SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Minggu, 29 April 2007

10 Hari di Manado

Manado, 29 April 2007

Saya baru saja tiba di Makassar dari Manado tanggal 29 April 2007 setelah 10 hari di sana. Beberapa hari lalu saya diundang oleh Yayasan Lestari Manado untuk menjadi Juri pada pengarugerahan LESTARI AWARD 2007. Selain saya, Zohra A. Baso juga diundang.

Setiap kali ke Manado, saya selalu terkesan dengan jutaan pohon kelapanya yang tak pernah letih melambaikan nyiurnya. Itu pula mengapa setiap menjelang mendarat (take on) di Bandara International Sam Ratulangi, Manado, saya tak pernah ragu melahap dengan mata lambaian nyiur itu dari balik jendela pesawat. Pohon-pohon itu seakan menyerukan kepada tetamu kota Tinutuan di dalam pesawat yang hendak mendarat ini: "Selamat datang".

Kali ini, saya mengunjungi banyak tempat. Salah tempat yang sangat mengesankan saya adalah pulau Bunaken. Tepatnya adalah Taman Nasional Bunaken. Saya sendiri memilih menyebut kawasan itu sebagai hutan Terumbu Karang dengan segala kemolekannya yang belum saya temukan di tempat lain seperti Takabonerate. Kawasan ini betul-betul menyuguhkan suasana extraordinary. Sebuah taman laut yang kira-kira akan dibenci oleh monster perusak lingkungan hidup seperti pengusaha atau investor.

Manado termasuk kota yang lalai dalam pelestarian lingkungan hidup. Hampir seluruh panjang pesisir pantainya yang seindah Losari Makassar telah tiada. Saya masih ingat, kira-kira enam tahun silam, kota Manado betul-betul Water Front City. Setelah kemarin di Manado, saya harus mengeluarkan kocek untuk menyaksikan Sunset di tepi pantai Kota Manado. Sepanjang pesisir itu saat ini telah dipagari oleh kawanan Rumah Toko (Ruko) dan kawasan Mall.

Kalau saya ingin gratis, maka saya harus meninggalkan menuju keluar kota yang kira-kira jaraknya tiga kilo meter arah barat. Di kawasan luar kota itu, beberapa ruas masih bisa disinggahi untuk duduk-duduk menanti sunset ditelan gelap malam. Hanya saja, saya juga mesti rela berkalang sampah yang berserakan di pesisir. Saya kagum miris atas kota ini sebab perluasan kawasan bisnis justru meluas menutupi kawasan laut dan pantai. Reklamasi pantai menjadi sesuatu yang lazim di kota yang berjuluk TINUTUAN ini.

Menurut saya, kota Manado telah melangkah lebih jauh dalam soal pluralisme. Memang rumah ibada gereja lebih banyak ketimbang rumah ibadah agama lainnya seperti mesjid. Di kota ini, saya dapat mendengar suara azan mesjid dari kejauhan, meski jumlahnya sangat sedikit. Sangat lain dengan di Rantepao, Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, di mana suara azan tidak boleh kedengaran di luar dinding mesjid. Di kota ini juga, saya tidak menemukan adanya fanatisme yang mencolok antara Kristen Protestan yang mayoritas terhadap Katolik yang minoritas. Pemandangan seperti yang tidak saya temukan di Ambon, Maluku.

Rio Ismail, kawan sesama juri Lestari Award 2007 yang berasal dari Solidaritas Perempuan (SP), kerap memberikan pernyataan unik soal agama di Manado. Pria yang pernah bermukim di Manado selama 12 tahun hingga 2002 ini menyuguhkan jawaban atas pertanyaan saya dan jawaban itu sungguh di luar dugaan. Ketika kami melintas di Kota Tondano, saya mencoba mengapresiasi motto BERIMAN kota pesisir danau Tondano ini. Kota ini penduduknya mayoritas Protestan.

"Kira-kira apa artinya BERIMAN itu, Rio?"

"Ya, kalau masyarakat Sulawesi Utara itu, BERIMAN itu lebih banyak dilihat sebagai sinonim. Kepanjangannya: BERI aku minuMAN," jawabnya.

Suatu hari juga pada hari Minggu berkeliling kota Manado menumpang mobil Yanti, direktur Yayasan Lestari. Saya berujar, "Kota Mando betul-betul sepi pada hari Minggu!"

"Asal Bul tahu bahwa di Manado ini, pada hari Minggu, orang jahat dan orang baik sama-sama masuk ke gereja. Bedanya, orang jahat setor muka sedangkan orang baik setor doa. Jadi Bul, gereja tidak membedakan mereka," kata Rio menimpali.

Selengkapnya >>

Kamis, 26 April 2007

Mahasiswa UMI Biadab

Makassar,

Saya berkali-kali berpikir, apa sih point of view sehingga Amarah di UMI itu selalu diperingati setiap tahun? Mereka tidak memperjuangkan apa pun dalam peringatan itu selain sehelai dendam terhadap aparat yang berbuat brutal ketika itu (1996). Ketika musim itu tiba di bulan April tiap tahun, warga Makassar selalu dirundung cemas. Mahasiswa UMI rupanya hanya perkasa di depan kampusnya, Jl. Urip Sumohardjo.

Selain itu, Mappajantji Amin yang sedang menjalani perawatan intensif, juga mendapatkan perlakukan yang tidak manusiawi dari mahasiswa UMI yang tengah memperingati AMARAH. Ini logika yang sangat goblok. Momentum kekerasan di kampusnya diperingati dengan tindakan biadab. Menurut saya, kalau pun mereka itu tidak bernurani, cukuplah mempunyai sedikit nalar. Sebuah komunitas di Makassar yang kerap mengedepankan kegoblokan dan kekerasan. Sulit rasanya berpikir bahwa mahasiswa UMI akan mendapatkan simpati dari masyarakat ketika memperingati AMARAH sembari menganiaya pengguna jalan di depan kampusnya. Itu lebih kejam dari pada tindakan tentara tahun 1996 yang diperingati itu. Apalagi kalau orang sakit yang sedang mejalani perawatan yang dipukuli. Setahuku, tentara NAZI yang lebih biadab dari setan itu, tidak sampai hati mencegat ambulans dan membantai pasien yang sedang dimuat. Tapi saya percaya, mahasiswa UMI telah melakukan itu, yang tidak mampu dilakukan oleh tentara NAZI.

http://www.tribun-timur.com/view.php?id=43768

========

Rabu, 25-04-2007
Putra Prof Mappadjantji Dikeroyok di DepanUMI
Makassar, Tribun — Anak Prof Dr Mappajantji Amin, Bayu Dewabrata (18), dikeroyok mahasiswa yang sedang demo memperingati April Makassar Berdarah (Amarah) di depan kampus UMI, Jl Urip Sumoharjo, Makassar, Selasa (24/40.

Anak Guru Besar Fakultas MIPA Unhas ini dikeroyok saat berupaya membongkar palang bambu yang dipasang mahasiswa melintang di jalan di depan kampusnya. Saksi mata di tempat kejadian mengatakan, pengeroyokan tersebut bermula saat mobil Toyota Fortuner yang disetir anak perempuan Mappajantji hendak melewati palang.

Mobil yang akan membawa Mappajantji ke RS Wahidin Sudirohusodo, mengangkut empat penumpang masing-masing Bayu, Mappajantji, salah seorang anak perempuan Mappajantji, dan seorang suster.

Karena dipalang, suster turun meberikan penjelasan ke para mahasiswa bahwa ada pasien di atas mobil. Karena tidak dibuka, Bayu turun dari mobil dan berusaha membongkar palang tersebut. Melihat hal itu, beberapa mahasiswa merasa tersinggung lalu mengeroyok Bayu hingga babak belur.

Mappajantji yang masih mengenakan infus, sambil memegang kantong infus, turun dari mobil untuk melerai. Tapi, malah nyaris menjadi korban. Bahkan tali infus yang dikenakan terlepas dan jatuh ke tanah.

Kepada Tribun, Mappajantji, mengatakan, keluar dari rumah sakit untuk melayat keluarga yang meninggal dunia. "Mana ada orangtua yang tega membiarkan anaknya dianiaya. Saya pun turun untuk melerai tetapi hampir saya juga kena pukulan dari mahasiswa. Untungnya masih sempat menangkis," katanya.

Mappajantji akan menuntut hingga ada penyelesaian tuntas mengenai kasus tersebut. "Ini tidak bisa dimaafkan. Saya akan selesaikan secara hukum. Saya akan menggunakan segala potensi yang saya miliki untuk menyelesaikan kasus ini hingga ke pengadilan," katanya. Dia juga sudah melaporkan kasus ini ke polisi.

Mahasiswa UMI Minta Maaf

Pengurus Lembaga Mahasiswa (Lema) Se-UMI menggelar konferensi pers di depan gedung Kedokteran Kampus II UMI, atas iniden pemukulan salah seorang pengguna jalan saat memperingati Amarah, Selasa (24/4).

Dalam kesempatan tersebut mereka menyampaikan tuntutan sikapnya, sekaligus permohonan maaf atas insiden kekerasan yang terjadi."Aksi ini kami hentikan karena kondisi yang tidak memungkinkan. Massa sulit dikontrol lagi. Kami juga meminta maaf kepada keluarga korban Amarah dan kepada pihak yang menjadi korban dalam insiden yang terjadi," kata perwakilan pengurus Lema Se-UMI, Firman.

Dalam tuntutannya para mahasiswa meminta kepada Presiden RI untuk menegaskan bentuk keprihatinan terhadap Amarah, dan menjadikan kekerasan dalam dunia pendidikan sebagai agenda nasional.

Mereka juga meminta kepada Komnas HAM untuk membentuk tim independen penyelesaian kasus tersebut. Amarah merupakan tragedi yang terjadi 24 April 1996 di UMI. Saat itu, mahasiswa yang melakukan demonstrasi besar-besaran menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang disusul aksi penolakan tarif petepete yang berimbas bentrokan dan penyerangan yang melibatkan TNI-Polri.

Kejadian ini menyebabkan tiga orang mahasiswa UMI meninggal dunia yakni Almarhum Andi Sultan Iskandar (Fakultas Ekonomi), Syaiful Bya (teknik arsitektur), dan Tashrif (fakultas ekonomi).

kesaksian Prof Dr Mappajantji

Saya sudah lima hari lalu di Medical Centre RS Wahidin. Karena om istri saya meninggal, makanya saya keluar untuk melayat dengan masih memakai infus, oksigen, dan didampingi perawat. Setelah pulang dari melayat di Jl Kajaolalido, itu insiden ini terjadi.
Ketika melewati kampus UMI mobil kami dicegat dan diminta melewati jalur petepete di sebelah kiri.Tapi pas sampai di ujung (pintu II) kami kembali dicegat oleh mahasiswa, padahal saya sudah menunjukkan bahwa ini kondisi darurat.

Makanya perawat saya turun memberikan penjelasan tapi mereka tidak mau mengerti dan malah semakin memalang mobil kami dan memasang muka marah. Anak saya turun dan berusaha membongkar palang, langsung dikeroyok.

Saya kemudian dikelilingi mahasiswa, hampir juga kena pukulan dari mahasiswa dan untungnya saya masih sempat menangkis. Itu mungkin yang menyebakan tali infus saya jatuh.

Kejadian ini jelas tidak bisa dibiarkan mereka sudah seenaknya dan sewenang-wenang kepada kami, itu kan jalan umum jadi kenapa ditutup-tutup.

*Prof Dr Mappajantji Amin, ayah korban (cr5)
Selengkapnya >>

Minggu, 01 April 2007

Sang Menteri


Makassar, 07 Januari 2004

Setiap hari, saya selalu menunggu datangnya kabar itu. Saya sadar, tindakan ini bisa diibaratkan menunggu sinar mentari pagi di sore hari. Sebuah penantian yang nyaris tanpa beda dengan harapan dari sebuah perjudian. Tapi jejak-jejak yang ada telah banyak memberi tahu. Saya menunggu dan hari yang ditunggu hanya perkara waktu yang belum ketemu.

Sejak Januari 2006, saya telah memilih keyakinan ini. Sesuatu akan datang, dan beberapa kawan saya mendapati situasi yang buruk. Mereka seperti ayam kehilangan induk. Mereka tiba-tiba terdesak dan harus menghapus jejak perkawannya dengan sang menteri. Sang menteri memang belum menjerit. Ia percaya diri, yakin, tak gentar, kokoh.

Hari ini (7/02/06), saya membaca kembali tanda-tanda kabar yang akan tiba itu. Meski saya sendiri tidak tahu, kapan persisnya kabar itu betul-betul tiba. Tapi hari ini, saya memang merasakan desakan itu. Pengacara Daan mendesak KPK agar melanjutkan kasus dugaan korupsi dalam pencetakan kertas segel Pemilu Presiden Pertama dan Kedua. Saya memikirkan teman yang baru saja pindah ke Jakarta. Apa gerangan ia ketika sang menteri betul-betul benjol akibat isu korupsi kertas segel ini.

Kira-kira setahun silam, saya mencoba mendapatkan tanggapan dari Boby (Ahmad Abdullah, mantan pegawai KPU Sulsel). Saya katakan padanya bahwa situasi sulit bakal ditemui sang menteri adalah benar. Saya juga membeberakan beberapa personal garanted yang merupakan sumber informasi itu. Ia mengaku bahwa saya lebih mengetahui dari pada dirinya. Begitu pula, saya lebih berjarak dekat untuk mengabarkan itu ketimbang dirinya. Pendapat itu saya akui, tapi saya juga menyatakan bahwa saya telah melakukan itu. Satu-satunya yang belum saya lakukan adalah bahwa saya hanya mengabarkan kepada orang-orangnya pada lingkaran dekat. Sang menteri masih jauh, selain juga bahwa ia tidak perlu memikirkan apa yang saya khawatirkan.

"Anda lebih dekat dengan Sang Menteri, kan! Sampaikanlah itu," kata Boby di warung kopi Phoenam Makassar waktu itu.

Kurang lebih setahun sebelum saya beberkan gosip itu kepada Boby, saya telah bercerita kepada Tomi. Ketika itu, Tomi menganggap saya sudah berubah karakter dan karena itu saya pun dapat dikuasai oleh gosip. Terus terang, saya tidak mempunyai cukup alasan ketika itu untuk membantah pandangannya terhadap kondisi faktual diri saya. Ya, ia telah menilaiku demikian. Tetapi saya tidak setuju kalau keyakinanku dinilai.

"Kalau orang-orang bisa ditersangkakan menurut Gosip, kita semua ini pada akhirnya akan menjadi tersangka," kata Tomi pada saya ketika itu.

Saya terdiam usai Tomi mengatakan itu. Ia telah lama bergaul dan berkelut dengan politisi dan pengusaha kawakan sebagai wartawan TEMPO Majalah. Menurutku, tidak ada yang salah dari pernyataannya itu.
*****

Di Rakyat Merdeka, salah koran harian yang terbit di Jakarta, saya membaca serial penyergapan Mulyana W. Kusuma oleh tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hamzah, seorang mahasiswa S3 di bidang hukum Universitas Indonesia, bercerita bahwa Mulyana itu hanya gerakan pembuka.

"Jika sembilan anggota KPU diminta berbaris, mereka akan menyerupai pagar," kata Hamzah.

"Pagar itu akan dipasang di hadapan penyidik KPK. Mulyana hanya sebilah anak pagar itu," kata Hamzah melanjutkan.

Mendengar cerita itu, Tomi hanya berujar, "Itu tidak jelas dan tidak mendasar."

Sejak itu hingga lima bulan kemudian, bagaikan seekor Banten marah, KPK menyeruduk beberapa anggota KPU. Ibarat mencabut rumuput, KPK menggilir anggota KPU satu demi satu. Termasuk sang menteri, yang selama ini diternakkan oleh Jusuf Kalla. Termasuk Anas Urbaningrum, ternak Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

****

Tomi tidak memberi tanggapan pada lima bulan setelah penyergapan Mulyana dan pemanggilan sang menteri sebagai saksi pada kasus kertas segel di KPU. Saya sendiri berharap, semoga Tomi tidak berniat menyembunyikan kecemasannya. Ia memiliki informasi yang lebih baik dan karena itu pula, ia tidak perlu khawatir.

Untuk masalah sang menteri ini, mungkin saya telah mendapatkan sekutu. Setelah ia dimutasi dari KPU Sulsel menjadi kepada Dispenda Kab. Gowa, Boby berterus terang kepada saya bahwa ia mulai cemas. Saya berpikir bahwa Bobi sudah berpikir seperti saya berpikir. Tapi saya belum tahu, apakah Bobi ingin melakukan sesuatu seperti yang saya inginkan dalam pikiran saya.

Saya sendiri sudah berada sangat jauh. Saya pun telah kehilangan berbagai alasan agar dapat membicarakan berbagai hal dengan Tomi. Tomi juga sudah larut, bukan hanyut. Menurut Tomi, ia juga sudah terletak jauh dari sang menteri.

****

Hari ini, sang menteri juga mulai sadar dengan berbagai sesumbarnya selama ini. Sebagai menteri, retorikanya yang selama ini menjadi kekhasannya, lumpuh tak berdaya. Sang menteri memang berusaha menjejalkan argumen dari sikap percaya dirinya. Tetapi ternyata itu tidak banyak membantu. Ia tetap terlihat kerdil bersama argumennya.

Sang menteri tidak optimis dengan kasus itu, ia hanya percaya diri (self esteem). Ia masih berhadapan dengan masa depannya sebagai anggota kabinet SBY-JK. Ia terus bergerak. Dari Helsinsky hingga meja sidang umum PBB. Ia terus memperpanjang kisahnya di tengah himpitan kesulitan, mungkin juga "teror". Dari sebuah "teror", ia tetap mengaku tidak takut. Kalau pun sang menteri takut, ia selalu memahami ketakutannya secara prosedural. Sang menteri memang sangat pragmatis, tetapi juga sistematis.

Sebelum ia disebut sang menteri, ia memang pernah menjadi sebuah masalah ketika perancangan personel kabinet SBY-JK. JK adalah fakta politik ketika itu. Ia adalah bagian fakta politik JK. Di ujung kebingungan, SBY memutuskan: SBY tidak ingin melawan fakta politik JK. Sang menteri sendiri menemukan dirinya ceria dan girang, hanya beberapa detik setelah ia murung dan cemas. Sang menteri geram di ruang kerjanya di KPU. Nun di Istana, dirinya sedang diperbincangkan. Dan, sang menteri memang berakhir bahagia pada malam itu.

Saya masih di Bandung, ketika sang menteri bersama Tomi, Zainal, dan Aidir melancarkan doa tanpa ampun dan jedah kepada Tuhan. Doa itu memang kepada Tuhan, tapi SBY-lah yang mengabulkan. Di hadapan SBY-JK, bagi sang menteri, Tuhan mungkin adalah cerita lain.

Saya dan Suwaib duduk di salah satu kafe di bilangan Dago, Bandung ketika itu. Saya memesan jus alpukat. Desingan alunan musik dari para amatiran di ujung pelataran kafe terdengar datar. Saya memang tidak sempat berujar tentang musik itu lebih banyak. Saya diam-diam dari hati yang kurang becus, melepaskan harapan dalam bentuk doa untuk sang menteri. Bukan agar ia betul-betul jadi menteri, tetapi agar ia tidak takut kecewa. Tegar menerima kepahitan. Tidak gugup ketika ia betul-betul jadi seorang menteri.

Dari alunan musik yang membuatku pening, saya membatin bahwa apa yang telah saya lakukan memang berdoa. Tapi, doa tidak mesti kepada Tuhan karena kata padanan untuk doa adalah harapan. Andaikan pada malam itu saya berterus terang, doa yang saya selipkan diam-diam itu bukan untuk Tuhan, tetapi kepada SBY. Kita pun juga tahu bahwa SBY tidak bisa mendengar doa secara diam-diam dari kejauhan seperti halnya Tuhan.

Sebelum beranjak dari kafe itu, saya akhirnya sadar bahwa kini jarak itu mulai terentang. Lingkungan interaksi sang menteri akan beranjak ke permukaan yang lebih luas, sebuah permukaan yang sarat dengan gengsi, keangkuhan virtual, dan terus terpendam di balik tembok jabatan. Sang menteri akan menciptakan dirinya yang betul-betul membuat Daan Dimara terhempas dengan rasa pertemanan yang lumat dan lantak. Di permukaan itu, Nazaruddin Syamsuddin merasakan dirinya sebagai mahluk terasing di depan mahkamah kabinet SBY-JK, kabinet yang menjolorkan sang menteri sebagai tombak yang cuek dan bengis.

Tema utama masa silam sang menteri adalah keteguhan, kukuh, ulet, sekaligus cerdas, lincah, dan piawai. Syahrir Makkuradde, mentor sang menteri pada berbagai hal ketika masih mahasiswa di Unhas, mengaku telah melihat sesuatu yang tidak lazim pada diri sang menteri itu ketika itu. Ia, kata Syahrir, kerap mengkonsultasikan kekurangannya. Syahrir mengistilahkan sang menteri seperti pendaki yang tak pernah turun, yang hanya terus bergerak ke atas, tetapi tidak memastikan puncak yang sesungguhnya yang hendak ia gapai. Syahrir menduga, sang menteri mungkin tidak pernah berpikir tentang tangga turun.

Saat ini, ia seorang menteri. Sebuah status yang pernah mampir sebagai cita-cita pada diri Achmad Amiruddin (mantan Gub Sulsel), Marwah Daud Ibrahim (Anggota DPR RI dari Sulsel), Achmad Ali (Dosen Hukum Unhas), dan lain-lain. Sang menteri mungkin tidak pernah mendamba akan status itu, ia hanya bergerak belaka ke atas. Ketika saya ngobrol dengan sang menteri pada pertengahan 2000 di tepi kolam renang PMCC Makassar, saya sendiri tidak berpikir tentang status menteri itu dan dirinya. Hingga pangkal 2004, Aidir, Uki, Tomi, Jeffry, Enal, dan yang lainnya, juga tak pernah berpikir bahwa pria kelahiran Parepare ini bakal jadi seorang menteri.

"Kalau anda punya bakat menulis, kisah kelihanganmu dapat diabadikan. Jangan sia-siakan," pesan kepada saya ketika beranjak ke shower membasuh tubuhnya. Saya mengangguk, tetapi bukan tanda setuju.

Sebelum sang menteri kembali ke Indonesia tahun 1998, Kota Makassar dihebohkan oleh kabar tentang kehilangan saya yang dikaitkan dengan kegiatan penculikan yang dilakukan oleh militer Indonesia. Sang menteri telah mengetahui sedikit tentang hal itu. Tapi ia tidak paham betul.

Menurut Syahrir, sang menteri ketika masih mahasiswa memang telah menunjukkan selektivitasnya dalam bergaul. Sang menteri rela menjadi penenteng tas sang rektor Unhas, A. Amiruddin, ketimbang hidup bersama mahasiswa yang miskin gagasan dan tidak cerdas pula. Ia sering menceburkan dirinya ke arena diskusi para petinggi Unhas, aktivis pentolan Dewan Mahasiswa, dan secara inisiatif menjadi juru bicara rektor terhadap tokoh mahasiswa oposan di Unhas.

"Ia mempunyai kisah dan risalah kemahasiswa yang ia ciptakan sendiri. Ia peniru tetapi tidak menyerupai yang ditiru," kata Syahrir.

*****

"Ia terbilang mahasiswa yang belum kenal apa-apa dan tidak dikenal. Saya juga heran ketika itu karena ia tiba-tiba cukup akrab dan familiar dengan saya," ujar Syahrir mengenang.

Syahrir punya beberapa koleksi kenangan bersama junior uniknya ini. Terutama ketika mereka aktif beraktivitas di Dewan Mahasiswa (Dema) Unhas dan Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unhas. Surat Kabar kampus IDENTITAS membuat Syahrir dan menteri ini juga tidak bisa saling melupakan. Dari beberapa orang, saya mendengar dan kemudian tahu bahwa Syahrir bukan senior sang menteri belaka, tatapi Syahrir juga seorang guru sang menteri sekaligus orang yang sebaiknya diwaspadai.

Syahrir memang mengaku berikali-kali menggunakan sang menteri untuk berkomunikasi dengan rektor Unhas, A. Amiruddin. Pasalnya, aktivis-aktivis Unhas ketika itu menganggap sangat tidak penting berkomunikasi dengan rektor, perpanjangan tangan Orde Baru di kampus-kampus perguruan tinggi. Sang menteri sendiri mampu menyingkirkan sekat para aktivis dari dirinya, bergitu pula sekat rektor dari dirinya. Sang menteri, kata Syahrir, terus bergerak dan leluasa.

"Ia mengalahkan A. Amiruddin, dirinya lebih menyerupai Rektor dari pada A. Amiruddin itu sendiri," kata Syahrir berusaha mengenang kehidupannya sebagai aktivis Unhas di kampus Baraya sekitar pertengahan tahun 1970-an.

*****

Selama ia melakoni jabatan menterinya, sang menteri selalu terserempet peluru pelumat korupsi. Ia belum jauh dari mulut KPK, kini sang menteri hendak diikutkan dalam kendaraan Yusril Ihza Mahendra untuk bertabrakan dengan KPK. Hari ini (Jumat, 23 Feb 2007)pers mengabarkan bahwa menurut Yusril, Sang Menteri cukup efektif untuk ditanyai tentang pelaksanaan proyek pengadaan alat sidik jari di kantor Departemen Dephukham.

Kira-kira lebih seminggu lalu, saya ketemu dengan H. Aidir Amin Daud di pesawat Lion yang membawa kami ke Soekarno Hatta Jakarta dan tiba di Cengkareng pukul 23.30 wib. Saya kemukakan padanya di Bandara Hasanuddin bahwa Finger Print yang diadakan oleh Dephukham dan sekarang sementara dalam penjajakan KPK, ada kemungkinan terkait dengan sang menteri. Aidir mengatakan bahwa itu menyalahi logika.

"Tak ada urusannya (sang menteri) di situ. Itu urusan Pak Yusril. Tapi saya kira, pak Yusril itu mengetahui sesuatu, dan dia mungkin banyak tahu tentang hal finger print itu," kata Aidir.

Saya merasakan sendiri, Aidir tidak sungkan dan gagap menanggapi pertanyaan itu. Di sekeliling tempat duduk di ruang tunggu keberangkatan Bandara Hasanuddin sedang berangsur sepi. Tetapi di seputaran kursi tempat kami berbincang, calon penumpang lain sedang duduk menunggu. Menurut saya, suara kami dalam berbincang pasti terdengar dengan baik oleh mereka. Aidir tidak memikirkan itu barangkali. Ia tetap saja berbicara ceplas-ceplos. Beberapa orang di sekitar kami ketika itu memang sempat menoleh keheranan. Ia mungkin heran kami sangat serius berdebat.

Beberapa kali saya menurunkan volume suara saya, tapi Aidir dengan suaranya yang nyaring. Ketika saya tidak berhasil, saya pun ikut bersuara nyaring. Banyak hal yang kami perdebatkan dan tidak membuat orang-orang disekitar kami penasaran. Yang membuat mereka melongo kepada kami adalah ketika kami menyebut-nyebut nama sang menteri. Ketika kami sadar bahwa pembicaraan kami diintip-dengar oleh orang-orang sekitar kami, kami langsung menurunkan volume dan kembali star dengan suara berbisik. Selalu saja begikut, tidak sampai satu menit kemudian, suara kami sudah kembali nyaring.

*****

"Kota (Makassar) ini sangat beruntung, karena ada PMCC yang memiliki fasilitas salon seperti yang sering melayani saya ketika di Washington DC," kata sang menteri.

"Anda bisa membayangkan, andaikan tidak ada fasilitas seperti ini di kota ini, berapa kali sebulan ke Jakarta hanya untuk merapikan rambut saya," katanya.

*****

Hari itu, Syarif meminta tolong ke saya untuk menemaninya ke Bandara Hasanuddin untuk menjemput sang menteri. Ia punya informasi bahwa sang menteri akan tiba hari ini (25 Maret 2001) pukul 15.00 WITA. Saya sendiri tidak bisa langsung memberi persetujuan. Mendengar permintaan itu, saya masih tetap menatap layar monitor komputer. Saya meminta waktu sekitar lima menit untuk memeriksa pekerjaanku, apa bisa saya tinggalkan semantara dan dapat saya lanjutkan kemudian, atau tidak.

Setelah saya memeriksa bagian demi bagian naskah proposal yang telah saya kerjakan, untuk bagian hari ini yang telah selesai itu, saya menganggap bahwa pekerjaan ini dapat saya tinggalkan. Pekerjaan tidak lagi menjadi masalah untuk membantu menemani Syarif.

Terjangan angin berbaur rintik hujan menghempas dedaunan yang terhampar di permukaan aspal jalanan menuju parkir bandara Hasanuddin. Hujan memang hanya turun rintik, tetapi sebagian besar pengunjung dan pengguna jasa bandara memilih tidak mengambil resiko untuk menembus hujan rintik.

Dengan mobil model van merek Suzuki Carry tahun 1980-an, Syarief Amir berhasil menembus gerimis campur angin itu hingga berhenti di tempat parkir menunggu jemputan di pelataran apron kedatangan penumpang. Saya duduk di jok depan, di samping Syarif. Kami tidak berhasil berhenti tepat di bibir atap teras apron karena terhalang oleh mobil-mobil yang lebih dahulu memarkir. Karena pesawat sang menteri yang akan kami jemput belum tiba, maka saya dan Syarif meninggalkan mobil yang setahun silam (1999) dibeli oleh Syarif seharga Rp 3,5 juta ini. Kami tak menggunakan payung meninggalkan mobil karena memang tidak ada. Lagi pula hanya rintik hujan yang akan kami lalui.

Selang 10 menit setelah tiba di ruang jemput, bandara mengumumkan bahwa pesawat Garuda dari Jakarta tujuan Makassar telah tiba. Saya menengok jam dinding di atas pintu keluar ruang jemput, jam menunjukkan pukul 15.46 WITA. Mendengar pengumuman itu, Syarif melangkah ke bagian pintu yang berukuran lebar empat meter, dimana penumpang pesawat yang baru saja tiba akan melewati pintu itu menuju ke ruang jemput sebelum mencapai parkir mobil jemputan.

Bukan kedatangan sang menteri yang kupikirkan, tetapi mobil syarif yang saya anggap sangat sederhana dan nyaris tidak bisa menawarkan kenyamanan. Letak mesin mobil tepat di bawah jok tempat duduk di depan. Busa jok mobil sudah menipis dan usang. Jika mesin panas, hawa panas itu dan sedikit asap mesin menerobos menembus jok kursi dan kemudian mejalar ke seluruh bagian dalam mobil. Hanya jendela yang terbuka yang biasanya memberi sedikit jeda untuk bernafas dengan udara yang relatif bersih yang berhembus dari luar. Kita biasanya ketiban sial ketika mengendarai mobil sambil hujan sedang mengguyur. Saya pernah mengalami itu di mobil ini, membuka jendela berarti bisa bernafas dengan udara bersih tapi sekaligus basah kuyup karena terjangan air dari jendela mobil yang terbuka. Sementara jika jendela mobil ditutup supaya air hujan tidak masuk, berarti kita akan bergelimang asap dan panas mesin yang terus berputar dan kian tebal di dalam mobil. Memilih salah satunya, membuka jendela atau menutup ketika hujan turun, adalah pilihan yang kedua-duanya tidak memberi kenyamanan.

Kata Syarif sendiri berdasarkan keterangan pemiliknya sebelum dibeli, jok mobil itu belum pernah diganti. Pintu tengah samping kiri dan pintu depan kiri harus dibuka dari luar karena rusak. Sementara jendela mobil harus dibuka-tutup dengan menjepitnya pakai dua telapak tangan. Regulator semua pintu kacara jendela sudah rusak juga. Kaca jendelanya kusam, kabur, dan tidak memungkinkan melihat obyek di luar mobil dengan jelas dan terang.

--

Di kemudian hari (Maret 2007), saya kembali dipanikkan oleh kabar transfer uang Tomi Soeharto ke rekening kementerian kehakiman dan HAM. Lalu, selain nama Yusril Ihza Mahendra, ada juga nama Sang Menteri yang disebut-sebut menjadi inspirator atas transfer itu. Kedua orang ini, kira-kira bakal jadi "HINA" manakala transferan itu terkait dengan upaya suap Tomi atau bagian dari praktek korupsi.

Kabar ini seperti badai yang bermusim secara berjadwal. Tapi musim kabar buruk Sang Menteri kali ini cukup serius. Bukan soal pemerikaan atas penggunaan rekening pemerintah dalam menada uang Tommy dari Bank Paritas Inggris dalam konteks korupsi. Tetapi ia berhadapan dengan desakan publik agar ia mengundurkan diri dari jabatan menterinya. Banyak pihak yang meyakini bahwa nama Sang Menteri ini termasuk salah seorang yang tergilas oleh reshuffle kabinet SBY-JK jilid dua ini.
Sabtu pagi (5/05/07) di rumah ketika berkumpul dengan anak-anak, saya menanyakan kabar itu kepada Kak Aidir. "Sang Menteri digantikan A. Mattalatta. Begitu kata berita. Benarkah?" tulis SMS saya kepada nomor celluler Kak Aidir. Berselang seperempat jam kemudian, handset saya berdering menerima panggilan dari nomor Kak Aidir. Ia seperti berkeluh. Mantan Ketua KPU Sulsel ini berani memastikan bahwa Sang Menteri ikut tergilas oleh roda reshuffle kabinet jilid dua ini.

"Kenapa Pak Aidir bisa memastikan itu?" tanya istriku.

"Paling tidak, ia berada di Jakarta ketika semua pihak sibuk berbisik tentang reshuffle. Kalau komunikasi dengan Jusuf Kalla agak sulit, tentu kepada Kak Aidirlah, Sang Menteri meluangkan curhatnya," jawabku.

Istriku berharap bahwa kepastian yang diumbar Kak Aidir itu betul-betul salah, alias tidak benar. Saya juga yakin, saya dan teman-teman yang lain pun berharap besar agar roda itu patah ketika sebelum menggilas Sang Menteri. Saya dan mereka semua hanya gampangan meletakkan harapan positif. Di luar sana, arus informasi negatif tentang penggantian Sang Menteri kian menekan. Pergantian beliau seakan mengobati dahaga haus orang yang memperbincangkannya. Sebuah permakzulan yang tak pernah sepi diperdebatkan para analis di Warkop Phoenam atau KopiZone Makassar.

Tiga hari menjelang pengumuman itu, kabar tentang bakal tibanya kisah disscard Sang Menteri dari jabatannya kian meyakinkan. Melalui SMS, saya berusaha menyegarkan kembali ingatan Boby (mantan bendahara KPU Sulsel) bahwa saat-saat akan kehilangan jabatan Sang Menteri secara tidak diinginkan itu adalah benar-benar ada. Awal Maret 2007, saya ingatkan masa-masa itu kepada Boby. Saya tahu, Boby tidak senang dengan prediksi saya. Ia malah menyesalkan saya berpikir seperti itu dan malah meminta saya sebagai teman agar berdoa supaya Sang Menteri sukses dengan jabatan yang sedang disandangnya ketika itu.

Tapi, siapa yang bisa melawan angin? Doa mana pula yang bisa mencegah SBY bertekad menggilas Sang Menteri? Kata Kak Aidir, "Apalah kami ini!"
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim