bintang itu,'' tuturnya setelah menyaksikan bintangnya menjadi bintang yang ke-2.321 yang ditanam di trotoar itu.

Nun di Indonesia medio 1966, Jenderal TNI Achmad Yani tidak sempat menyaksikan patung tubuhnya yang berdiri tegar dengan rentangan lengan menjolor ke depan menunjuk. Yani tidak menyuruh Jenderal TNI Soeharto membuat patungnya, seperti Llisa kepada Da Vinci. Pada kematiannya, Yani mungkin tak merasakan gaharu apapun dengan patung dirinya itu.

******

Setiap patung, foto, atau lukisan adalah sebuah tanda yang berarti ujung. Tapi itu tidak berarti akhir. Ia hanya batas, sejenis lorong penghubung, dari suatu sosok atau peristiwa ke memori kolektif, perawatannya ada pada citranya. Oleh karena itu, peristiwa tidak bisa mengisahkan kejadiannya, seperti produksi kecap tidak bisa mengiklankan dirinya, kata politisi Amir Madjid pada suatu ketika dalam Januari 2006 di Makassar.

Willis bisa saja memiliki lahan hingga belasan hektar lalu kemudian mendesain trotoar menyerupai Walk of Frame. Ia bisa leluasa memahatkan namanya pada dinding pualam di tebing jalan pada lahannya. Tapi kita juga yakin, kalau pun Willis melakukan itu, ia akan serupa dengan foto figura si Pulan pemalas yang hidupnya nihil kisah hero tapi terpajang di gapura gerbang kota mati.

Dengan semua dorongan dan kekuatan, tokoh dan peristiwa berjalin-kelindan, dan zaman selanjutnya menemukannya sebagai sejarah. Di sinilah, foto, lukisan, dan patung diartikan sebagai sejarah yang bukan narasi, titik sebuah epos. Menatap sebuah foto seorang adalah upaya mengait untaian kisah-kisah heroik dan unik di masa silam.

Ketika kita menatap foto seorang yang hampa kisah-kisah heroik dan unik dalam hidupnya, perasaan kita mungkin tidak berbeda ketika melihat foto seekor kelinci. Tentu saja, karena tak seekor pun kelinci pernah menjadi penoreh sejarah.

Perasaan kita tentang dunia silam akan berbeda ketika kita menatap foto Jenderal Sudirman, foto Jenderal H.M. Jusuf, Abraham Lincoln, lukisan Monalisa, patung Gustave Eiffel dan seterusnya. Bandingkan ketika anda menatap foto ayam kampung, kucing persia, itik Manila, dan lain-lain. Foto-foto yang terakhir tidak membawa kita pada sejarah tertentu. Kita hanya bisa mengenalinya tapi belum tentu memahami sesuatu dari masa silam.

*****

Dunia di kemudian hari telah terletak jauh dari era si jenius zaman pencerahan, Leonardo Da Vinci. Digital Printing lebih hemat dan akurat ketimbang Da Vinci. Foto, lukisan, kalender, baliho, dan sejenisnya tidak mesti berarti titik sebuah epos. Tidak mesti sebuah penanda sejarah. Dari sebuah baliho, ambisi lebih penting ketimbang sejarah. Ambisi adalah masa depan dan sejarah adalah masa lalu.

Tetapi Willis tidak berada di wilayah jenis ambisi di atas. Ia tidak ingin menanam sendiri namanya pada Walk of Frame. Ia ingin namanya ditanam oleh kiprahnya dari Pulp Fiction, The Six Sense, dan Twelve Monkeys, dan lain-lain. Ia tetap bertekad bahwa dibalik nama itu ada sejarah Hollywood yang sebagian berasal dari dirinya. Willis tidak ingin seperti foto si Pulan di gapura gerbang kota mati, foto yang tidak mewakili fakta sejarah.

Siapa yang berdaya melawan Digital Printing? Mesin ini tidak mampu menghayati dan memberi makna. Ia tidak bisa mentransformasi peristiwa, aksi dan situasi kepada sosok tokoh melalui hasil cetakannya. Jika anda ingin foto-foto tokoh yang merefleksikan peristiwa, aksi dan situasi monumental, bertandanglah ke museum-museum. Di tempat itu tak ada bintang iklan yang kaya rupa tapi miskin kisah.

Tiliklah, sejarah apa yang dapat dimaknai dan dipahami dari seorang bintang iklan shampo pada billboard di pinggir jalan? Tetapi, dunia yang tengah kita peragakan senantiasa membuat kita frustrasi. Seorang secara otomatis dapat terdaulat menjadi juru masa depan cukup dengan puluhan ribu helai foto, puluhan baliho, ratusan kalender. Digital Printing dituding sebagai biang. Tokoh-tokoh tumbuh tanpa kendali dan serampangan.

Tokoh-tokoh penggerak zaman yang menjadi kunci masa depan pada akhirnya berwujud imajiner. Pada gilirannya, dari ranah Digital Printing, VCD, dan Kalender, masa depan zaman pun dipaksa menjadi imajiner. Selanjutnya, keadilan, kepedulian, solidaritas dan sebagainya dari tokoh-tokoh penggerak zaman itu juga imajiner. Di bawah tekanan frustrasi dan geram, korban-korban zaman yang konkrit itu hanya melawan bayang-bayang. Korban-korban itu tidak lain adalah mereka yang memiliki minat tinggi membaca baliho, kalender, stiker dan brosur.

Suwaib, mahasiswa S3 Univeristas Padjadjaran Bandung, tak lama setelah usai penghitungan akhir Pilkada Gubernur Propinsi Banten akhir 2006 lalu, memberi komentar singkat pada radio lokal di Serang, “Selamat bagi warga Banten yang telah memilih foto-foto. Anda kini telah mempunyai foto gubernur, bukan lagi foto calon gubernur.”

Patung Ahmad Yani, lempengan logam nama Bruce Willis, dan lukisan Monalisa adalah penanda yang tidak sederhana. Tilas-tilasnyalah yang memashurkan. Mungkin bijak berkendara sambil tertunduk agar foto-foto jalanan tidak memberi tahu.

Penulis: anggota komunitas ëLSIM Makassar.
Selengkapnya >>

Kamis, 11 Januari 2007

Cara Media Memberitakan Maula

(Tinjauan terhadap Berita-berita tentang Kasus Penjualan Ex Gudang Farmasi)
Oleh Maqbul Halim

Arya Gunawan, bekas reporter Radio BBC London pada diskusi Perkembangan Mutakhir Jurnalisme, di Universitas Indonesia, Depok, 30 Agustus 2006 mengatakan dalam makalahnya “Jurnalisme Baru, Kembalilah ke Akar”, bahwa perubahan memang tengah berlangsung. Maksud Gunawan adalah perubahan dalam dunia jurnalisme, yakni jurnalisme radio, televisi, dan online web. Oleh karena itu, mestikah juga media cetak seperti pada Suratkabar, Majalah, dan sebagainya direparasi agar bisa ikut beriring mengikuti jejak perkembangan jenis media lainnya.

Ia mengatakan bahwa sebagian besar dari perubahan itu berisi keprihatinan. Siasat dan inovasi memang mutlak diperlukan. Namun di atas semua itu, nilai jurnalistik (untuk selanjutnya, saya tetap menggunakan kata “jurnalisme”) yang asasi tetaplah harus menjadi pertimbangan utama. Khalayak pembaca perlu terus menerus diyakinkan bahwa para pengelola suratkabar adalah orang-orang yang layak dipercaya dari segi kredibilitas dan profesionalisme, serta dari integritasnya. Dengan begitu, suratkabar sebagai produk yang mereka hasilkan juga akan beroleh kepercayaan yang sama.

Jurnalisme baru dalam pandangan Gunawan justru adalah “jurnalisme lama”, jurnalisme yang merujuk kembali ke akarnya: sebuah tugas mulia yang memburu kebenaran lalu menyajikannya kembali kepada khalayak dengan niat yang lurus agar khalayak lebih tercerahkan dan terberdayakan. Untuk mencapai tujuan mulia itu seluruh standard dan nilai jurnalistik yang selama ini sudah dikenal, perlu terus diperkokoh: jurnalis dan editor harus tak henti mengedepankan rasa ingin tahu yang dilandasi pada skeptisisme, tak bosan melakukan verifikasi, tak malas dan tak lekas berpuas diri, tak surut mempertahankan nilai-nilai dasar etika jurnalistik (keakuratan, keberimbangan, kejujuran dan keadilan), sembari terus mengasah keterampilan dalam mengumpulkan bahan, ketajaman analisis, kemahiran menulis.
Narasi di atas adalah kesimpulan dari makalah yang disampaikan Gunawan yang mencoba merumuskan keprihatinan dan perlunya media cetak menegaskan jati dirinya di hadapan jurnalisme radio dan televisi (termasuk jurnalisme on-line web). Menurut Gunawan, sikap sebagian orang sekarang di hadapan suratkabar tidak ingin lagi didikte mengenai apa yang baik dan buruk atau benar dan salah, tetapi lebih jauh mereka ingin didengarkan. Oleh karena itu, menurut saya, jika tesis Gunawan di atas sebagian besar benar adanya, maka suratkabar mestinya mengahdirkan berita-berita yang merupakan dialog, tidak mendikte, apalagi yang konyol seperti menaksir rendah (underestimate) kecerdasan serta kedewasaan pembacanya.

Dalam pemberitaan kasus Bom Bali, seri pertama maupun seri kedua, media dan jurnalis/redaktur lebih kerap tampil sebagai juru bicara kepolisian Republik Indonesia. Laporan Sidney Jones, South East Asia Project Director, International Crisis Group (ICG) dalam laporan Bulettin ICG “Indonesia Briefing” Jakarta/Brussels, 8 August 2002 tentang gurita jaringan Al Qaida di Pesantren Ngruki, juga menjadi juru bicara kepolisian dalam menyidik para pelaku atau otak di balik Bom Bali. Laporan Sidney Jones didasarkan pada hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP) polisi penyidik terhadap berbagai saksi dan tersangka. Berdasarkan berita-berita media massa dari penggalian polisi terhadap saksi-saksi, keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir pada Bom Bali I dan Hotel J.W. Marriot terlihat sudah begitu meyakinkan. Sebaliknya, pada upaya hukum terkahir, Peninjauan Kembali atau PK di paruh akhir 2006, justru Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa Ba’asyir tidak terbukti terlibat dalam kasus pengeboman di Bali dan hotel J.W. Marriot (Antara News, 21 Desember 2006). Ulasan BBC News Senin, 18 Desember 2006 berdasarkan amar putusan Majelis Hakim MA menyebutkan bahwa Ba’asyir memang sempat ditemui Amrozy (salah satu terpidana kasus Bom Bali I) sebelum peristiwa ledakan Bom Bali I. Namun, seperti ulasan BBC tersebut, pertemuan itu tidak membicarakan rencana peledakan bom itu.

Identifikasi dan penangkapan Amrozi, ketika itu tersangka otak peladakan bom di Sari Club dan Paddy’s Club, Bali, tidak diketahui sama sekali oleh jurnalis, baik itu radio/televisi maupun cetak. Ketika Amrozy ditangkap pada 5 Nopember 2002 pukul 08.30 di desa Tenggulun atau 30 kilometer di utara Lamongan, tetap saja tak seorang pun jurnalis yang tahu tentang penangkapan itu. Memang SCTV dan Harian Surya di Surabaya terbilang yang paling cepat memberitakan penangkapan itu, pada hari itu SCTV dengan berita lisan dengan menampilkan grafis lokasi dan harian Surya pada keesokan harinya, 6 Nopember 2006 (Eriyanto, Pantau 06 Januari 2003).

Kedua media ini berhasil mengendus penangkapan itu karena mempelajari pergerakan Kepolisian Daerah Jawa Timur. Andaikan tidak ada indikasi dari pergerakan polisi, kemungkinan besar media atau jurnalis tidak bisa memberitakan apapun tentang tersangka pelaku Bom Bali sebelum pernyataan Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar pada 8 Nopember 2002. Ketergantungan jurnalis/redaktur terhadap kepolisian, kejaksaan, pejabat-pejabat pemerintah terhadap suatu peristiwa atau kasus sudah pada tingkatan akut. Lebar dunia menjadi selebar daun kelor, arena liputan seluas area kantor polsek, misalnya. Mereka tidak lagi seteliti pustakawan, secermat peneliti, dan jurnalis sejati yang keingin-tahuannya mengalahkan tumpukan informasi yang ia sendiri sudah ketahui.

Tinjauan secara menyeluruh terhadap segenap pemberitaan media massa di Indonesia maupun asing tentang keterlibatan Ba’asyir dalam kasus yang didakwakan memang telah mengarahkan publik pembaca dan pemirsa pada perspespsi yang terang dan jelas mengenai siapa Ba’asyir dan Al Qaida sebenarnya. Goenawan Mohamad pada pengantarnya pada Elemen-elemen Jurnalisme (ISAI, 2003) mengatakan bahwa tak hanya manusia dan demokrasi yang bisa jadi korban, tetapi juga kejujuran. Tetapi, betulkah jurnalis-jurnalis itu tidak jujur dalam pemberitaan soal Ba’asyir (kecuali mungkin ”Tiga Malam Menyusup di ‘Sarang Teroris’” oleh Budiman S. Hartoyo [Pantau Online: http://www.pantau.or.id/])?

Pada wilayah ini, sosok jurnalis/radaktur dalam kegiatan jurnalisme, sepertinya, memang sebuah pertanyaan besar. Jurnalis/redaktur adalah subyek yang terbilang rumit dalam ranah jurnalisme dan karya jurnalisme. Dalam perkara ini, kejujuran sebagai penderita korban jurnalisme yang serampangan, mungkin tidak sederhana dan enteng. Saya yakin, memahami jurnalis/redaktur dalam karya jurnalismenya mungkin sekompleks memahami manusia sebagai mahluk sosial. Manusia punya sejarah perkembangan intelektual, lingkungan sosial yang tidak tunggal, kondisi psikologis, kepentingan praktis yang variatif, dan lain-lain. Maka, ketika seorang individu berbicara tentang sesuatu berdasarkan dunia kehidupan yang ia miliki sejak lahir, sesungguhnya ia melakukan penyimpulan. Ketika seorang jurnalis/redaktur menhasilkan karya jurnalisme berupa berita, ia telah menyimpulkan sesuatu dari pengamatannya. Dengan kata lain, berhadapan dengan sebuah narasi berita, kita bisa memahaminya secara etik maupun emik.

Dalam pandangan Ashadi Siregar, direktur eksekutif Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), jurnalis yang langsung belajar teknik jurnalisme, biasanya hanya mamahami nilai berita dengan pendekatan bersifat teknis (technicalities). Orientasi kerja semacam ini, kata Ashadi, terbiasa didorong oleh kepentingan pragmatis, sehingga jurnalis tidak melakukan kegiatan yang mendalam tentang makna suatu fakta sosial (social meaning) (Siregar, 2006: xiv-xv). Oleh karena itu, kecenderungan suatu media atau jurnalis/redaktur bukan persoalan teknikal semata, tetapi persoalan ideologi atau perspektif yang digunakan oleh jurnalis/redaktur dalam mengkonstruk fakta-fakta sosial menjadi informasi berita. Setiap kali meliput, Jurnalis/redaktur selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan, dan kemudian apa yang dipahami oleh pembaca dari sebuah berita adalah sajian dari hasil kegiatan memilih oleh jurnalis/redaktur (predisposisi perseptuil).

Dalam analisis media, pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh jurnalis/redaktur ketika menseleksi isu dan menulis berita disebut analisis framing (framing analysis). Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Gamson dan Modigliani menyebut cara pandang itu sebagai kemasan yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang diberitakan. Frame adalah cara bercerita yang terorganisir sedemikian rupa dan menghasilkan makna tertentu terhadap suatu peristiwa. Ervin Goffman menyebut proses ini sebagai skemata pemahaman atau schemata interpretation (Nugroho et.al, 1999: 21-22).

Mengapa jurnalis/redaktur memilih fakta ini dan tidak dengan fakta itu adalah persoalan ideologi atau perspektif. Oleh karena itu pada setiap pemberitaan, paling tidak, jurnalis/redaktur tidak bisa mengkonstruk fakta-fakta secara taken for garanted. Demikian pula sebaliknya, mengapa pembaca menganggap media ini dan itu dituding tidak netral atau tidak adil, adalah juga persoalan ideologi atau perspektif. Ideologi di sini (Dibyo, et.al, 2001: 78), tidaklah selalu ideologi dalam bentuk teori besar semacam susunan filsafat yang diterima secara umum, melainkan pula ideologi dalam arti semiotik, yakni titik tolak orang (term of reference) untuk memproduksi atau melakukan interpretasi pesan. Ini disebabkan oleh karena ideologi adalah dasar dalam setiap pengkodean, menurut konvensi yang terdapat dalam suatu kelompok budaya, untuk membentuk argumen, hal mana dalam praktiknya, argumen inilah yang akan selalu diipakai orang dalam memakai lambang, menginterpretasikannya maupun menarik kesimpulan darinya.

Dengan demikian, jurnalis yang menjunjung tinggi keterampilan teknis dalam pemberitaannya adalah pekerja tukang, alias tukang bikin berita. Jurnalis yang berusaha memahami ketidak-adilan dalam pemberitaannya adalah pekerja intelektual (mungkin sejenis cendekiawan). Trend pendidikan jurnalisme yang berkembang adalah pendidikan teknis jurnalisme, seperti jumlah kalimat per pragraf, kalimat-kalimat efektif, rumus 5W+1H, pameo “anjing menggigit orang bukan berita, orang mengigit anjing barulah disebut berita”, teknik wawancara, perencanaan liputan, dan lain-lain. Jurnalisme tidak tertarik bagaimana kegiatannya mereduksi makna dari fakta-fakta lalu kemudian mengkonstruknya dan bagaimana karya-karya jurnalisme membentuk realitas-realitas yang mengisi cakrawala berpikir dan citra mental pembaca. Konsekuensi dari kecenderungan larisnya “tukang pembuat berita” akhirnya menggiring jurnalisme menjadi persoalan teknis semata. Jurnalisme tidak lagi menjadi kerja intelektual, tapi kerja tukang. Tetapi, kita bisa juga melihat tidak sedikit jurnalis buta intelektual dalam kerja-kerja jurnalismenya, sekaligus pula miskin keterampilan teknis jurnalisme. Inilah tanda-tanda suram jurnalisme.

Sangkaan Korupsi Maula

Untuk kasus Baso Amiruddin Maula, saya menyebut berita-berita tentang kasusnya sebagai berita tentang kejaksaan dan pengadilan. Bukan berita tentang sangkaan korupsi atau perilaku korupsi Maula. Liputan lebih banyak fokus tentang kegiatan dan pernyataan pers Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar. Seperti kasus penangkapan Amrozi, saya tidak mempunyai pikiran apapun andaikan pihak Kejari Makassar tidak melayani pertanyaan pers: berita-berita media bakal dipenuhi sumber-sumber anonim. Saya lebih suka menyebut sumber rekaan jurnalis/redaktur yang tidak ingin beritanya bisa dikonfirmasi dan diverifikasi.

Demikian juga, saya tidak melihat sangkaan Maula sebagai obyek pemberitaan, melainkan Maula sebagai sosok yang populer di mata publik. Andaikan sopir mobil dinas pemkot menjual secara diam-diam dan tidak melalui prosedur bekas gudang farmasi itu, tentu bukan berita. Kaida-kaida yang umum untuk menilai informasi sebelum dijadikan berita adalah aktual dan memikat. Sosok Maula memenuhi kaida ini. Seperti pameo jurnalisme: anjing menggigit orang bukan berita tapi kalau orang menggigit anjing barulah disebut berita. Pameo itu sangat teknikal belaka, cukup untuk menjadi panduan bagi tukang pembuat berita.

Saya sebenarnya masih membutuhkan tambahan klipingan, khususnya berita-berita media cetak edisi Kamis, 28 Desember 2006 yang terbit di Kota Makassar yang berkisah mengenai Putusan Majelis Hakim (Rabu, 27 Desember 2006) terhadap dakwaan jaksa tentang dugaan korupsi yang dilakukan oleh Maula sebagai Walikota Makassar. Rupanya, naskah tinjauan saya tentang pemberitaan atas kasus hukum Maula ini harus selesai sebelum 27 Desember 2006. Selain dari itu, waktu yang dialokasi untuk saya membuat tulisan ini hanya 10 hari, alokasi yang cukup sempit bagi saya untuk menggali lebih banyak informasi dari berita-berita yang diklipping sejak akhir Nopember 2004 silam. Oleh karena itu pula, metode-metode analisis tidak bisa saya terapkan sepenuhnya dan serinci mungkin sebagaimana halnya hasil-hasil penelitian ilmiah di perguruan tinggi.

Ada beberapa metode yang dikenal dalam mengalisis perlaku media berdasarkan berita-berita yang diproduksinya. Metode-metode tersebut antara lain: Analisis Isi Kuantitatif (Quantitative of Content Analysis), Analisis Isi Kuantitatif (Quantiative of Content Analysis), Semiotika Sosial (Social Semiotic Analysis), Analisis Wacana (Discourse Analysis), Analisis Framing (Framing Analysis), dan lain-lain. Dalam tulisan ini, saya tidak secara spesifik menunjuk pada jenis analisis apa yang saya gunakan untuk melihat berita-berita tentang kasus hukum Maula dalam berita media. Meski demikian, setiap dalil dan penjelasan mengenai berita-berita tersebut senantiasa didasarkan pada salah satu atau lebih dari jenis-jenis analisis yang telah disebutkan di atas.

Tinjauan terhadap berita-berita media cetak mengenai kasus hukum Maula dibagi berdasarkan pokok permasalahan yang saya identifikasi sendiri setelah membaca klippingan masing-masing media cetak yang ada. Secara teoritis, pembagian ini merupakan permasalahan lazim yang terjadi yang dihadapi oleh, baik itu jurnalis/redaktur maupun oleh organisasi media itu sendiri. Pokok permasalahan itu antara lain: sumber resmi, akurasi, instrumen verifikasi, akurasi, relevansi, hasrat laten, dan lain-lain. Media cetak yang disampel adalah lima harian, yakni Harian Pedoman Rakyat (PR), Harian Fajar, Harian Ujungpandang Ekspres (Upeks), Berita Kota Makassar (BKM) dan Harian Tribun Timur (TT), satu tabloid, yakni Tabloid Hukum dan Kriminal EKSIS, dan satu surat kabar mingguan, Makassar Press (Mapress).






Dari tabel di atas, TT memegang rangking tertinggi dalam jumlah edisi pemberitaan maupun jumlah judul berita. Di bandingkan dengan harian lain, TT berkepentingan besar terhadap dan paling rajin memberitakan kasus hukum Maula berdasarkan jumlah judul dan edisi itu. Bahkan TT juga melengkapi berita-beritanya dengan keterangan khusus yang berbentuk Box Insert untuk membuat berita-beritanya dipahami lebih detail. Tinjauan berikut ini adalah tinjauan yang didasarkan pada data klipingan yang tersedia.

Sumber Resmi

Mulanya, tak ada jurnalis/redaktur yang tahu tentang kegiatan Pemerintah Kota Makassar dalam melepas asset bekas Gudang Farmasi itu. Tak ada juga jurnalis/redaktur yang tahu bakal bermasalahnya proses pelepasan asset Pemkot ke pihak ketiga itu. Perjualan asset ini berlangsung kira-kira pada Agustus 2003. Sementara, pemberitaan baru bermula kira-kira pada Nopember 2004. Dalam jeda waktu ini, saya membangun dua asumsi awal. Pertama bahwa kasus pelepasan asset ini memang sarat persoalan. Selama lebih setahun, persoalan kasus ini kira-kira terbungkus rapi, dan pada saat yang sama jurnalis/redaktur tidak mempunyai cukup keterampilan dan ketekunan jurnalisme sehingga persoalan kasus ini tidak tercium untuk diberitakan kemudian. Sebaliknya, tanpa penyataan dari sumber-sumber resmi seperti penyidik kejaksaan, namun berdasarkan dokumen-dokumen yang ada dan kemudian melakukan pengolahan, jurnalis dapat memberitakannya tanpa mesti tergantung pada sumber-sumber resmi karena dokumen-dokumennya sudah jelas dan terang.

Asumsi kedua adalah bahwa kasus ini memang tidak mengandung persoalan. Tetapi karena satu-satunya sumber jurnalis/redaktur untuk memberitakan persoalan ini adalah dari penyidik kejaksaan (penyataan pers jaksa penyidik atau kepala kejaksaan), maka irama pemberitaan sangat ditentukan oleh pihak kejaksaan. Dengan kata lain, nara sumber pilihan jurnalis/redaktur memang hanya dari kejaksaan. Ketika kejaksaan mendapatkan laporan mengenai kasus pelepasan bekas gudang farmasi ini, barulah kemudian jurnalis/redaktur mendapat kesempatan melakukan pemberitaan. Kelemahan jurnalis dalam hal ini adalah tidak adanya upaya untuk mengenali persoalan dari lapangan peristiwa (sumber), misalnya bersumber dari dokumen transaksi, dokumen taksasi, dokumen persetujuan DPRD Kota Makassar, dan lain-lain. Akibatnya, apa kata kejaksaan tentang kasus ini, itu pulalah isi berita. Pertanyaan kritisnya adalah, bagaimana seandainya kasus ini tidak mengandung persoalan sementara kejaksaan mempunyai visi dan misi dalam menyidik masalah ini? Salah satu visi kejaksaan, misalnya, adalah melimpakan kasus ini ke pengadilan dan misinya adalah menggiring Maula menjadi tersangka, sementara kasus ini sendiri tidak mengandung persoalan. Pada sisi lain, jurnalis/redaktur tidak punya pilihan nara sumber selain lembaga Kejari Makassar. Kalau situasinya demikian, kapankah jurnalis/redaktur/media mendekati kebenaran dalam pemberitaannya (bukan kebenaran menurut palu hakim)?

Perkara nara sumber memang kerap menjadi lelucon. Pada Tribun Timur edisi 13 Nopember 2004 disebutkan bahwa penjualan bekas gudang farmasi ini dilakukan tanpa persetujuan DPRD (DPRD Kota Makassar). Pernyataan ini berasal dari penyidik kejaksaan—dalam berita itu, pernyataan ini lebih sebagai opini jurnalis karena tidak mencantumkan sumber maupun identitasnya. Sementara di kemudian hari (setelah edisi 13 Nopember 2004 itu) diketahui bahwa persetujuan DPRD Kota Makassar benar adanya berdasarkan dokumen yang dimiliki oleh DPRD Kota Makassar maupun Pemkot Makassar (Lihat berita Tribun Timur sendiri pada edisi 24 Nopember 2004). Dalam hal ini dapat disebutkan bahwa Tribun Timur telah disesatkan oleh pihak kejaksaan sebagai nara sumber yang tidak reliable (diandalkan) dan tidak credible (dipercaya) pula, meskipun berkompeten dan berwenang. Alternatif agar Tribun Timur tidak keliru pemberitaannya pada edisi itu adalah melakukan verifikasi dokumen (bukan lisan) pada pihak DPRD Kota Makassar dan Pemerintah Kota Makassar.

Saya punya alasan mengapa menyebut pihak kejaksaan bukan sumber yang dipercaya dan diandalkan dalam perkara Maula. Pada Tribun Timur edisi 13 Nopember 2004 disebutkan bahwa Asintel Kejati Sulsel Mahfud Mannan akan melakukan pemanggilan terhadap sejumlah saksi. Namun, dalam kalimat pendukung pada pragraf yang sama justru pernyataan Mannan menyebutkan bahwa segala keterangan saksi telah menunjukkan keterlibatan Pejabat Eselon II Pemprop Sulsel. Bila dianekdotkan, belum beberapa menit setelah Mannan mengemukakan kehendaknya mengirim surat panggilan kepada saksi, ia sudah membeberkan keterangan dari para saksi-saksi itu. Kira-kira Mahfud ini paranormal. Semoga saja kekeliruan itu bukan karena kesalahan jurnalis/redaktur Tribun Timur.

Masih pada Tribun Timur, dari sekian orang yang menjadi sumber pemberitaan dari luar lingkup kejaksaan, semua berdasarkan petunjuk penyidik atau pihak kejaksaan. Hampir semua nara sumber berita Tribun Timur berasal dari petunjuk kejaksaan atau karena ada hubungan secara tidak langsung dengan kejaksaan. Nara sumber itu antara lain, camat Panakkukang, Lurah Borong, ibu kandung Abdul Gaffar, Ketua DPRD Kota Makassar, H. Adnan Mahmud, dan lain-lain. Hanya beberapa nara sumber berita yang bukan merupakan petunjuk kejaksaan, seperti Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar periode 2004-2009.

Demikian pula, dugaan jumlah angka kerugian negara dalam kasus ini pada berita-berita Tribun Timur juga berubah-ubah mengikuti irama penyataan resmi pihak kejaksaan atau penyidik. Perubahan angka tersebut dalam berita Tribun Timur tidak terjadi karena media ini atau jurnalis/redakturnya mendapatkan dokumen lain selain dari pihak kejaksaan. Berdasarkan ini, dapat dikatakan bahwa dalam pemberitaan kasus Maula, Tribun Timur tidak mempunyai banyak pilihan sumber selain dari pihak kejaksaan. Barangkali Tribun Timur sudah pasrah dengan kondisi Kejaksaan atau Penyidik yang tidak bisa diandalkan dan tidak bisa dipercaya sebagai nara sumber berita. Tribun Timur belum mampu menghadirkan berita-berita menguatkan atau atau melemahkan Maula karena bukti-bukti yang ia temukan sendiri.

Lagi pula, Tribun Timur kerap mengutip pernyataan seseorang dari lingkup kejaksaan tapi tanpa menyertakan identitasnya, seperti anonim. Berita yang sumbernya tidak jelas atau nara sumbernya tidak bertanggung jawab adalah juga berita yang tidak bertanggung jawab. Berita-berita seperti ini tidak memberi kesempatan kepada pembaca untuk memverifikasi kebenaran yang dikemukakan nara sumbernya. Umumnya, suratkabar yang sudah mapan tidak melanjutkan draft berita apabila salah satu sumber atau identitas narasumbernya tidak jelas dan terang, atau berita tidak memenuhi asas transparansi. Bill Kovach (2003: 112-114) menyebut laporan seperti ini sebagai laporan yang tidak bisa dipercaya. Sumber anonim rentan digunakan jurnalis/redaktur untuk berpendapat tentang orang lain dalam desain beritanya.

Penggunaan sumber lansung pada berita-berita Tribun Timur juga hampir ada. >>>>>> Soal kondisi tidak sehat yang dialami Maula ketika menjalani pemeriksaan (Tribun Timur, 22 Februari 2005), justru Aspidus Kejati Sulsel Mailan Syarif yang memberi keterangan sebagai orang yang menyaksikan Maula sakit. Maula sendiri dalam edisi berita itu tidak memberi keterangan terkait pemeriksaannya, termasuk soal sakitnya yang dikabarkan pihak kejaksaan.

Pedoman Rakyat

Pada edisi berita 9 Mei 2005, PR menggunakan sumber anonim. “Meski demikian, berbagai sumber di Kejari Makassar menghembuskan kabar tentang sikap yang akan ditempuh tim jaksa penuntut umum, yakni melakukan upaya hukum banding ke PT Sulsel,” tulis PR. PR tidak menyebut rincian identitas “berbagai sumber” itu. Meski pun pada akhirnya memang sikap kejaksaan adalah memilih upaya hukum banding, namun PR tidak berhasil menampilkan kredibiltias dan kehandalan beritanya. Akibat sumber yang tidak jelas ini, akhirnya berita ini tidak bisa diukur (diverifikasi) kebenarannya saat itu.

-------

Instrumen Verifikasi


Pada berita TT edisi 23 Nopember 2004 pragraf ke-6 disebutkan bahwa penyidikan atas kasus penjuanlan eks Gudang Farmasi, termasuk dalam program 100 hari musim awal pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden. Pragraf ini tidak dilengkapi dengan nara sumber dan keterangan identitasnya. Secara tersirat, memang pragraf ini masih lanjutan dari keterangan Aspidsus Kejati Sulsel Mailan Syarif tentang kemungkinan bertambahnya tersangka dan saksi dalam kasus ini. Tetapi untuk akurasi pemberitaan, seharusnya setiap pernyataan dilengkapi dengan identitas nara sumber.

Pragraf ini juga tidak dilengkapi dengan informasi sampingan sebagai instrumen verifikasi. Salah satu contoh yang bisa digunakan sebagai instrumen verifikasi dalam hal ini adalah daftar kasus dugaan korupsi yang lain yang termasuk program 100 hari SBY. Selain itu, bisa juga menyebutkan nomor dan jenis dokumen yang menyebutkan berbagai kasus yang masuk dalam program 100 hari SBY itu. Untuk pernyataan ini, jurnalis seyogyanya masih melanjutkan kira-kira dengan pertanyaan sebagai berikut:

“Bisakah kami dapatkan dokumen 100 hari program SBY yang mencakup kasus ini?”
“Otoritas mana yang mengeluarkan dokumen tersebut?”
“Kapan Kejati Sulsel mengetahui bahwa kasus Maula ini termasuk program 100 hari SBY?”
“Siapa atau pihak mana yang mengusulkan agar kasus Maula ini dimasukkan ke dalam program 100 hari SBY?”
“Apakah kejaksaan menseriusi kasus Maula ini karena adanya program 100 hari itu, terlepas benar atau tidaknya kasus Maula ini masuk atau tidak dalam program itu?”

Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang lain yang bisa diajukan untuk meperkaya nuansa verifikasi dalam berita ini tentang program 100 hari SBY yang mencakup kasus Maula tersebut. Berdasarkan teks berita, kita tentu saja sulit menelusuri dari mana gerangan kemalasan dan ketidak-cerdasan untuk meverifikasi ini berasal: reporter atau redaktur?

Berita yang berjudul “Pemkot Butuh Dana” oleh TT edisi 25 Nopember 2005 itu tidak jelas mengenai bagian-bagian mana saja sepanjang pemberitaan yang merupakan pendapat atau penjelasan Syarifuddin Suddin, kuasa hukum Pemkot Makassar. Setidaknya, hanya pada pragraf pertama Syarifuddin Suddin berperan jelas sebagai nara sumber. Setelah pragraf pertama itu, pragraf selanjutnya adalah ulasan reporter/redaktur itu sendiri. Kekurangan sangat teknis semata tetapi berdampak pada

Selain itu, berita ini juga—termasuk berita edisi sehari sebelumnya, secara tidak langsung menyalahkan pendapat reporter/redaktur Tribun Timur sebelumnya yang menyebutkan bahwa penjualan yang dilakukan Maula adalah tidak disertai dengan persetujuan dari DPRD Kota Makassar. Dalam berita edisi ini, jurnalis/redaktur telah memulai praduga bahwa Maula melanggar prosedur karena tidak meminta persetujuan dari DPRD Kota Makassar. Padahal, praduga seperti demikian bisa dihindarkan andaikan liputan disertai ketekuanan—atau kebiasaan, melakukan penelusuran dokumen yang tidak didikte oleh metode penyidik kejaksaan.

Berita ini juga tidak transparan karena masih menyembunyikan nara sumbernya di kejaksaan. Berita yang kredibel dan handal hanya mendasarkan pemberitaan dari sumber yang kredibel. Sumber yang kredibel adalah sumber yang jelas dan terang identitasnya, selain kompetensi. Seharusnya, TT menunda berita tentang identitas orang-orang dari lingkup Pemkot Makassar dan Pemprop Sulsel yang bakal tersangka karena informasi dan sumbernya tidak kredibel dan reliable. Informasi itu menjadi layak diberitakan ketika sumbernya terang dan bisa dipercaya.

Akurasi

Pada edisi 9 Mei 2005, PR menurunkan berita tentang putusan sela Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Sikap yang dipilih pihak Kejati Sulsel adalah pelawanan dengan upaya hukum banding. Berita PR melalui teras beritanya menyebutkan, “... menganai sikap apa yang diambil tim jaksa penuntut umum ......, kini terjawab sudah dengan turunnya perintah Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel untuk menempuh upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Sulsel.” Berita ini tidak menyertakan alat verifikasi berupa nomor surat banding (sesuai formulirnya), kapan waktu pendaftarannya di PT Sulsel, alasan kenapa Wakajati Sulsel yang menandatangi surat, dan sebagainya.

Kekurangan PR yang lain soal akurasi bisa ditemukan pada edisi 21 April 2005. Berita edisi itu menyebutkan, “Dalam aturan hukum yang berlaku, hakim bisa memerintahkan penahanan.....” Sampai berita itu berujung dengan kode jurnalis/redaktur, dengan kata lain selesai, tidak disebutkan informasi mengenai hukum apa yang dimaksud. Untuk memperkuat akurasi berita, mestinya dicantumkan nomor dan tahun undang-undangnya, kalau memang itu undang-undang, pasal mana, ayat mana, huruf mana, dan seterusnya. Bahkan bila perlu, klausul yang dimaksud dikutip secara langsung.

PR juga membuat kronologis penjualan bekas gudang farmasi dan kantor dinas kesehatan yang setahun lebih kemudian mangakibatkan Maula disangka dan didakwa korupsi oleh kejaksaan. Kronologi tersebut (berita edisi 21 April 2005) lebih tepat disebut sebagai pemaparan PR tentang kasus tersebut karena hampir semua informasinya tidak memiliki sumber, kecuali beberapa identitas dokumen yang disebutkan. Karena tidak jelasnya sumber-sumber referensi penyusunan kronologis ini, ada kemungkinan bahwa PR hanya memodifikasi informasi hasil penyidikan yang dimiliki oleh pihak kejaksaan. Sayang, PR juga tidak menyebut hasil penyidikan kejaksaan sebagai sumber, melainkan langsung kode pembuat berita (kronologi: ros-wsh-jw)

Relevansi

Tribun Timur (TT)

Pada edisi 4 Mei 2005, TT memberitakan tentang putusan sela Majelis Hakim PN Makassar terhadap tuntutan jaksa atas dugaan korupsi kasus Maula. TT memberikan improvisasi atas beritanya dengan mengisahkan karir politik Maula. “Bila akhirnya Maula lolos dari kasus korupsi ini, karir politik maupun birokrasi pamong senior ini terbuka lagi,” tulis TT. TT juga menulis pada pragraf selanjutnya, “Sebelumnya, ia berjuang mempertahankan kusi wali kota, berpasangan dengan Apiaty, istri Gubernur Sulsel Amin Syam. Pasangan ini dikalahkan oleh Ilham Arief Sirajuddin-Herry Iskandar.”

Latar belakang yang diulas pintas TT pada edisi di atas sama sekali tidak menunjukkan relevansi terhadap peristiwa vonis bebas Maula pada putusan sela PN Makassar. Seseorang mungkin akan bingung ketika diberitakan tentang kekalahannya dalam pertarungan politik dengan memulai berita itu dengan latar belakang seperti berikut, “Akhirnya, orang yang pernah divonis bersalah karena melakukan perzinahan ketika masih di bangku Sekolah Dasar ini, tumbang di hadapan lawan politiknya.” Kata-kata “..., karir politik maupun birokrasi pamong senior ini terbuka lagi.” adalah pendapat TT atau jurnalis/redakturnya sekaligus juga satu dari ratusan kemungkinan akibat putusan sela itu. TT memilih karir politik dan birokrasi sebagai pilihan dari pada memilih puluhan kemungkinan lainnya.

Hasrat Laten

Tema tentang “jaksa atau hakim harus menahan Maula” adalah tema yang berhasil menguak keinginan terpendam berbagai media, jurnalis/redaktur tentang bagaimana idealnya pelakuan normal bagi maula sebagai tersangka atau terdakwa.

PR pada edisi 21 April 2005 menurunkan berita dengan judul “ACC Desak PN Makassar Tahan Amiruddin Maula”. Kemungkinan berita tesebut adalah hasil jumpa pers ACC yang dimotori oleh Abraham Samad, sementara PR sendiri tidak mengkonfrontir desakan itu dengan pihak PN Makassar. Dalam konsep jurnalisme konvensional, berita ini tergolong tidak berimbang (cover both side) karena pihak utama (PN Makassar) tidak dihadirkan. Akibatnya, berita ini hanya berisi satu versi, yakni dari ACC alias Abraham Samad sebagai subyek sekunder. Secara tidak langsung, berita ini telah memulai pencitraan tentang adanya ketidak-adilan dalam proses hukum kasus Maula.

Pertanyaan mengenai perlakuan yang berbeda oleh kejaksaan maupun pengadilan terhadap Maula dan Gaffar adalah pertanyaan strategis. Saya menyebutnya strategis karena secara awam dapat dipahami bahwa tak perkara yang melibatkan Gaffar adalah juga perkara yang menggiring Maula menjadi tersangka oleh kejaksaan. TT sudah berpartisipasi melalui pemberitaan dengan apresiasi yang begitu tinggi. Sayangnya hampir semua media cetak lainnya tidak tertaris memberitakan letak dan sisi perbedaan antara Maula dan Gaffar dalam kasus hukum ini.

Yang membuat TT tidak sempurna memberitakan ketidak-adilan akibat tidak ditahannya Maula sementara Gaffar ditahan, adalah karena tereduksi oleh tampilnya Abraham sebagai sosok tunggal yang paling membutuhkan Maula ditahan, baik oleh jaksa maupun oleh hakim. Kejaksaan sendiri tidak begitu transparan terhadap pihak jurnalis/redaktur mengenai perbedaan Maula dan Gaffar.

Diksi


Diksi atau pilihan kata adalah salah satu instrumen bahasa yang menunjukkan kecenderungan suatu pemberitaan pada makna tertentu. TT edisi 14 April 2005, misalnya memilih menggunakan kata “kursi pesakitan” ketimbang kata “kursi tedakwa” untuk menyebut situasi Maula di hadapan hakim. Demikian juga, masih pada edisi itu, TT menggunakan kata “duduk tenang” ketimbang “duduk biasa”

Berdasarkan analisis framing, kepentingan masing-masing media dapat dilihat pada berita edisi 28 Nopember 2006 tentang pledoi yang disampaikan Maula di hadapan hakim pada 27 Nopember 2007. Untuk peristiwa tesebut, PR mengulas tema legalnya penjualan eks gudang tersebut, Fajar memaparkan resume isi pledoi, sedangkan TT melukiskan suasana ketika Maula bacakan pledoinya. Secara umum, pledoi yang dibacakan Maula tidak menjadi kesempatan baginya di TT untuk mengklarifikasi berbagai hal yang oleh Maula sendiri dianggap sebagai sebuah keterlanjuran.

Ketika sidang usai mendengarkan keterangan Andi Hamzah selaku saksi ahli dalam persidangan Maula, TT memberitakan suasana persidangan sementara PR mengulas keterangan yang disampaikan Hamzah mengenai kasus hukum Maula. Media lain seperti Fajar dan sebagai tidak memberitakan keterangan Hamzah.

Dari segi jumlah edisi berita yang hanya sembilan edisi, Fajar termasuk tidak menganggap perlu memberitakan kasus hukum Maula sesering TT dan PR. Mungkin karena itu pula sehingga Fajar lebih bersikap biasa-biasa dalam mengemas pemberitaan tentang kasus hukum Maula. Dalam peristiwa keterangan Aswanto sebagai Saksi Ahli, Fajar memberitakan (17 Nopember 2006) keterangan Aswanto sebagaimana yang disampaikan di muka majelis hakim tanpa target apapun. Sementara berita TT tentang keterangan aswanto pada tanggal edisi yang sama sangat menekankan pentingnya Aswanto mengakui, apakah Maula bersalah atau tidak. Sebanyak dua kali TT mengutip ucapan keterangan Aswanto, dua kali itu pula TT memberikan kesimpulan penegas, “Aswanto tidak menyebutkan bersalah atau tidak.” Repetisi dan strengthening TT ini mengesankan betapa perlunya Aswanto tegas, adakah Maula bersalah atau tidak. PR dan harian lainnya di Makassar malah tidak memberitakan tentang kehadiran Aswanto sebagai saksi ahli dalam persidangan Maula.

Tabloid Eksis dan SKU Mapress melalui laporannya justru tampil sebagai Public Relation (PR) Maula. Berita Mapress edisi Minggu IV Agustus 2006 (Tidak Meyakinkan Maula Bersalah), milsanya, lebih layak disebut sebagai “pledoi Maula” atau “sikap redaksi” ketimbang sebagai sebuah berita. Demikian juga tabloid Eksis, laporannya lebih tepat disebut “editorial redaksi” atau “sikap empati pada maula” dari pada menyebutnya sebagai laporan jurnalisme yang lazim dan standar. Kedua media ini tidak begitu jelas dan terang sumber beritanya dan dokumen atau referensi pendukung dalam penyusunan laporan berita.

Tak ada kesimpulan dari tulisan ini karena memang hanya tinjauan. Tinjauan ini sendiri sesungguhnya belum sepenuhnya lengkap. Oleh karena itu, masih membutuhkan tanggapan dan klarifikasi dari berbagai pihak, terutama dalam penentuan sudut pandang dalam memberikan tinjauan. Saya juga yakin, bahwa saya terkesan memberi tempat yang lebih kepada Tribun Timur untuk mendapatkan tinjauan dalam ulasan ini. Hal itu lebih dikarenakan oleh data-data yang tersedia.

Penulis: Direktur Eksekutif Lembaga Studi Informasi dan Media Massa (ëLSIM) Makassar dan peneliti media.
Selengkapnya >>

Minggu, 07 Januari 2007

Masjid (dan) Orang Miskin

Oleh Maqbul Halim

Suwarno, sebagian sangat kecil orang mengenalnya sebagai aktivis KNPI Sulsel. Orang-orang mungkin menduga lelaki setengah baya ini lebih banyak membelanjakan waktunya di warung kopi. Tetapi ucapannya mengejutkan masjid-masjid, rumah ibadah umat Islam yang oleh Al-Qur'an diklaim sebagai rumah Tuhan. Ucapannya adalah sebuah pernyataan yang berhak ditakzimkan pencinta dan pemilik rumah Tuhan.

Padahal, jarak antara Suwarno dan masjid-masjid memang sulit ditaksir ke dalam suatu derajat. Rumah Suwarno, warung kopi itu, adalah petunjuk yang bisa memberitahu. Tak ada warung kopi yang rela berdampingan dengan masjid. Juga, tak ada masjid yang berusaha beringsut mendekat ke warung kopi. Di atas jarak ini, Suwarno membiarkan dirinya menggumam tentang perilaku jumawa sebagian besar masjid.

Menurutnya, dimana-mana Rumah Tuhan yang mewah nan agung itu dikepung oleh bedeng-bedeng kumuh yang mewakili kemiskinan dan kemelaratan, zuhud dan papa. Rumah bedeng yang kumuh berlatai tanah, becek di musim hujan dan lembab-pengap di musim kemarau, memuat muslimin dan muslimat untuk menggelar tidur dan istirahat. Di masjid yang sejuk, adem, berkarpet, berdinding pualam, bermandikan cahaya, dengan kuba dan menara keemasan, Tuhan "ditempatkan" karena masjid memang Rumah-Nya Tuhan.

Pernyataan satiris di atas memang menggangu perasaan suci kita tentang masjid dan Tuhan. Umat Islam, tentu saja-entahlah, apakah memang mesti demikian-rela berkalang kemiskinan ketika berhadapan dengan sebuah kekhawatiran. Mereka khawatir bila Tuhan memendam perasaan uncomfortable atau tidak at home di Rumah-Nya.

Di rumah Tuhan pula, sebagian besar hamba-Nya mempertontonkan keimanan dan ketaqwaan verbalnya. Keimanan dan ketaqwaan seseorang menjadi kasat mata di kastil yang tambun ini. Di rumah Tuhan ini, iman dan taqwa kepada Tuhan bisa dalam bentuk tegel, semen, batu merah, marmer, dan lain-lain. Karena itu di kemudian hari di masjid itu, shaf terdepan di masjid akan selalu dikosongkan untuk para penyumbang kakap dan keluarganya.

Bisa jadi, masjid-masjid telah berhasil menjauhkan orang-orang ber-Punya dari orang-orang miskin, anak terlantar dan yatim-piatu. Di pelataran luar pagar sebuah masjid yang megah, perkasa, dan jangkung di bilangan Manggarai Jakarta, misalnya, mungkin saja pemulung seperti Supriyono (38) pernah singgah berteduh sebelum terus menggendong mayat anaknya Nur Khaerunisa (3) ke Bogor. Anak balita itu meninggal di paruh awal 2005 silam di bilangan Manggarai akibat kemiskinannya.

Dimanakah sebenarnya masjid tegak gagah sekaligus memberi keyakinan bahwa yang tegak itu adalah tugu pembebasan dan membela umat? Seringkah ada letupan emansipasi yang meledak dari sebuah masjid "kaya"? Dimanakah para pahlawan penyumbang atau pembangun masjid itu memprimerkan orang-orang miskin, terlantar atau yatim-piatu dan mensekunderkan masjid?

Setiap sebelum dan usai perhelatan Jumat, masjid selalu tampil kaku dan bebal mengambil jarak terhadap pengemis dan gelandangan yang meradang menunggu derma jamaah di pintu gerbang. Tamu-tamu Tuhan yang datang bersujud di rumah Tuhan itu selalu memberi jauh lebih banyak kepada celengan masjid ketimbang kepada pengemis dan gelandangan itu. Jadi, kita tidak perlu sakit hati bila orang-orang miskin dan terlantar selalu kalah oleh Tuhan di hadapan jamaat Jumat yang berkantong tebal.

Bangun Masjid

Para orang ber-Punya berlomba-lomba membangun masjid dan kemudian mempersilakan Tuhan menghuninya. Mereka melindungi Tuhan dengan meletakkan-Nya di sebuah tempat berpendar bernama masjid itu. Semangat itu menggelora di atas derita orang-orang miskin, terlantar, yatim-piatu yang mengerumun bagai laron di sekitar rumah mereka atau disekitar kompleks perumahan mereka. Masjid yang demikian, tentu saja menyajikan diri bagi orang ber-Punya menyapa Tuhan tentang keimanan dan ketaqwaan mereka yang telah dititip di Rumah-Nya.

Satu-satunya jadwal yang disediakan masjid bagi orang-orang miskin dan terlantar untuk mendapatkan sapaan hampa dari orang ber-Punya adalah di penghujung Ramadhan Hijriyah. Paket sapaan itu disebut Zakat Fitrah. Setelah musim itu berlalu, masjid kembali bisu, sekalipun memekik lima kali sehari-semalam. Pengemis dan gelandangan kembali ke barisannya semula, di sisi luar pagar perkarangan masjid. Setelah itu, masjid hanya kembali membuka diri sekejap bagi orang-orang miskin dan terlantar menada dua setengah kilo daging kurban pada Idul Adha.

Bisakah Tuhan membedakan ketulusan doa hamba-Nya berdasarkan kualitas fisik bangunan masjid? Umat umumnya melancarkan doa sebagai harapan-harapan yang sepenuhnya dibebankan pada Tuhan dari sebuah masjid. Tetapi di dunia yang bersetting dramaturgis seperti sekarang, masjid menjadi penanda yang dikabarkan. Dengan masjid, seseorang berusaha meyakinkan para penyaksi tentang kedekatannya dengan Tuhan. Semakin megah dan glamour sebuah masjid, maka semakin dekat pula para penyumbangnya kepada Tuhan. Dan, panitia akan selalu menyebut nama-nama penyumbang itu kepada setiap tamu Tuhan yang datang.

Orang yang ber-Punya di Pondok Indah Jakarta, misalnya, biasanya tanpa segan dan canggung menghonor seorang Imam masjid di sebuah pelosok pedalaman Sulawesi Tenggara untuk memimpin Shalat berjamaah lima kali sehari semalam. Padahal, selama ia bermukim di Pondok Indah, ia tidak pernah tahu kemana ia melangkahkan kaki ketika hendak ber-Sholat Jumat di dekat rumahnya itu. Ia tidak pernah tahu dari masjid mana gerangan suara azan dikumandangkan.

Orang-orang ber-Punya pun berdeklarasi: "Jangan tanya apakah saya selalu sholat di masjid, tapi tanyalah apa yang Rumah Tuhan itu telah terima dari saya!" Atau mereka akan menjawab: "Seseorang di sebuah masjid pelosok pedalaman Sulawesi Tenggara telah mewakili saya sholat di masjid lima kali sehari semalam." Pada situasi ekstrim, masjid tergiring menjadi semacam tirai pelindung atas dosa-dosa yang ber-Punya agar persepsi sosial terhadap dirinya tetap sehat dan normal. Bukan pencegah.

Monumen

Kalau anda berpikir masjid dan Soekarno, mungkin anda menyebut Masjid Istiqlal. Banyak Rumah Tuhan yang demikian lahir dari keinginan orang-orang ber-Punya agar diketahui orang banyak bahwa dirinya dekat dengan Tuhan. Bangunan ini bertugas meyakinkan publik bahwa si Anu dengan kepada Tuhan tak terpisahkan atau berguna bagi Agama. Karena itu, orang-orang lebih memilih dekat kepada Tuhan dari pada orang-orang miskin. Mereka memilih bersahabat dengan agama ketimbang dengan orang-orang miskin.

Menurut Tuhan, para pendusta agama itu adalah orang-orang yang menterlantarkan orang-orang miskin dan yatim piatu. Bukan orang-orang yang menterlantarkan masjid hingga lapuk diserang rayap. Menurut Tuhan, selamatkan dirimu dan keluargamu dari api neraka. Bukan selamatkan masjidmu dari api neraka. Menurut Tuhan, doa orang-orang miskin dan teraniaya besar peluangnya diterima. Bukan doa ustad-ustad yang piawai berkastone (melawak). Menurut Tuhan, Shalat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar. Bukan donasi jorjoran ke masjid mencegah seseorang perbuatan keji dan mungkar seperti korupsi.

Tetapi masjid dan orang miskin adalah dua dunia yang saling menjauhi, juga berbeda. Mungkin juga, masjid, orang ber-Punya, dan orang miskin tidak kategorikal dalam suatu urutan peringkat. Alias, rumah Tuhan dan orang miskin adalah pilihan, sementara Tuhan selalu jadi pemenang yang divaforitkan para donatur masjid. Pilihan kepada Masjid bukanlah tanggung jawab, tapi mungkin sebuah pilihan tanpa perlu keimanan.

Dalam Islam, menyumbang masjid hanyalah proses “menuju”, seperti halnya sholat, puasa Senin dan Kamis, dan lain-lain. Ia bukan “pencapaian” yang dengan sendirinya proses berhenti di situ. Masjid bukanlah titik akhir dimana persoalan manusia dan Tuhan tuntas. Ketika proses berhenti di masjid, maka ia hanyalah sebuah maklumat. Mirip sebuah papan pengumuman yang memuat nama-nama penyumbang. Karenanya pula, tak diperlukan daftar jamaah.

Akhirnya, masjid tidak mewakili situasi sosial apa pun. Lagi pula, kita tidak mau menyebut bahwa Tuhan hanya bermukim di sana karena Ia ada di mana-mana. Bukankah juga, meski masjid dihuni Tuhan, peralatan masjid tetap raib di tangan maling. Orang-orang memang tetap ke dan menyumbang di masjid, tapi perbuatan tidak adil adalah cerita lain seperti orang tamak bergelar Hajji/Hajjah. Apalagi, sebagian besar rumah tinggal umat Islam jauh lebih buruk ketimbang masjid yang mereka sumbang dengan separuh nyawa.

"Jangan tanya apakah saya selalu sholat di masjid, tapi tanyalah apa yang Rumah Tuhan itu telah terima dari saya!"

Penulis: Ketua Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) ICMI Orwil Sulsel.

Dimuat di harian Tribun Timur edisi Jumat, 28 Desember 2006
Selengkapnya >>

Jumat, 05 Januari 2007

Dana Pilkada Ulang Rp40 M

Rabu, 26 Desember 2007
KPU Sulsel Bahas Strategi

MAKASSAR— Keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait pemilihan kepala daerah (Pilkada) ulang, ternyata membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Anggaran yang dibutuhkan untuk menggelar “pesta” ulang demokrasi itu, ditaksir Rp40 miliar yang mencakup pengulangan 12 tahapan yang ada dalam proses pilkada.

Lalu, apakah dana Rp40 miliar itu sudah cukup? Ternyata, jawabnya belum. Itu karena biaya untuk pengamanan belum termasuk dalam estimasi biaya sebesar Rp40 miliar tersebut. Apalagi, diperkirakan, penyelenggaraan pilkada ulang ini butuh biaya pengamanan yang ekstra. Dengan demikian, secara otomatis, biaya pengamanan juga dipastikan membengkak.

Anggota KPU Sulsel, HM Darwis yang dikonfirmasi soal biaya pilkada ulang mengaku bahwa KPU Sulsel memang belum pernah menghitung berapa dana yang akan digunakan. Kendati demikian, Darwis memperkirakan, kebutuhan anggarannya memang pada kisaran Rp40 miliar. “Kebutuhan itu belum termasuk biaya pengamanan dan pendaftaran pemilih,” sebutnya.

Pernyataan Darwis itu, memang cukup beralasan. Pasalnya, berdasarkan hitung-hitungan sederhana, Pilkada Kabupaten Bone yang sementara berlangsung, dianggarkan sebesar Rp16 miliar. Merujuk pada Bone, angka itu tidak akan jauh terpaut dengan dua kabupaten lainnya, yakni Gowa dan Tana Toraja. Sementara Bantaeng mungkin lebih sedikit dengan pertimbangan jumlah penduduk dan luas wilayahnya yang lebih kecil. Sehingga, estimasi dana yang dibutuhkan juga relatif sedikit, yakni sekitar Rp6 miliar. Nah, jika ditotal, maka dana yang dibutuhkan memang kurang lebih Rp40 miliar.

Sekadar tahu, pilgub lalu menghabiskan dana senilai Rp117 miliar dengan jumlah 5,3 juta pemilih di 23 kabupaten. Namun, bicara jumlah pemilih, empat kabupaten yang “bermasalah” versi MA itu, selama ini dikenal sebagai lumbung suara. Bahkan, sepertiga dari jumlah pemilih tadi, berada dalam empat kabupaten tersebut. Sehingga, angka Rp40 miliar tampaknya sudah rasional.

Persoalannya, dari mana dana itu bisa dikucurkan? Sekprov Sulsel, H Andi Muallim yang dikonfirmasi soal kebutuhan anggaran itu, mengatakan, Pemprov Sulsel pasti menganggarkan (dana pilkada ulang). Namun, kata dia, dalam APBD yang diusulkan saat ini, memang belum ada pos untuk itu. “Tapi di DPRD nantinya dalam pembahasan, kebutuhan itu bisa dianggarkan,” katanya dengan nada meyakinkan.

Menurut Muallim, dana itu (pilkada ulang) memang belum dimasukkan dalam APBD. Pasalnya, kata dia berargumen, APBD sudah disusun baru MA mengeluarkan putusan tentang pilkada ulang. “Dari pada menunggu usulan dari KPU, APBD juga bisa mulur, maka lebih baik rancangan APBD-nya diserahkan lebih dulu,” tambahnya.

Terpisah, panitia anggaran eksekutif, HM Roem yang dikonfirmasi mengatakan, sepanjang APBD belum disahkan, kebutuhan anggaran untuk pilkada ulang tetap bisa dianggarkan. Saat ini, kata dia, pihaknya masih akan membahas masalah APBD itu.

“Sehingga, kebutuhan anggaran untuk pemilihan ulang itu masih sangat mungkin dilakukan,” kata Roem yang tak lain adalah Ketua Tim Pemenangan Asmara.

Bahas Strategi

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sulsel, betul-betul serius menyikapi keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan pemilihan ulang di empat kabupaten. Bahkan, KPU Sulsel terus merapatkan barisan. Tidak hanya internal, tetapi juga dengan jajaran KPU kabupaten/kota.

Rabu, hari ini, para penyelenggara pilkada itu akan menggelar pertemuan di aula kantor KPU Sulsel. Materinya, sosialisasi putusan MA dan sikap KPU Sulsel terkait putusan MA.

Informasi yang diperoleh Fajar, pertemuan ini akan menjadi ajang konsolidasi internal KPU Sulsel menghadapi putusan MA. Selain itu, juga persiapan langkah strategis yang akan ditempuh untuk mengajukan proses hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali (PK) ke MA.

Tidak hanya itu. Dalam pertemuan tersebut, juga akan dibicarakan langkah yang akan ditempuh sekiranya semua persiapan yang sudah dipikirkan KPU, ternyata buntu. Sehingga, pertemuan internal ini, menjadi sangat penting artinya.

Ketua KPU Sulsel, Mappinawang yang dikonfirmasi membenarkan rencana pertemuan itu. Dijadwalkan, kata dia, Rabu, 26 Desember sore, pertemuan itu akan digelar.

Apa agendanya? Mappinawang mengaku hanya sosialisasi putusan MA, meski salinan putusan sendiri belum diterima. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan pertemuan itu akan melebar pada hal-hal strategis yang perlu dibicarakan. Termasuk soal sikap KPU atas putusan MA itu.

Untuk diketahui, konsolidasi internal KPU ini juga merupakan desakan dari bawah, khususnya KPU kabupaten/kota. Pasalnya, dikhawatirkan pasca putusan MA, ada anggota KPU yang bingung menyikapi persoalan ini.

Sebelumnya, Ketua KPU Palopo, Hamka Hidayat juga mengakui sudah meminta ke KPU Sulsel untuk mendesak segera dilakukan pertemuan. Tujuannya, untuk menyatukan persepsi dan langkah KPU pasca putusan MA.

Anggota KPU Kota Makassar, Maqbul Halim juga pernah meminta ke Mappinawang untuk menggelar pertemuan itu. Betapa tidak, kata Maqbul, hanya ada dua hal spektakuler yang terjadi di dunia ini yang benar-benar di luar jangkauan nalar. Apa itu? “Serangan atas gedung WTC di Amerika dan putusan MA atas pilkada Sulsel,” tegasnya. (har/sul)

Sumber: Radar Sulteng Edisi 26 Desember 2007
http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=utama&id=43980
Akses Tanggal 5 Januari 2008
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim