SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Kamis, 31 Mei 2007

Panwaslu tak Sekadar Hafal Regulasi

(31 May 2007, 21 x , Komentar)

MAKASSAR-Rekrutmen anggota Panwaslu tak boleh hanya memperhatikan penguasaan regulasi. Mereka juga harus memberikan simulasi. Jangan sampai mereka gamang saat diperhadapkan dengan kasus yang sesungguhnya.Demikian salah satu wacana yang mengemuka dalam fokus pilkada yang diselenggarakan Merkurius Top FM di Warkop Phoenam, kemarin.


Maqbul Halim, salah peserta yang mengusulkan hal tersebut mendapat perhatian. Menurut anggota KPU Makassar ini, calon anggota Panwaslu butuh simulasi sehingga tahu fungsi, jangan hanya hafal regulasi.
"Berdasarkan pengalaman sebelumnya, banyak anggota Panwas yang hanya menghafal regulasi. Tapi ketika berhadapan dengan fakta konkret, sulit mengambil keputusan," tandasnya.

Aminuddin Ilmar sepakat dengan Maqbul. Menurut dia, seleksi yang dilakukan jangan hanya fokus pada pasal-pasal. Tapi sudah harus masuk pada contoh kasus. Dengan begitu, akan kelihatan calon yang benar-benar mengerti persoalan.

Ketua Tim Rekrutmen Panwas, Prof Dr TR Andi Lolo menjelaskan, tahapan yang dilalui untuk seleksi Panwas cukup ketat. Sebab, para calon akan mengawali dengan seleksi berkas. Lolos seleksi berkas, mereka akan menghadapi tes tertulis yang menyangkut pengetahuan umum, regulasi, dan psikotes.

"Kalau mereka bisa lolos dua tahapan ini, barulah akan mengikuti tes terakhir berupa wawancara dari tim seleksi. Hasil inilah yang kemudian akan mengerucutkan calon menjadi enam orang yang akan diserahkan ke DPRD untuk fit and proper test," bebernya.

Ketua Komisi A DPRD Sulsel, HM Roem menambahkan, pembentukan Panwas memang menjadi kewenangan DPRD. Oleh karena itu, DPRD tidak akan melepas kewenangan itu begitu saja.

"Bahwa DPRD punya kepentingan itu betul. Tapi semua partai ada wakilnya, sehingga tidak mungkin ada satu golongan yang akan menonjol," kata Roem.

Oleh karena itu, Roem menjamin, insya Allah DPRD akan jauh dari kepentingan. Sebab, satu kepentingan yang lebih besar, yakni menjaga misi lembaga DPRD dalam pembentukan Panwaslu ini tentu akan lebih dijaga dan dikedepankan, ketimbang kepentingan partai tertentu.

Dalam kesempatan itu, Roem juga menjamin bahwa DPRD akan menganggarkan kebutuhan dana bagi tim rekrutmen Panwaslu. Jumlahnya, kata dia, berdasarkan hitung-hitungan, sekitar Rp400 juta.

Sementara itu, hingga kemarin, belum ada satupun pendaftar Panwaslu yang mengembalikan formulirnya. Padahal, jumlah formulir yang keluar sudah mencapai 115 formulir. (har-sul)

Sumber: Harian FAJAR Makassar


Selengkapnya >>

Selasa, 08 Mei 2007

Dominasi ”Informasi Seolah-olah”

Minggu, 15 April 2007

Oleh: Candra Ibrahim

candra@batampos.co.idAlamat email ini sudah di proteksi dari spambot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihat alamat email ini

HAMPIR sepuluh tahun belakangan, rakyat Indonesia semakin dijejali oleh informasi berbagai tragedi yang terjadi merata di seluruh Indonesia. Sebut saja tragedi tsunami, gempa bumi, longsor, semburan lumpur, banjir, busung lapar, kerasukan, sampai aksi terorisme. Tak ketingglan pula pelbagai kejadian unik, seperti munculnya kambing, telur, pohon, bahkan agar-agar bertuliskan lafal Allah. Hingga kemudian, berbagai peristiwa lain terekam oleh media, misalnya kasus perselingkuhan selebriti, politikus, sampai kepada aksi massa menuntut perbaikan kondisi bangsa, dengan cara-cara anarkis pula. Yang tak ketinggalan, nasib warga Sidoarjo akibat semburan lumpur sejak hampir dua tahun ini.


Betul kata pendapat seorang raja media dunia bahwa siapa yang menguasai informasi, maka dia akan menguasai dunia. Oleh sebab itu, untuk konteks Indonesia, ini seakan telah mengirimkan sinyal kepada kita bahwa Jawa (dalam pengertian geografis, bukan etnis) telah menjadi pemilik sebaran informasi di Indonesia.


Sekecil apapun kejadian di tanah Jawa, seolah dipaksakan menjadi gambaran Indonesia secara umum. Lihatlah, ketika seorang kakek tewas akibat busung lapar di salah satu desa di Sidoarjo, Jawa Timur, seolah menjadi gambaran umum Indonesia. Apalagi televisi swasta nasional yang kesemuanya berkantor di Jakarta (Jawa) kemudian mem-blow-up-nya secara besar-besaran. Maka yang muncul kemudian ke benak publik Indonesia secara psikologis adalah bahwa Indonesia sudah sekarat, karena ada yang mati akibat busung lapar!


Demikian pula ketika media ramai-ramai memberitakan kasus seorang bocah di belahan Jawa sana tewas gantung diri akibat malu karena belum bayar uang sekolah. Siang-malam, pagi-sore, breaking news, televisi swasta kemudian memberitakannya secara gencar. Berbagai analisis pakar dikemukakan. Seolah, persoalan bangsa ini bakal selesai dengan dialog, analisis, lalu perdebatan di ruang-ruang publik. Padahal, bisa saja bakal bertambah runyam, karena semua orang merasa benar, merasa pintar, lalu mengeluarkan pendapat mereka. Ditambah lagi media cetak nasional, yang kesemuanya terbit dan berkantor di Jakarta, memberikan porsi liputan yang luas pula. Lalu kesimpulannya, menjadi seolah-olah begitulah gambaran Indonesia: sangat suram, miskin, hopeless, tak ada harapan!


Sering saya berdebat dengan beberapa teman di berbagai penerbitan pers. Baik di grup kami, Batam Pos Group, Riau Pos Group, Padang Ekspress Group, dan Sumut Pos Group, maupun dalam grup yang lebih besar, Jawa Pos Group yang menguasai 90-an penerbitan media cetak di tanah air. Menurut saya, carut-marut di tanah air sejak kran keterbukaan dilonggarkan, tidak terlepas dari peran media massa. Sebab, media massa telah menjadi laluan pemikiran, pendapat, analisis, maupun carut-marut kehidupan bernegara itu sendiri. Media massa telah menjadi sarana paling efektif bagi sekelompok orang untuk mengkritisi atau menghantam kelompok lain. Tragisnya, sangat jarang media massa mau menyaring informasi sebelum disebarkan ke tengah publik. Apalagi bagi media massa yang hanya mencari sensasi, mengejar tiras, atau bahkan sekadar minta eksistensinya diakui.


Dalam hal ini, saya sering mengajak berbagai teman di media untuk menyaring berbagai informasi sebelum menyebarluaskannya ke tengah masyarakat. Saya membayangkan, kalau saja media bisa menahan diri untuk menyeleksi setiap pernyataan dari narasumber yang hanya membuat sensasi, ingin diakui, lalu seenaknya saja mengeluarkan statemen, mungkin negara ini tidak akan sekacau saat ini. Apalagi misalnya, saat ini berkembang kelompok yang hanya ingin berbeda dengan pemerintah, lalu apapun yang dilakukan pemerintah adalah salah. Kalau kemudian informasi ini ramai-ramai dipublikasikan ke tengah masyarakat, maka akan menjadi justifikasi bahwa negara ini memang tidak ada yang benar sama sekali. Akibatnya, masyarakat menjadi linglung, bingung, apa yang hendak dilakukan. Benar bahwa masyarakat sudah semakin dewasa, namun berapa banyak pula di antara kita yang masih sangat kekanak-kanakan dalam menyerap informasi.


Itulah sebabnya, dalam konteks koran nasional yang terbit di daerah (meskipun istilah pusat-daerah itu masih berbau kolonoalisme), maka saya selalu mengingatkan kawan-kawan di Batam Pos untuk selalu berpihak pada daerah, pada Kepri secara umum. Tidak semua yang dikatakan Jakarta itu benar.


Tidak semua yang terjadi di tanah Jawa itu harus diberitakan, kalau akhirnya hanya akan membuat masyarakat di sini semakin kehilangan harapan. Bahwa Indonesia bukan hanya Jawa (sekali lagi dalam pengertian geografis, bukan etnis).


Media massa adalah pilar yang paling memungkinkan untuk membentuk opini publik. Media juga tidak harus mencekoki berbagai informasi yang hanya akan menghilangkan harapan-harapan masyarakat.
Siaran televisi yang selama ini hanya mengumbar kesengsaraan lokal nun jauh di sana secara luas, seakan sudah mencekoki penontonnya di daerah lain untuk merasakan pedih yang sama. Padahal kepedihan di masing-masing daerah adalah berbeda. Semua daerah punya persoalan.


Akhirnya, daerah harus bangkit dan bersama-sama melawan dominasi Jakarta (pemerintah pusat), termasuk dominasi informasi dari media massa, baik cetak maupun elektronik. Sebab, Jakarta selama ini selalu saja merasa benar, memandang daerah secara general, lalu mencekoki kita dengan berbagai informasi. M
ereka juga telah “memaksa” kita menyerap informasi apapun, meskipun kita bisa memilih dan memilah. Mungkin mereka lupa bahwa ke-bhineka-an justru tumbuh subur di daerah-daerah.***
Selengkapnya >>

Senin, 07 Mei 2007

Hamid Terancam Dipanggil Polisi

Setelah Direshuffle
07/05/2007 16:51 WIB


Chazizah Gusnita - detikcom
Jakarta - Setelah resuffle diumumkan Presiden SBY, polisi kian mudah saja memanggil Hamid Awaludin. Saat ini polisi masih mempelajari kasus sumpah palsu Hamid atas atas pengadaan segel sampul surat suara yang dilaporkan oleh rekannya di KPU, Daan Dimara. Polisi masih mengumpulkan bukti-bukti kasus tersebut.

"Kalau beliau sudah tidak menjabat menteri, panggilannya bisa langsung dilakukan tanpa harus ada izin dari Presiden. Tapi harus sesuai prosedur juga," kata Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Carlo Brix Tewu di Mapolda Metro Jaya, Jl Sudirman, Jakarta Pusat, Senin (7/5/2007).

Dikatakan Carlo, salah satu bukti yang belum diterima penyidik adalah salinan kesaksiann Hamid di sidang pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Setelah seluruh bukti diterima penyidik, pihaknya akan segera memanggil Hamid.

"Kami belum mendapatkan salinannya dari panitera pengadilan. Padahal kami sudah memintanya sejak lama," kata Carlo. Sebelumnya, Hamid dilaporkan oleh Daan Dimara, dengan tuduhan telah melakukan keterangan dan sumpah palsu di pengadilan Tipikor pada 14 September 2006.

Dalam kasus ini, polisi telah memeriksa beberapa saksi, termasuk Daan Dimara sebagai saksi pelapor. Hamid dianggap telah bersaksi palsu ketika menjadi saksi dalam persidangan kasus korupsi pengadaan pengadaan kertas segel pemilihan presiden. (ziz/nrl)

Sumber: www.detiknews.com
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim