SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 23 Desember 2008

Simulasi Mencentang, KPU Undang Seluruh Parpol

Selasa, 23-12-08 | 22:03 | 24

Zulkifli Cs Juga Pamitan

MAKASSAR--Masa kerja Zulkifli Gani Ottoh bersama empat rekannya di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar tinggal sehari. Tetapi di pengujung masa kerjanya, Zulkifli Cs tetap menyelenggarakan simulasi tata cara mencentang.

Rencananya simulasi ini akan dipusatiak di gedung KPU Makassar, Jl Toddopuli Makassar, Selasa, 23 Desember pagi ini.

Pimpinan 38 partai politik peserta pemilu diundang dalam simulasi itu. Bahkan menurut Zulkifli, setiap parpol juga diminta membawa konstituen sepuluh orang untuk simulasi tata cara mencentang.

"Dalam simulasi itu terlihat bagaimana respons masyarakat terhadap perubahan tata cara penggunaan suara di bilik suara pada pemilu legislatif mendatang," kata Zulkifli kepada Fajar, Senin, 22 Desember. Selain pimpinan parpol, KPU juga mengundang perwakilan orang cacat untuk mengikuti simulasi.

Pamitan
Momentum simulasi itu juga akan dimanfaatkan Zulkifli Cs untuk pamitan. Soalnya, Rabu, 24 Desember besok, ia bersama Pahir Halim, Maqbul Halim, Andi Syahrir Makkurade, dan Dirgahayu Lantara akan mengakhiri tugasnya sebagai anggota KPU.

KPU Sulsel sudah menetapkan lima anggota KPU Makassar yang baru yakni Nurmal, Izdin Idrus, Armin, Misnawati, dan Ahmad Namsung.

Selama kepengurusan Zulkifli Cs, KPU Makassar sukses menyelenggarakan enam kali pemilu yakni pemilu legislatif 2004, pemilu presiden dua putaran, pemilu gubernur dan wakil gubernur Sulsel 2007, pemilu walikota dan wakil walikota Makassar, dan tahapan pemilu legislatif 2009.

"Pasti banyak kekurangan dan keterbatasan kami. Mungkin hanya sedikit yang tercatat sebagai kesuksesan. Tetapi semua itu tidak perlu diuraikan semata karena keikhlasan dan pengabdian dan bentuk kecintaan terhadap Kota Makassar," kata Zulkifli sembari menyampaikan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu KPU Makassar selama ini. (pap-sul)

Fajar Online
http://www.fajar.co.id/index.php?act=news&id=55424
Akses tanggal 23 Desember 2008
Selengkapnya >>

Tetapkan Anggota KPU, Jayadi Cs Dikecam

Selasa, 23-12-2008

Makassar, Tribun - Puluhan mahasiswa yang menamakan diri Himpunan Pelajar Mahasiswa Turatea (HPMT) mendemo KPU Sulsel, Senin (22/12). Mereka memprotes penetapan lima anggota KPU Jeneponto yang dilakukan Ketua KPU Sulsel Jayadi Nas bersama anggota, Samsir A Rahim, Ziaurrahman Mustari, Lomba Sulthan, dan Nusra Azis.

HPMT menilai keputusan KPU Sulsel berbau nepotis. "Makanya kami tidak percaya lagi dengan KPU Provinsi Sulsel. Kami sangsi akan independensi KPU yang sarat kepentingan," terang Ketua Umum PB HPMT Afrizal Machmud.

Mereka juga menyatakan mosi tidak percaya terhadap anggota KPU Jeneponto terpilih.
Lima anggota KPU Jeneponto yang baru ditetapkan itu adalah Mushtova Kamal MPd, M Agus MPd, Adul Rahmat, Nur Jalil MH, dan Khaeruddin.

"Makanya kami meminta agar diadakan pemilihan ulang karena anggota yang sekarang sarat dengan nepotisme," katanya.

Sejumlah lembaga menyatakan protes dan kecaman ke KPU Sulsel atas keputusan pleno menetapkan anggota KPU di beberapa kabupaten/kota melalui rilis ke Redaksi Tribun, tadi malam.

Mahasiswa Anti Kolonialisasi Rakyat (Makar) melalui rilis yang ditandatangani koordinatornya, Hendraningrat HA Santo menilai penetapan anggota KPU sarat dengan kepentingan golongan tertentu.

Menurut Makar, ada anggota partai politik yang ditetapkan sebagai anggota KPU Enrekang.

Kecaman lain disampaikan HMI Cabang Jeneponto melalui rilis. Mereka menilai KPU Sulsel dalam melaksanakan seleksi terindikasi tidak mengedepankan kualitas dan profesionalisme, tapi sarat nepotisme(lihat, Mereka Protes).

"Jika tuntutan kami tidak diindahkan, maka kami akan melakukan mobilisasi massa yang besar untuk memboikot KPU Sulsel sampai tuntutan kami diterima.

Lima anggota KPU Enrekang terpilih adalah Usman Abdullah, Suardi Mardua, Rahmawati K, Asram Abdullah Sapri, dan Baharuddin.

Penjelasan KPU
Sesuai Aturan, Kami Tidak Anulir
Kami tidak akan mengubah keputusan pleno. Penetapan anggota KPU di delapan kabupaten/kota itu tidak mungkin lagi dianulir, kecuali ada fakta dan data bahwa mereka memang tidak berhak menjadi anggota KPU.

Kami tidak akan mengubah keputusan karena keputusan itu kami lakukan sesuai tahapan dan aturan.

Sebenarnya, teman-teman yang protes itu salah alamat dan terlambat. Seharusnya, mereka protes sejak awal, sebelum penetapan 10 besar dilakukan oleh tim seleksi.
Bahkan, nama-nama mereka yang lolos tahap 20 sampai 10 besar kami umumkan di media untuk meminta tanggapan masyarakat.

Seharusnya pada saat itu mereka sudah protes. Begitu pun setelah 10 besar diserahkan ke KPU Provinsi Sulsel, kalau memang ada yang dinilai tidak layak, mereka sampaikan surat ke kami yang berisi fakta, data, dan bukti.

Setelah ditetapkan seperti ini, kami tidak akan anulir lagi karena kami yakin sudah sesuai aturan dan tahapan.

Dr Jayadi Nas, Ketua KPU Sulsel

Sumber: Tribun Timur Edisi Selasa, 23-12-2008
http://tribun-timur.com/view.php?id=114323&jenis=Politik
Akses tanggal 23/12/08
Selengkapnya >>

5 Anggota KPU Makassar Pamit

Selasa, 23-12-2008

Makassar, Tribun - Masa jabatan lima anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar berakhir, 24 Desember 2008. Ketua KPU Makassar Zulkifli Gani Ottoh mewakili empat rekannya mohon pamit, Senin (22/12).

Sejak Juni 2003 hingga akhir Desember 2008, kata Zulkifli, pihaknya telah menyelenggarakan enam pemilu. Pertama, Pemilu Legislatif 2004. kedua, Pemilu Presiden Wakil Presiden putaran pertama, 2004. Ketiga, Pemilu Presiden Wakil Presiden putaran kedua, 2004.

Keempat, Pemilu Gubernur Wakil Gubernur Sulsel 2007. Kelima, Pemilu Walikota Wakil Wali Kota Makassar dan terkahir, persiapan Pemilu Legislatif 2009 yang sudah pada tahap 90 persen.

"Pasti banyak kekurangan dan keterbatasan kami. Mungkin hanya sedikit yang tercatat sebagai kesuksesan, tapi semua itu tidak perlu diuraikan. Semata karena keihlasan dan pengabdian. Bentuk kecintaan terhadap kota kelahiran yang telah membesarkan kami, Kota Angingmammiri.

Akhir kata, kami meminta terima kasih dan mohon maaf atas segalanya," kata Zulkifli mewakili empat rekannya, Syahrir Makkuradde, Pahir Halim, Maqbul Halim, dan Dirgahayu Lantara.

Lima anggota KPU Makassar dipastikan "pensiun" setelah KPU Sulsel menetapkan lima anggota KPU Makassar yang baru, 20 Desember. Dirgahayu yang menjadi satu-satunya kandidat incumbent di Makassar dinilai tak laik lagi melanjutkan pengabdian di KPU. Sebelumnya, Pahir Halim dan Maqbul Halim digugurkan oleh tim seleksi pada penetapan 10 besar.

Dua "bersaudara", Pahir Halim dan Maqbul Halim, akan digantikan dua "bersaudara" di KPU Makassar, Nurmal Idrus dan M Izzdin Idrus. Selain keduanya, Armin Mag, Misnah M, dan Akhmad Namsum adalah anggota KPU Makassar pilihan Jayadi Nas cs.

Sumber: Harian Tribun Timur Edisi Selasa, 23-12-2008
http://tribun-timur.com/view.php?id=114321&jenis=Politik
Akses tanggal 23 Desember 2008
Selengkapnya >>

Minggu, 21 Desember 2008

Maqbul akan Pergi dari KPU Makassar

Makassar, 21 Desember 2008

Jam sudah menunjukkan pukul 13.05 wita di Tanjung Bayang, tempat rekreasi dan berenang di lokasi Tanjung Bunga, Makassar. Zulkifli Gani Ottoh sudah sejam lebih berbicara mengenai berbagai hal di hadapan anggota PPK se-Kota Makassar, disertai segenap staf sekretariat KPU Kota Makassar. Ketika usai berbicara, Guntur Indonesia, ketua PPK Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, mengambil alih mik (microphone). Ia meminta agar saya dan anggota KPU Kota Makassar lainnya tidak beranjak dulu dari tempat duduk. Guntur menjelaskan bahwa ia, sebagai atas nama komunitas PPK se-Kota Makassar, akan menyerahkan tanda mata kepada kami yang akan mengakhiri masa jabatan dalam waktu tiga hari lagi, yakni pada Rabu, 24 Desember 2008.

Dari hati yang paling tulus dan paling dalam, Guntur menyerahkan cincin emas yang berpermata kepada kami berlima. Guntur sendiri yang langsung mengenakan cincin itu di jemariku. Ia memeluk saya dengan erat.
Saya dan dia menitiskan air mata. Nurhidaya Noor, anggota PPK Kecamatan Tamalate, menghambur di belakang Guntur. Ketua dan anggota PPK, serta para staf sekretariat saling susul dengan haru di hadapan kami. Mungkin mereka seperti saya, larut dalam suka, tetapi juga dalam duka karena kami tidak akan bersama mereka lagi menjemput Pemilu 2009 yang tinggal beberapa bulan lagi. Sesuatu menjadi sesak di dadaku ketika memandangi Habibie yang tidak kuasa menahan kesedihannya, air matanya. Habibie adalah staf umum di Sekretariat KPU Kota Makassar sejak 2003, sebelum saya terpilih menjadi anggota KPU Kota Makassar periode 2003/2008.

Saya dan teman-teman anggota KPU Makassar lainnya, temasuk Pak Andi Dirga yang menyusul menggantikan Ibu Andi Tenri delapan bulan silam, telah bersama-sama dengan mereka, yang sebagian besar dari mereka telah berpartisipasi sebagai anggota PPK sejak Pemilu 2004. Saya dan mereka, para anggota PPK itu, saling belajar dan berbagi gagasan dalam mempersiapkan Pemilu Legislatif 2004, Pemilu Pilpres I & II 2004, Pemilu Gubenur dan Wakil Gubernur Sulsel 2007, Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Makassar 2008, dan persiapan Pemilu Legislatif 2009 pada 2008. Saya dan mereka kerap bersilang pendapat, bersilang pengertian, dan kadang-kadang ada situasi saya atau mereka menjadi seperti kekanak-kanakan. Saya sendiri heran, persilangan itu justru mengangsur langkahku menjadi lebih dewasa dan matang dalam mewujudkan tanggung jawab. Sekaligus, saya menjadi bisa memahami perbedaan dengan tulus.

Penghormatan dan penghargaan yang telah ditunjukkan oleh para anggota PPK kepada saya dalam persilangan pengertian dan pendapat, telah merubah diriku, bahkan pikiranku, untuk selamanya. Di antara mereka, banyak yang selayaknya menjadi orang tuaku. Banyak juga di antaranya lebih senior dari saya dan kerena itu bisa menjadi tandem diskusiku. Sebagian lagi adalah adik-adik saya. Saya bangga dan salut dengan mereka, karena mereka memiliki ciri-ciri pemimpin. Mereka bersikap profesional dan tulus sebagai personel di bawah jabatan saya sebagai anggota KPU Kota Makassar. Saya dihargai dan dihormati oleh mereka, mungkin karena sikap-sikapku, bukan karena jabatanku. Sama halnya, mungkin ada juga di antara mereka yang bersikap dingin dan sinis kepada saya karena sikap-sikap dan usiaku, bukan karena jabatanku.

Mereka yang hadir, mungkin sangat sedih karena kami tidak bersama lagi dengan mereka. Saya, dan juga anggota KPU Kota Makassar lainnya, tidak mungkin akan menjengkelkan mereka lagi, menagih laporan, membetulkan laporan mereka, meremehkan hasil kerja mereka agar lebih termotivasi, tidak lagi akan memanggil mereka rapat tanpa undangan tertulis maupun lisan, dan seterusnya. Selain itu, mereka juga tidak akan membuat kami sebagai anggota KPU Kota Makassar setiap saat harus bertameng kesabaran ketika mereka ada yang lambat menyelesaikan tugas-tugas. Saya sendiri tidak akan mendapatkan lagi kesempatan untuk salah faham terhadap tindakan dan perilaku teman-teman PPK dan sekretariat.

Saya merasakan itu ketika menerima pelukan mereka, erat, penuh arti, dan padat dengan kenangan. Banyak sekali catatan hidup bersama antara saya dan mereka, yang membentang dari 2003 hingga 2008, ibaratnya suatu buku pada halaman terakhir, terlipat dengan apik di selah-selah pelukan perpisahan kami. Saya dan mereka sama-sama tidak ingin menangis. Tetapi catatan itulah sehingga saya menitiskan air mataku. Saya sadar, saya pernah mencoba bangkit agar masih bisa bersama mereka. Tapi saya tidak cukup kuat. Saya patah, dan mereka tidak berdaya memandangi saya, Pahir Halim, dan Dirgahayu Lantara yang mencoba untuk bangkit agar bisa bersama mereka lagi namun diharuskan membersihkan barang-barang milik kami dari ruang kerja untuk pengganti kami. Kami berlima pun dipersilakan beranjak pada Rabu, 24 Desember 2008.

Saya merasakan ketidak-percayaan diri mereka ketika kami berlima bukan lagi bagian dari mereka di KPU Kota Makassar. Semoga saja perasaanku itu salah. Saya berbincang dengan Dirgahayu dan Yusuf Pani (Kasubag Teknis) di bangku yang tertancap di bahu jalan depan wisma tempat dimana berlangsung acara perpisahan. Saya bisa berkesimpulan bahwa para PPK dan sekretariat membutuhkan orang kuat untuk menjalankan tugas-tugas kepemiluan. Saya membayangkan orang kuat itu: disegani oleh mereka karena kapasitasnya, karena jaringannya, kedewasaannya, pengalamannya, keahliannya, popularitas reputasinya. PPK dan sekratariat merasa bahwa kapasitas, jaringannya, kedewasaan, pengalaman, keahlian, popularitas reputasi yang mereka miliki sangat jauh di bawah yang dimiliki orang kuat ini. Dengan demikian, akan tercipta keseimbangan psikologis ketika jalinan komunikasi berlangsung. Mereka tidak pernah menyebut kami berenam: Zulkifli Gani Ottoh, Syahrir Makkuradde, Pahir Halim, Tenri Palallo, dan Dirgahayu Lantara sebagai orang-orang kuat yang pernah mengkoordinir mereka menjalankan tugas-tugas kepemiluan. Mereka hanya bercerita tentang masa depan, yang ditamengi orang-orang kuat dan kemudian mereka di belakang orang-orang kuat itu.

Kepada mereka, melalui posting ini, saya mengharapkan agar kebaikan dari saya yang mereka terima, sebaiknya tidak diceritakan kepada saya. Kalau perlu, juga tidak diceritakan kepada orang lain. Sebaliknya, sesuatu yang buruk dari saya dan dari perbuatan saya, tentu saya sangat bersyukur jika borok itu diceritakan kepada saya. Itu akan sangat bermanfaat agar saya bisa menjadi lebih baik di masa-masa yang akan datang. Saya akan selalu terbuka untuk mengetahui keburukan saya ketika bersama mereka selama lima tahun enam bulan, sejak 24 Juni 2003. Saya tidak akan pernah bisa melukiskan kekurangan dan kelemahanku dengan baik, jika bukan orang lain yang menceritakannya kepada saya. Mereka inilah, staf sekretariat dan PPK, yang bisa membeberakan itu kepada saya.

Selamat bekerja wahai kawan-kawanku. Pemilu 2009 tetap lebih penting dari kami. Kami hanyalah masa lalu. Kenangan yang indah, elok kata Zulkifli Gani Ottoh, dari kami, tidak akan membuat kawan-kawan PPK dan Sekretariat menjadi lebih berdaya menyambut Pemilu 2009. Lupakanlah saya, jika saya hanya sumber kesedihan. Seperti matahari yang tertutup awan di atas Tanjung Bayang, mulai menggelinding ke ufuk barat hingga lenyap di keremangan senja. Kisah tentang kami di hati kawan-kawan, juga akan demikian, menggelinding pelan-pelan hingga ke titik dasar ingatan. Kisah saya pun akhirnya menjadi bukan kenangan lagi. Ketika itu, kawan-kawan sesungguhnya sudah dalam keadaan pulih. Semangat itu bukan dari kami berlima/berenam, tetapi dari diri kawan-kawan sendiri.

SELAMAT
maqbul halim
Selengkapnya >>

Selasa, 16 Desember 2008

Lupa Nama Partai

Makassar, 16 Desember 2008

Seorang perempuan paruh baya sedang bergegas menuju loket pengambilan formulir SKCK di Markas Polisi Daerah (Mapolda) Sulawesi Selatan. SKCK diperlukan sebagai salah satu persayatan menjadi calon anggota legislatif. Sebelum menyerahkan formulir, polisi yang bertugas di loket tersebut bertanya kepada perempuan paruh baya ini.

"Ibu, dari partai mana?" tanya sang polisi yang mengintip di lubang loket.

"Saya dari partai [...../dihapus], pak," jawab perempuan tersebut sambil mengulurkan tangannya menggapai formulir dari tangan petugas loket. Perempuan itu menyebutkan dengan baik nama partai itu, karena memang ia juga bakal menjadi calon legialtif dari partai yang ia sebutkan itu.

Karena nama partai yang disebutkan adalah partai baru, tentu saja si petugas tidak tahu.

"Ibu, boleh saya tahu, apa kepanjangan singkatan nama partai yang ibu sebutkan tadi itu," tanya polisi lagi.

"Aduh, gimana ya! Tunggu dulu pak, saya telepon dulu sekretaris partaiku untuk menanyakan itu. Soalnya, saya juga bingung," jawab si ibu sembari mengetik nomor pada telepon selulernya.

Karena merasa pertanyaannya menjadi merepotkan, akhirnya sang petugas mengakhiri tanya jawab itu.

"Ya, sudahlah bu. Nggak apa-apa."
Selengkapnya >>

Sabtu, 13 Desember 2008

Muhammadiyah Tak Urus Kader ke KPU

Sabtu, 13-12-2008

Makassar, Tribun - Kepala Kantor Muhammadiyah Sulsel Haidir Fitra Siagian mengaku terusik dengan munculnya sejumlah calon anggota KPU yang tiba-tiba mengaku kader Muhammadiyah. Sekretaris Eksekutif Pengurus Wilayah Muhammadiyah Sulsel ini menegaskan, Muhamamdiyah tidak mengurus kader untuk menjadi anggota KPU.

Haidir mengaku tidak tahu mereka yang disebut kader Muhammadiyah itu. "Justru yang minta rekomendasi, Ilham Hamid dan Syamsuriadi (ketua bidang/pengurus teras) dan Muhammadiyah merekomendasikannya, tapi kedua tidak lolos 10 besar di Makassar," ujar Haidir, Jumat (12/12).

Dia mengklarifikasi berita beberapa hari terakhir yang menyebutkan kandidat KPU didominasi kader Muhammadiyah.

Hadiri mencontohkan, seleksi KPU Palopo. Menurutnya, Yusuf Kamaruddin dan Bulutenre, yang dapat rekomendasi Muhammadiyah tidak lolos 10 besar di daerah ini.

"Yang lolos di Makassar, hanya dua Muhammadiyah asli, hanya Panca Nurwahidin dan Armin (anggota bidang dakwah). Maqbul Halim, Mustari, dan Ilham justru kader tulen Muhammadiyah dan tidak lolos 10 besar. Mestinya mereka lolos kalau hanya faktor Muhammadiyah. Saya minta kepada mereka jangan menjual kader Muhammadiyah," jelas Hadiri.

"Jangan sampai karena banyak Muhammadiyah di KPU provinsi sampai menjual-jual nama Muhammadiyah.Bahwa ada yang mengaku Muhammadiyah dan pernah mengaku di Unismuh langsung mengaku Muhammadiyah. Sementara saat tenaganya dibutuhkan di Muhammadiyah, mereka menghilang," tambahnya.

Tes Kandidat
Perkembangan lain, fit and proper test calon anggota KPU Makassar dan Jeneponto, Jumat (12/12), tidak dihadiri Ketua KPU Sulsel, Jayadi Nas. Ia harus ke Jakarta untuk menghadiri acara bersama presiden.

Harusnya Jayadi menguji dan memberikan penilaian pada anggota KPU Makassar dan Jeneponto. Uji kelayakan akan berlangsung hingga 19 Desember.

Anggota KPU dari delapan kabupaten/kota di Sulsel akan ditentukan pada 20 Desember. Sementara pelantikan mereka dijadwalkan antara 22-24 Desember 2008. Penetapan anggota KPU terpilih akan dilakukan melalui rapat pleno.

Sumber: Harian Tribun Timur edisi Sabtu, 13-12-2008
http://www.tribun-timur.com/view.php?id=113074&jenis=Politik
Akses tanggal 13/12/2008
Selengkapnya >>

Fit Calon KPU, Lomba Tanyakan Kondisi PSM

Jumat, 12-12-2008
Adik Jayadi dan Ipar Lomba Bersaing di Jeneponto

Makassar, Tribun - Tes wawancara calon anggota KPU Kota Makassar berlangsung 10 jam. Uji kelayakan (fit and proper test) dilakukan empat anggota KPU Sulsel, Samsir A Rahim, Ziaurrahman Mustari, Lomba Sulthan, dan Nusra Azis. Ketua KPU Jayadi Nas tidak hadir karena berada di Jakarta.

Tes dimulai pukul 09.00 hingga pukul 19.00. Diawali oleh calon anggota KPU dari akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, M Armin. Kandidat menunggu giliran di luar ruangan pola KPU Sulsel. KPU memanggil kandidat secara acak. Kandidat ditanyai 45 hingga 60 menit.

"Kita tidak tahu kapan giliran kita masuk. Jadi kita menunggu saja giliran dengan hati berdebar," ujar kandidat, Nurmal Idrus. Wartawan yang juga Humas PSM Makassar ini menunggu sekitar 10 jam karena dia mendapat giliran terakhir, sekitar pukul 18.15. Lomba tak lupa menanyakan perkembangan PSM kepada Nurmal.

Jayadi termasuk PSM. Terakhir, dia duduk di deretan VIF di Stadion Mattoanging saat PSM kalah dari Mitra Kukar.

Wewenang Timsel
Penentuan 10 besar kandidat KPU Makassar dan Jeneponto menuai pertanyaan sejumlah. Mereka menilai, kandidat yang lolos didominasi kader Muhammadiyah. Dua incumbent, Pahir Halim dan Maqbul Halim, gugur (lihat, Kandidat KPU Makassar).

Di Jeneponto, adik kandung Jayadi, Mustofa Kamal, dab ipar Lomba, Haeruddin, lolos 10 besar. Mereka akan bersaing dengan delapan kandidat lainnya yang akan dites hari ini.

Jayadi membantau KPU Sulsel mengintervensi kinerja tim seleksi (timsel). "10 besar calon adalah hasil timsel. Kami sama sekali tidak tahu menahu soal itu," tegas Jayadi.

Samsir yang juga ketua kelompok kerja (pokja) yang menangani rekruitmen anggota KPU kabupaten/kota juga membantah tudingan KPU Sulsel main mata dengan timsel untuk meloloskan dan menjegal seseorang.

"Nama-nama yang lolos saya tidak tahu sebelum fit. Kandidat untuk KPU Makassar baru saya tahu tadi (kemarin) setelah mereka kami fit. Dari Jeneponto saya belum tahu orangnya," jelas Samsir

Ulasan Alwy Rachman: Kembali ke Titik Nadir
JIKA benar kandidat anggota KPU yang lolos 10 besar didominasi kader Muhammadiyah, maka bisa dikatakan terlah menggejalah clientilistic politics (politik klien) di lembaga ini. Clientilistic politics cara berpolitik sederhana yang memberi peluang kepada kelompok tertentu untuk menguasai arena.

Seharusnya, politik kita didorong pada arena politik kebangsaan (national politics) dan confessional politics (politik pengakuan).

Politik kebangsaan tentu saja menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya. Confessional politics lebih tinggi derajatnya dari national politics. Confessional politics adalah pengakuan bahwa semua manusia dan berhak diberi peluang yang sama. Setiap manusia harus dihormati.

Paham inilah yang dihayati pengurus partai politik di negara-negara maju sehingga mereka bergerak mengorganisir sumber daya partainya untuk memberi bantuan masyarakat sipil di negara lain. Jadi jangkauan mereka tidak lagi hanya dalam negeri (kebangsaan).

Clientilistic politics menempatkan rakyat sebagai klien. Caranya dengan menutup akses dan informasi kepada pihak di luar kelompok tertentu.

Di negara kita, politisi dan pemegang kekuasaan masih sibuk urus kelompok. Gejala yang terjadi di sekitar kita, termasuk dalam rekruitmen KPU, menunjukkan bahwa kita mundur ke titik nadir dalam cara berpolitik.

Aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) memiliki karier sosial dan organisasi yang paham kepentingan.

Stakeholder adalah pemangku kepentingan, sementara ada pemilik kepentingan yang sebenarnya. Apa logis stakeholder yang terlibat hanya dari satu kelompok saja? Kalau ini terjadi, berarti pengingkaran terhadap kepentingan lain.(bie)

Alwy Rachman, pengamat sosial politik/dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas

Sumber: Harian Tribun Timur Edisi 12/12/2008
http://www.tribun-timur.com/view.php?id=112900&jenis=Politik
Akses tanggal 13/12/2008
Selengkapnya >>

Rabu, 10 Desember 2008

Hasil Timsel Makassar dan Jeneponto Dipertanyakan

Rabu, 10-12-2008

Diminasi Muhammadiyah di Makassar; Perubahan Pleno di Jeneponto

Makassar, Tribun -
Mantan anggota Tim Seleksi Anggota KPU Sulsel Abd Rachmat Noer yang juga Ketua Pemuda Muhammadiyah Sulsel mengkritisi pola rekrutmen calon anggota KPU Jeneponto karena tidak transparan dan tidak lazim.
Dalam konferensi pers di Warung Kopi Phoenam, Makassar, Selasa (9/12), Rachmat mengatakan, hasil 10 besar calon anggota KPU Jeneponto tidak lazim karena terjadinya perubahan nama di luar hasil pleno.

Hasil seleksi calon anggota KPU Jeneponto menuai protes dari sesama tim seleksi (timsel) akibat tidak transparannya proses seleksi.

Timsel KPU Jeneponto, Zain Hanafi, memprotes empat rekannya yang telah mengubah hasil rapat pleno. Menurutnya, hasil rapat pleno sudah ditetapkan 10 nama, satu di antaranya status incumbent. Namun belakangan, empat rekannya melakukan perubahan.
Dua nama yang sebelumnya ditetapkan dari hasil pleno dicoret lalu diganti dengan dua nama berstatus incumbent. (lihat, Mengapa Dikritik)

Karena itu, Zain menolak keras hasil perubahan nama itu. Ia meminta empat rekannya kembali ke hasil pleno awal, sesuai komitmen.

Tokoh pemuda asal Turatea, Usman Lonta juga melontarkan protes keras dengan hasil kerja timsel tersebut yang melakukan perubahan nama. "Kami meminta KPU Sulsel untuk tidak gegabah melanjutkan proses seleksi menjadi lima besar sebelum melakukan klarifikasi ke tim seleksi," katanya.

Calon Makassar
Hasil Timsel KPU Makassar juga menuai protes publik. Sejumlah pesan singkat (SMS) beredar kemarin. SMS itu menyebutkan proses penetapan 10 besar calon anggota KPU Makassar tidak transparan. Selain itu, hasil timsel diserahkan Ketua Tim Seleksi Nasrullah kepada Ketua KPU Sulsel Jayadi Nas secara tertutup.

Selain itu, beredar SMS yang menyebutkan nama yang bakal lolos menjadi anggota KPU Makassar, sebagai berikut:
"Ada dugaan berbagai kalangan, komposisi dibawa ini akan dipaksanakan, dgn metode voting (muhammadiyah conection):
Abd Rauf Sudding (Unismuh)/ziaurrahman
Armin (Dosen UIN/Muhammadiyah)/Lomba Sultan
M Isdin Idrus (Dosen di Maros/S2 FP UH/Muhammadiyah)/Jayadi
Panca Nurwahidin (Sek Pemuda Muhammadiyah)/Samsir
Sakka Pati (Panwas/Dosen FH UH)/Nusrah)."

"Itu anggapan orang. Mereka hanya mereka-reka dari 10 nama yang masuk. Sampai saat ini, kami belum melakukan fit and propertest. Bagaimana kami bisa mengetahui kualitas mereka, sementara kami belum melakukan fit," ujar Ketua Kelompok Kerja Sosialisasi Pemilu Pendidikan Politik dan Pengembangan SDM KPU Sulsel, Samsir A Rahim.

Samsir juga membantah calon anggota KPU Makassar didominasi aktivis Muhammadiyah. "Tidak benar didominasi Muhammadiyah. Justru banyak nama-nama yang saya tidak tahu. Calon yang diusulkan timsel kami belum ketahui latar belakangnya karena kami belum melakukan fit," ujarnya.

"Kami mempertegas secara kelembagaan. Bahwa tidak ada semua punya peluang yang sama. Hasilnya ditentukan oleh fit," kata Samsir menambahkan. Menurutnya, KPU Sulsel akan mulai menguji calon anggota KPU hari ini (lihat, Jadwal Fit and Profertest).

Penjelasan ketua kpu sulsel: Rahasia dan Independensi Timsel
KPU Provinsi tidak akan mencampuri proses seleksi yang dilakukan Timsel Jeneponto. Kami hanya menerima hasil timsel, kami tidak tahu menahu, ada apa dan segala sesuatu di balik seleksi. Itu rahasia timsel.

Menyangkut hasil Timsel Makassar, saya tegaskan bahwa sekarang bukan saatnya lagi mempermasalahkan satu idelogi dengan ideologi yang lain, mempermasalahkan satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Setahu saya Timsel KPU Makassar yang berasal dari Muhammadiyah hanya Pak Nas (Drr Nasrullah/ketua timsel). Apakah dengan kesendirian Pak Nas biasa mempengaruhi timsel lainnya? Selain itu, Pak Nas adalah ilmuwan, tidak mungkin akan melacurkan dirinya.

Pemilihan presiden di Amerika harus menjadi pelajaran kita. Mereka tidak lagi membahas kelompok, tok kelompok minoritas akhirnya menang setelah dipilih kelompok mayoritas. Seleksi di KPU Makassar sangat profesional. Timsel memiliki independensi yang tinggi.

Ketua KPU Sulsel, Dr Jayadi Nas

Sumber: Harian Tribun Timur Edisi 10 Desember 2008
http://tribun-timur.com/view.php?id=112561&jenis=Politik
Akses tanggal 10 Desember 2008
Selengkapnya >>

Senin, 08 Desember 2008

Maqbul Halim ke KPU Makassar Lagi? (5)

Sinjai, 08/12/08

Akhirnya, saya tidak lulus. Namaku tak ada pada 10 orang calon yang akan dikirimkan oleh tim seleksi ke KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Pahir Halim, kolega saya sesama anggota KPU Kota Makassar yang lama, juga tidak lulus.

Tadi malam pukul 21.13 wita, saya mencoba hubungi Sabaruddin yang terus mendampingi tim seleksi sebagai sekretaris tim seleksi dalam setiap rapat. Panggilan telepon saya tidak dijawab. SMS dari Pahir untuk saya yang menyebutkan informasi terakhir tentang keputusan tim seleksi itu, juga saya teruskan kepada Sabar, sapaan akrab Sabaruddin. Ia tidak membalasnya. Saya juga menghubungi rumah saya di Tidung, bila saja ada pemberitahuan ke sana. Pada formulir pendaftaran, saya cantumkan nomor telepon rumah di sana sebagai alternatif kontak saya selain nomor selulerku yang sudah sebulan lebih ini tidak aktif. Adikku yang menghuni rumah itu sekarang, Nurul Haerul, mengaku belum menerima telepon dari siapa pun yang mencariku pada malam itu.

Sabar tidak merespon panggilanku hingga saya tidur kurang lebih pukul 01.00 wita dinihari. Saya yakin pada malam itu, saya tidak mempunyai tanda-tanda kelulusan. Saya keluhkan itu kepada Ria, istriku. Dia mengatakan bahwa lebih baik berpikir tentang ketidak-lulusan, meskipun katanya di hati kecilku tetap ada keinginan untuk lulus ke 10 besar. Saya heran karena dia tahu bahwa meski saya tidak peduli dengan proses pendaftaran ini, saya tetap memendam harapan untuk lulus. Mungkin saja Ria sudah memahami sikapku ketika setiap waktu saya tampak selalu menatap layar selulerku, menunggu SMS, entah dari Sabar, atau dari siapa pun itu. Tak ada kabar yang datang. Saya berniat menghubungi Anwar Wahab atau Joni, seorang senior saya di Komunikasi Fisip Unhas Ujungpandang ketika masih kuliah dulu. Joni pernah aktif di Partai Demokrat Sulawesi Selatan. Sekarang ia menjadi calon legislatif di Partai Republika Nusantara (RepublikaN) untuk Dapil IV DPRD Sulawesi Selatan. Saya urung menghubunginya, karena saya pernah menyatakan bahwa saya tidak peduli apapun hasil dari proses ini. Jika saya menghubunginya, berarti saya tidak konsisten dengan pernyataan itu. Lagi pula, memang itulah adanya pendaftaran saya.

Larut malam sudah menunjukkan pukul 23.40 wita. Saya bergabung melarutkan diri bersama ayahku menonton film DVD tentang kisah terbunuhnya Hussein di Perang Karbala. Ettaku, sapaan untuk beliau dari kami bersaudara, menginap di rumah ketika itu. Ketika film sudah usai, saya betul-betul tidak memikiran apa yang telah dikerjakan oleh Tim Seleksi. Saya langsung membaringkan diri. Saya sendiri tidak tahu, pada saat kapan saya tertidur. Saya sempat menengok jam dinding ketika mengunci pintu belakang dan pintu depan, jarum jam sudah menunjuk pukul 00.55 wita. Ria sudah tidur bersama temannya yang menumpang di rumah untuk ujian PNS. Saya sibak tirai jendela depan rumah, saya melihat tetangga yang berkumpul masih bermain kartu di depan warung Pak Anshari. Tiga orang dari mereka sedang dihukum berdiri.

Keesokan harinya, kabar itu akhirnya menjadi terang. Pagi di Mugellona, embun masih membasah di dedaunan rumput dan Bunga Terkini. Beberapa meter arah Selatan dari rumah, saya dan Ettaku sedang larut mengobrol menghadap ke rumahku yang masih sementara proses pemasangan kusen dan batu merah. Kami mengobrol ikhwal teknis dan bahan rumah saya yang sedang dibangun. Sinar mentari pagi mulai menyelinap dari langit timur. Tak ada lagi yang remang di hadapan kami. Kami merasa sudah cukup dan kemudian berjalan kembali ke rumah kontrakan saya yang hanya berjarak beberapa meter itu, masih di dalam kompleks Taman Mugellona. Hanya satu kali belokan, kami sudah tiba di depan rumah kontrakan.

Di teras depan rumah, Ettaku memungut koran yang baru saja tiba. Beliau membawah masuk koran itu dan kemudian mengambil tempat duduk. Saya terus berjalan ke bagian belakang untuk membuka pintu keluar yang masih terkunci. Seperti biasa, saya periksa tempat sampah dekat kompor dan tempat sampah di dalam kamar mandi, mengangkat dan mengeluarkannya ke depan rumah, ke sebuah tong khusus untuk sampah sebelum di diangkut oleh petugas sampah. Sambil berlalu lalang di sekitar Ettaku yang sedang membaca koran, saya juga masih bisa mengintip berbagai judul pada koran itu dan tetap juga melakukan pekerjaan pagi. Pada halaman empat yang sedang hadapan Ettaku, tatapan mataku tersangkut pada judul yang tertera di sudut kiri atas: “10 Nama Lolos Seleksi”.

Saya penasaran dengan judul itu. Saya meletakkan kunci pintu di mejah dan menyandarkan gagang sapu di dinding. Saya mendekat melihat judul pada lembaran itu. Saya meminta kepada ayahku agar tidak melewatkan berita yang terpampang di sudut kiri atas itu. Ada kolom kecil di bawah judul dengan raster abu-abu yang memuat daftar 10 nama yang lolos seleksi. Nama demi nama saya periksa dengan detail. Namaku tidak ada di antara 10 itu. Sambil berdiri membungkuk memegang kedua lututku, saya memeriksa kembali nama-nama itu, dan tetap saja nama saya tidak ada. Ria yang sedang menyiapkan sarapan di dapur akhirnya penasaran hendak mengetahui apa yang sedang kami perbincangkan tentang salah satu berita di koran pagi. Ia bertanya apakah saya lolos. Saya dan Ettaku tidak menjawab. Tatapi, ia pun akhirnya tahu bahwa saya tidak lulus ke 10 besar seleksi.

Ettaku mengatakan bahwa saya tetap punya peluang besar untuk mendapatkan kegiatan lain. Ia memberiku semangat, dan sedikit mencoba menyabarkan saya. Ia katakan bahwa jika yang saya alami sekarang adalah kegagalan, maka inilah tahap yang mungkin harus saya lalui untuk mencapai sukses berikutnya pada hal lain. Saya berpendapat lain dan berbeda dengan apa yang beliau nasihatkan itu. Saya berprinsip bahwa semua kegagalan adalah hal yang betul-betul terpisah dari kesuksesan. Saya selalu muak mendengar adagium yang mengatakan bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Adagium itu adalah dusta. Kegagalan adalah kegagalan itu sendiri, dan kesuksesan adalah kesuksesan itu sendiri. Kegagalan bukanlah syarat bagi kesuksesan, atau kesuksesan sebagai akibat dari kegagalan. Dua hal ini adalah sintesis yang berasal dari tesis yang berbeda. Jika sebelumnya saya gagal di KPU Propinsi Sulawei Selatan, lalu keberhasilan yang mana dimaksudkan saat ini? Barangkali keberhasilan yang dimaksudkan kegagalan itu adalah yang akan terwujud 10 atau 20 tahun yang akan datang. Bukankah dengan demikian, jaminan dari adagium tetapi meliputi lebih banyak ketidakpastian.

Ria memberi tanggapan datar dan tak ada penekanan tertentu terhadap kabar ini. Ia hanya mengulang apa pernah ia sampaikan sebelumnya ketika saya hendak mendaftar lagi di KPU Kota Makassar. Ia tidak risau atau panik dengan kegagalan ini karena ia mempunyai dua alasan. Pertama adalah bahwa ia sudah pernah mengajak saya memikirkan kembali langkahku untuk mendaftar kembali itu, meski akhirnya kami bersepakat, saya mendaftar kembali. Kedua, ia selalu meyakini potensi-potensi tidak independennya tim seleksi dalam memutus, sebagaimana halnya yang terjadi pada KPU Pusat ketika memutuskan lima besar calon anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Dua asalan itulah yang memberi kekuatan kepada Ria ketika pertama kali mengetahui kegagalanku lolos ke 10 besar calon anggota KPU Kota Makassar. Kabar kecewa ini tidak membuat Ria harus mengehentikan mesin pembakar roti di hadapanya. Kami bertiga juga tidak mengeluhkan roti bakar yang kami cicipi, apakah gosong atau masih mentah. Kabar koran pagi tidak mengusik sarapan pagi kami.

Setelah sarapan, saya mengetik SMS melalui nomor selulerku yang lain. Saya kabarkan bahwa saya akhirnya tidak lolos seleksi KPU Makassar. Pesan itu saya kirim ke nomornya Syamsu Rizal MI (teman saya di Komunikasi Unhas ketika masih kuliah dan akrab dipanggil Ical), Anca Darmawangsyah (juga alumni Komunikasi Unhas yang seangkatan dengan Ical dan selalu dipanggil dengan nama kecil Anca), Bang Joni, dan Farouk M. Beta atau Aru (sekretaris Golkar Kota Makassar). Mereka semua adalah teman warung kopi, kerap satu meja dengan mereka atau beberapa dari mereka.

Tak ada respon segera setelah itu. Sembari menungu respon mereka, saya membuat kegiatan merapikan bahan-bahan tukang yang sedang mengerjakan rumah. Beberapa barang saya pindahkan tempatnya, sedangkan barang-barang seperti kaleng dan kardus yang tidak terpakai, saya keluarkan untuk diangkut oleh tukang sampah.

Saya menelpon Pahir Halim untuk kali pertama hari itu. Pahir sedang berada di Pinrang. Panggilanku tidak tersambung ke selulernya. Saya mencobanya dua jam kemudian dan tersambungkan. Begitu pangilanku terjawab, Pahir langsung bertanya. Rupanya, ia juga sudah mendapatkan kabar tentang hasil Tim Seleksi. Saya jawab bahwa itulah posisi yang sebenarnya. Ia mengatakan, tak ada lagi yang bisa dilakukan, sudah diputuskan oleh Tim Seleksi. Saya sampaikan bahwa Ria sudah tahu kabar ketidak-lulusan ini. Ia sedang menyetir mobil ketika saya meneleponnya. Entah, apakah suara desingan angin berkendara atau suara tarikan nafasnya, Pahir lalu menjawab bahwa ia belum memberi tahu istrinya. Saya memahami bahwa istrinya termasuk motivator yang dominan sehingga ia mendaftar kembali seperti saya di KPU Kota Makassar. Saya masih ingat dan juga percaya, ia pernah menyatakan bahwa dirinya tidak lagi mendaftar di KPU Makassar ketika ia dinyatakan tidak lulus ke Lima Besar anggota terpilih KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Ia mendaftar kemarin pada hari terakhir penerimaan berkas. Kira-kira baru satu menit mengobrol, Pahir sudah meminta untuk memutuskan pembicaraan telepon. Saya bilang, nanti kita ketemu kembali di Makassar. Saya pun melanjutkan aktivitasku di lokasi pembangunan rumahku.

Aru menelpon ketika saya melupakan untuk sementara kegagalan itu. Panggilannya masuk tidak lama setelah saya menelpon Pahir. Kami mengobrol lama melalui telepon. Ia heran dan mengaku tidak mengerti bagimana cara kerja dan apa pertimbangan Tim Seleksi sehingga calon seperti saya dan Pahir tidak lolos. Ia bingung dan kalimat-kalimatnya kerap terputus. Kadang-kadang, terasa seperti kesulitan memilih kata-kata untuk mengemukakan maksudnya. Saya menggaris-bawahi apa yang paling ia perhatikan: terlalu berani Tim Seleksi mengambil keputusan seperti itu. Kata Aru, Pak Ilham Arief Sirajuddin juga tidak bisa memahami cara Tim Seleksi memutuskan 10 calon yang lolos seleksi itu.

Sore, pukul 15.30, saya terima telepon dari Pak Darwis, mantan anggota KPU Sulawesi Selatan 2003-2008. Suara saya terputus-putus di selulernya. Suara saya terputus di selulernya karena kendaraan saya sementara merayap di Basement Parkir Panakkukang Square. Saya kemudian menelponnya setetelah lepas dari basement mengarah keluar ke Jl Pengayoman. Kami bercakap tentang kondisi Tim Seleksi yang sedang mendapatkan sorotan dari beberapa kalangan. Pak Darwis berpikir, bagaimana bisa terjadi ada berita yang memuat nama-nama calon yang lolos 10 besar, sementara Tim Seleksi sendiri tidak mengeluarkan pengumuman tentang itu. Apalagi Tim Seleksi menyerahkan nama-nama itu untuk diumumkan sendiri oleh KPU Sulawesi Selatan. Pak Darwis menanyakan sumber informasi yang menerangkan nama-nama itu. Dia juga menanyakan alasan Tim Seleksi menggugurkan saya. Saya katakan kepadanya bahwa Tim Seleksi sesungguhnya tahu siapa-siapa yang layak disebut terbaik masuk 10 besar, dan juga sekaligus tahu tentang apakah pilihannya yang 10 orang itu adalah sudah betul-betul yang terbaik. Saya serahkan saja kepada Tim Seleksi, dengan moral yang mereka miliki, apakah mereka jujur atau tidak tentang itu.

Pak Darwis adalah salah satu teman saya yang tidak percaya orang-orang di KPU Sulsel pengantinya itu akan membantu saya dalam proses seleksi. Ia menyarankan kepada saya agar tidak mempercayai mereka. Ia pun mengatakan sesuatu sebelum saya putuskan sambungan pembicaraan. Saya lupa, sudah berapa menit saya berbicara. Tetapi kendaraank sudah melaju di depan SMA 5 Makassar. Saya merasa, ia mencoba mengajak saya melupakan semua itu. Ia keliru kalau ingin berempati pada kegagalanku. Kegagalan ini tentu bukan beban bagiku. Bebannya ada pada mereka yang telah beralasan sedemian rupa sehingga saya mendaftar kembali. Saya mengakui, saya juga memendam harapan atas hasil dari proses ini, tapi tidak cukup untuk mengalahkan alasan-alasan mereka yang telah mendorongku. Harapan itu hanya muncul setelah ada keputusan untuk mendaftar lagi. Sebelum pendaftaran, harapan itu berada persis pada titik nol. Pendaftaran itu betul-betul menipuku hingga saya meniatkan secuil harapan.

Andi Aso, anak kedua Pak Syahrir Makkuradde, menuding Tim Seleksi tampak pada sisi yang betul-betul sangat bodoh. Andi Aso, kata Pak Syahrir, menanyakan, kenapa Tim Seleksi memilih orang yang belum tentu bagus dan pada saat yang sama menyingkirkan orang-orang yang sudah nyata-nyata dan terbukti bagus dan lebih bagus dari yang telah dimuat pada berita-berita koran itu. Kali pertama saya bertemu dengannya setelah berita koran itu, Pak Syahrir tidak mengatakan apa pun kecuali langsung menirukan perkataan Andi Aso tadi. Pak Syahrir juga heran dan tidak mengerti jalan pikiran tim seleksi sehingga berkeputusan seperti itu.

Saya juga menelepon langsung Bang Joni, senior yang paling antusias dan bernafsu “memerintahkan” saya untuk mendaftar kembali. Ia sendiri tidak tahu hendak berbuat apa setelah mengetahui ketidak-lulusanku. Di telepon, suaranya tidak stabil. Selama dalam percakapan, saya sering menemukan jeda pembicaraan tanpa kata-kata ketika saya sendiri sengaja tidak bersuara untuk menunggu responnya atau memberi tangapan balik. Ia gugup. Ia mungkin merasa kegagalan saya ini tidak pernah ada dalam pikirannya. Ia bertanya kepada saya tindakan apa yang mestinya ia ambil. Saya pun tidak tahu karena sejak awal saya sudah menyatakan bahwa saya hanya menyerahkan diri. Kepadanya saya pernah katakan bahwa saya siap menjadi korban, tumbal, atau apalah namanya. Segala sesuatu yang tidak terkait dengan proses yang bersifat informal tapi menentukan, adalah bukan kegiatan saya. Melainkan, sudah disanggupi oleh Bang Joni sebelumnya.

Sejak kabar ketidak-lulusan itu saya ketahui pada pagi hari hingga sore hari, asumsi demi asumsi dalam pikiran silih berganti. Hasil psikotes, outbound, dan wawancara adalah dasar bagi tim seleksi menyusun penilaian. Atas dasar penilaian itu, Tim Seleksi lalu mengurutkan 20 nama calon peserta dari yang terbaik nilainya pada urutan pertama hingga ke yang terendah di urutan keduapuluh. Mestinya, saya tidak lolos karena penilaian dari hasil tiga jenis tes itu. Saya berpikir bahwa bukan ini masalahnya. Saya mungkin orang yang tidak baik dan tidak bersahabat bagi anggota Tim Seleksi. Bisa jadi, semua prosedur formal telah terpenuhi. Hanya saja, motivasi yang telah saya dapatkan dari beberapa orang itu tidak lain hanya pepesan kosong belaka. Mereka hanya sebatas mendukung atau menyarankan, tetapi mereka sendiri tidak berbuat. Tapi ketika saya terus berpikir, bisa jadi bukan itu masalahnya.

Mungkin saja masalahnya adalah bahwa ada pihak lain yang tidak menginginkan kehadiran saya kembali di KPU Kota Makassar. Pihak yang masuk akal berkepentingan seperti itu adalah para saingan saya. Secara proporsional, paling kurang 15 dan paling banyak 19 calon yang berkepentingan seperti itu. Dua di antaranya adalah teman sesama komisioner KPU Kota Makassar, Pahir Halim dan Dirgahayu Lantara. Tapi kedua orang itu sudah menjadi bagaikan saudara kami, saling membantu dan saling berdiskusi setiap kali akan menghadapi tahapan tes. Demikian juga, kedua orang itu saling mempercayai dengan saya ketika menghadapi masa-masa sulit Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Makassar 2008. Pahir Halim adalah teman yang telah merasakan bagaimana baik dan buruknya berteman dengan saya, terutama dalam hal saling melindungi dalam pekerjaan. Karena itu, saya yakin bukan ini masalahnya.

Ical bercerita kepada saya pada siang hari edisi pemberitaan itu tentang salah seorang kawan saya di KPU Makassar. Menurut Hambali Talib, salah seorang anggota Tim Seleksi, kata Ical menceritakan, saya tersingkir setelah Tim Seleksieksi melakukan konfirmasi kepada salah seorang di KPU Kota Makassar. Anca Darmawangsyah juga mendapat informasi itu. Setelah saya menerima telepon dari Ical tetang itu di rumah, saya bergeser dan meraih tempat duduk. Saya menghela nafas dan kemudian memeriksa nama-nama satu per satu mulai dari anggota KPU Kota Makassar yang tidak ikut seleksi hingga seluruh staff dan pegawai kontrakan. Jantung saya berdegup keras. Beberapa nama, setiap orangnya, saya temukan berkait dengan berbagai peristiwa. Setelah mengetahui beberapa nama itu, saya tidak jadi memilih faktor ini sebagai penyebab kegagalan saya. Saya hanya mencatatnya dalam memori saya, dan saya berharap kontribusinya terhadap kegagalan saya itu akan hilang dari ingatanku dalam waktu singkat. Dengan demikian, padanganku terhadap orang ini akan kembali pulih dan tidak sedikit pun hal-hal yang negatif ketika saya berpikir atau berbicara tentang orang itu.

Inilah ujung perjalananku dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia. Lima tahun enam bulan usiaku saya gunakan untuk tugas-tugas kepemiluan. Segalanya ada akhirnya. Pengalaman lima tahun itu mengajarkan kepada saya tentang bekerja berdasarkan hukum. Kedewasaan saya dalam berbeda pendapat dan pandai-pandai menomor-duakan kepentingan dan persoalan pribadi dari kepentingan pekerjaan, telah menjadikan diriku siap mengemban amanah untuk menjadi anggota KPU Kota Makassar 2009-2014. Intinya, saya menemukan karakter sebagai komisioner Pemilu pada diriku. Semua tidak datang begitu saja, karena saya belajar dari peristiwa ke peristiwa. Saya bukanlah saksi dari masa silam, dan melintasi waktu begitu saja. Saya berinteraksi, berdiskusi dengan masalah-masalah, sehingga pikiran-pikiranku juga menjadi bagian yang penting dalam kerja-kerja komisioner tersebut. Serbuan kepentingan yang berbeda dari para politisi dan partai politik, memaksa saya agar tetap dalam tindakan yang benar, sekaligus juga tidak mengecewakan pihak-pihak yang kepentingannya tidak bisa dibenarkan. Saya diperintahkan oleh Tim Seleksi untuk meletakkan semua itu, sekaligus membawah pulang semua barang-barangku pada ruang kerjaku di kantor. Sebuah periode akan segera melaju, akan segera berpisah denganku.

Dari dua kegagalan yang saya alami, satu ketika gagal di seleksi calon anggota KPU Sulsel pada awal hingga pertengahan 2008, saya mendapatkan prinsip yang sangat bernilai ketika saya mengkonstruksi sejarah hidupku. Prinsip itulah yang menyebabkan saya tidak pernah mendapati diriku begitu rendahnya di hadapan orang yang berdaya dalam proses seleksi. Saya tidak pernah sibuk menampilkan diri sebagai orang yang seakan-akan baik di hadapan orang-orang yang punya pengaruh terhadap hasil proses seleksi. Saya tidak pernah menyerahkan diri dan kemudian sebagian kedaulatan saya menjadi agunan atas utang budi yang saya dapatkan dari mereka. Kegagalan memang akhirnya menjadi bayaran atas prinsip itu. Saya menyadari, inilah kekurangan saya. Tapi kedaulatanku yang utuh ketika berpendapat dan memutus adalah juga kelebihan. Kekurangan dan kelebihan ini, bisa saja dipertentangkan, dan bisa juga diperbandingkan. Salah satu memang meniadakan yang satunya, atau sebaliknya juga. Kenyataannya, saya hanya memiliki satu, bukan dua, yaitu: berdaulat dalam berpendapat atau memutus. Bukan berutang budi ketika berpendapat atau memutus.

Selengkapnya >>

Hanya Satu Incumbent Lolos

(07 Dec 2008, 72 x , Komentar)
Seleksi Calon Anggota KPU Makassar

MAKASSAR -- Hanya satu incumbent yang berpeluang terpilih kembali menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar.Dari tiga calon yang bersaing, hanya satu orang yang berhasil menembus tahapan seleksi 10 besar. Ketiga incumbent yang kembali bertarung tersebut adalah Dirgahayu Lantara, Maqbul Halim, dan Pahir Halim. Informasi yang diperoleh Fajar, Sabtu, 6 Desember malam tadi, hanya seorang di antaranya yang lolos ke tahapan seleksi berikutnya.

Dia adalah Digahayu Lantara, mantan dosen Universitas Muslim Indonesia (UMI). Dirga, sapaan Dirgahayu, masuk di KPU Makassar di pengujung keanggotaan. Dia masuk menggantikan Tenri A Palallo yang naik tingkat ke KPU Sulsel kala itu.

Mantan ketua Panwas Makassar untuk Pilgub Sulsel Novandy Imam juga disebutkan lolos 10 besar. Begitu pula dengan mantan anggota Panwas Pilkada Makassar Sakka Pati. Ada pula nama Abdul Rauf Suddin, Ahmad Namsung, dan Armin.

Empat nama calon lainnya yang berhasil menembus 10 besar adalah M Idzin Idrus, Misna M, Nurmal, dan Pantja Nurwahidin. Mereka selanjutnya akan mengikuti fit and proper test untuk menentukan lima komisioner KPU Makassar.

Lolosnya nama-nama tersebut dibenarkan Ketua KPU Sulsel Jayadi Nas, malam tadi. Jayadi mengaku baru tiba dari Pinrang. Di sana, dia menggelar pertemuan dengan PPK se Kabupaten Pinrang membahas pilkada putaran kedua.

Sementara tim seleksi anggota KPU Makassar memilih bungkam. Tak satu pun anggota tim seleksi yang mau buka mulut soal nama-nama calon yang lolos 10 besar tersebut. Mereka mengaku tidak berhak mengumumkan daftar 10 calon anggota KPU Makassar tersebut.

"Kami tidak berhak mengumumkannya. Itu menjadi kewenangan KPU Provinsi Sulsel. Aturannya memang sudah seperti itu. KPU Sulsel mungkin akan mengundang ke-10 calon itu untuk mengikuti fit and proper test," kata Nasrullah, ketua tim seleksi calon anggota KPU Makassar, kemarin.

"Pada saat itulah diketahui, siapa-siapa yang lolos 10 besar," lanjutnya. Anggota tim seleksi lainnya, Prof Dr Hambali Thalib juga belum mau buka-bukaan. Guru besar Fakultas Hukum UMI tersebut hanya memberikan latarbelakang calon yang masuk 10 besar. Dia tidak mau menyebut satu pun nama calon.

Hambali mengatakan, calon yang lolos ke tahap berikutnya mewakili beberapa kalangan. Ada perempuan, ada akademisi, dan ada profesional. Hambali juga memastikan ada seorang calon yang berlatarbelakang jurnalis.

Satu calon anggota KPU perempuan yang lolos dipastikan adalah Sakka Pati, mantan anggota Panwas Pilkada Makassar. Hambali tidak menyebut nama Sakka. Namun, dia memberi isyarat bahwa yang bersangkutan sangat layak, bukan hanya karena dia perempuan.

Rapat pleno penentuan calon anggota KPU Makassar yang lolos 10 Besar kemarin berlangsung alot. Beberapa nama calon terpaksa harus diputuskan melalui voting karena masing-masing anggota tim seleksi mempertahankan "jagoan" mereka. (sap)

10 Calon Anggota KPU Makassar
1. Dirgahayu Lantara
2. Abdul Rauf Suddin
3. Ahmad Namsung
4. Armin
5. M Idzin Idrus
6. Misna M
7. Novandy Imam
8. Nurmal
9. Pantja Nurwahidin
10. Sakka Pati

Sumber: Harian FAJAR Edisi 7 Desember 2009
http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=81261
Akses tanggal 8 Desember 2008
Selengkapnya >>

Minggu, 07 Desember 2008

Timsel KPU Makassar Tetapkan 10 Besar

Sabtu, 06-12-2008 | 23:14:29
Laporan: muhammad irham/as kambie. tribuntimurcom@yahoo.com

Makassar, Tribun- Setelah melewati perdebatan panjang, tim seleksi calon anggota KPU Kota Makassar akhirnya menetapkan 10 besar kandidat. Nama itu diakui sudah diserahkan ke KPU Sulsel, Sabtu (6/12) petang. Dari kesepuluh nama itu, dua incumbent dipastikan tersingkir.

Kedua incumbent KPU yang tersingkir adalah Maqbul Halim dan Pahir Halim. Keduanya tidak masuk dalam nominasi 10 besar yang diusulkan oleh tim seleksi. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar, M Fadli, juga dipastikan tidak lolos.

"10 besar memang sudah kami sepakati. Tapi, sesuai kesepakatan timsel, nama-nama itu tidak boleh disebutkan sebab akan diumumkan secara resmi besok (hari ini)," ujar anggota timsel, Abd Latif Jusuf.

Selain Latif, timsel lainnya adalah Prof Saldy AD, Dr Nasrullah, Abd Latif Yusuf, Prof Dr Hambali Thalib, dan Mustawa. Tim ini diketuai Dr Nasrullah.

"Inilah hasil tim seleksi yang diserahkan kepada kami. Kami tidak campur karena ini wewenang tim seleksi," ujar Ketua KPU Sulsel, Dr Jayadi Nas, Sabtu (6/12), malam.

Kesepuluh nama calon anggota KPU Makassar itu adalah, Dirgahayu Lantara, Abdul Rauf Sudding, Ahmad Lantang, Armin, M Isdin Idrus, Misnawati M, Novandi, Nurmal Idrus, Panca Nurwahidin, dan Sakka Pati. (*)

http://www.tribun-timur.com/viewrss.php?id=112196
Akses 07 Desember 2008
Selengkapnya >>

Sabtu, 06 Desember 2008

Maqbul Halim ke KPU Makassar Lagi? (4)

Makassar, 06 Desember 2008

Waktu itu, awal April 2008, saya mendapat pesan singkat dari Rachmat Noer, anggota tim seleksi calon Anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan periode 2008 – 2013. Saya tidak langsung membacanya ketika telepon selulerku mengeluarkan bunyi peringatan pesan singkat. Apalagi waktu itu, saya sedang sibuk menyusun draft outline materi serial diskusi sebagai rangkaian kegiatan Milad Muhammadiyah Sulawesi Selatan di Makassar yang tinggal beberapa hari lagi. Kru panitia milad yang sedang berjibun di kantor akademik Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar lantai dua, mendesak agar saya segera membaca pesan singkat tersebut. Saya tetap belum membacanya hingga tak ada lagi teman panitia yang mendesakku untuk membacanya.

Pesan singkat Rachmat hanya satu kata: “Selamat.” Saya membacanya dan kemudian tersenyum. Saya bahagia waktu itu karena saya sendiri yakin bahwa ucapan Selamat itu merupakan pertanda kelulusan saya ke peringkat 10 besar seleksi calon anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Sehari setelah saya terima pesan singkat itu, saya mengetahui bahwa Rachmat mengirimkan pesan singkat itu tidak lama setelah rapat pleno tim seleksi ditutup oleh ketuanya, Prof. Tahir Kasnawi. Rapat tim seleksi diaksanakan di Hotel Clarion and Convension Center, Jln. A.P. Pettarani.

“Saya betul-betul lolos ke peringkat 10 besar,” gumamku dalam hati. Jika ini sebuah prestasi, maka saya sangat bangga dan prestasil ini sangat berarti bagiku. Saya tentu berbangga karena ada 10 orang yang tidak lolos ke 10 besar seperti saya. Sekaligus, saya beruntung karena kompetensi, pengalaman dan wawasan kepemiluan tidak menjadi penentu lolosnya 10 orang mengungguli 10 orang lainnya. Sebelumnya, ada 20 orang peserta yang lolos tes tertulis, yang berhak ikut proses selanjutnya dari 20 Besar menjadi 10 Besar. Banyak juga mereka yang waktu itu masih sedang menjabat sebagai anggota KPU kabupaten/kota di daerah dan satu orang lagi adalah anggota KPU Sulsel tidak lolos masuk ke 20 besar.

Ada beberapa dari 10 orang yang lolos itu yang pengetahuan kepemiluannya betul-betul berangkat dari titik nol. Ironisnya, hingga sebulan sebelum pendaftaran calon anggota KPU Sulsel 2008-2009 dibuka, mereka, yang beberapa orang dari 10 orang tersebut, masih belum tahu apa persisnya pemilihan umum itu. Mereka tidak pernah bekerja sebagai penyelenggara seperti KPPS, PPS, PPK, pemantau pemilu, panitia pengawas pemilu, atau membicarakan topik-topik pemilihan umum, atau yang berkaitan secara tidak langsung pada pemilihan umum. Mereka juga tidak pernah terlibat sebagai peserta seminar, diskusi, atau pertemuan publik yang membahas atau mengkritisi masalah pemilu. Saya yakin, Lomba Sultan (Dekan fakultas Syariah UIN Alauddin), Syamsir (Dosen Unismuh), Hasnawati (dosen, dan pengasuh TK/Playgrup) adalah mereka yang star dari titik nol. Sementara Jayadi Nas, hanya bermodalkan gelar doktor dan sering jadi pembicara di seminar-seminar semata. Satu-satunya pengalaman pemilu Jayadi Nas adalah pernah gagal tes seleksi calon anggota Panwas Pemilu Pilgub Sulsel 2007, tepatnya adalah ia kandas berdasarkan rekomendasi hasil psikotes.

Setelah saya menemukan cerita itu, saya mengurungkan niat untuk membanggakan kelulusanku ke peringkat 10 Besar. Kompetensi dan pengalaman saya di KPU Kota Makassar selama lima tahun tidak menjadi pertimbangan sehingga saya lolos. Setidaknya, itulah modus yang berlaku pada tiga orang yang saya sebutkan sebelumnya. Ini bukan sebuah prestasi. Ini juga bukan pertanda kelemahan dan kekurangan dari 10 orang yang tidak lolos ketimbang 10 orang yang lolos.

Pesona kelulusan itu sesekali juga membutakan saya. Saya kerap tidak bisa mengendalikan diri untuk memuji prestasi itu di hadapan orang-orang dalam berbagai kesempatan. Saya misalnya melukiskan betapa ketatnya persaingan, betapa tidak sia-sianya integritas dan pengalaman kepemiluan yang saya bangun selama ini, betapa sulitnya tim seleksi memilih 10 dari 20 orang yang memiliki kualifikasi yang hanya berbeda sedikit, dan seterusnya. Saya biasa sesekali menyadari keliruan itu, tetapi kerap juga kembali lagi terbuai agar orang-orang membangun apresiasi yang tinggi terhadap diriku akibat proses seleksi yang tidak gampang itu. Itu semua adalah buaian yang sesungguhnya dusta yang membuat saya berbangga dengan cara menutupi yang sebenarnya.

Saya hanya beruntung. Jawaban itu lebih sering keluar dari mulutku ketika orang-orang memuji dan memberi hormat atas keberhasilanku menembus peringkat 10 Besar seleksi calon anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan 2008-2013. Bukankah semua keberuntungan selalu tidak bisa dikendalikan oleh orang-orang yang akhirnya mendapatkannya kemudian. Keberuntungan, bahkan, lebih buruk dari segi kepastian ketimbang peluang dalam teori-teori statistik. Ketika seleksi propinsi itu, saya memiliki keberuntungan itu. Prestasi ini tentu hanya sedikit berbeda dengan hasil perjudian. Atau, lolos menjadi anggota KPU atau lolos pada proses-proses seleksi itu dengan ornamen cerita-cerita buruk seperti itu adalah dusta yang kadang-kadang saya tidak sadar membanggakannya.

Ketika saya ditanya oleh wartawan atau pihak tertentu tentang prestasi itu, saya selalu menjawabnya bahwa saya hanya beruntung. Mungkin itulah sebabnya sehingga jurnalis Harian Berita Kota Makassar (BKM) menggelari saya “spesialis peruntung”. Saya enggan berbicara mengenai kelebihan saya dari mereka yang tidak lolos waktu itu. Tentu saja jika tetap membicarakannya, publik akan salah memahami dasar pertimbangan tim seleksi sehingga saya lolos. Resikonya, saya bisa dipersepsi sebagai orang hebat, orang luar biasa, orang khusus, dan seterusnya. Dan, yang lebih berbahaya adalah saya bisa salah memahami diriku sendiri: berlebihan, tidak proposional, atau melebihi fakta empiris. Sekali lagi, sangat sederahana jawabannya: saya beruntung.

Sebuah acara pada pertengahan Maret 2008 digelar oleh Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI) Sulawesi Selatan di Hotel Clarion. Saya moderator pada acara yang menghadirkan Nurpati (anggota KPU), Dr. Aswanto (Mantan Panwas Sulsel 2004), Fadjroel Rachman, dan Andrinof Caniago itu. Di sela-sela presentasenya, Aswanto memuji Nurpati jika memilih saya menjadi anggota KPU Sulsel karena itu bukan pilihan yang buruk, melainkan pilihan yang tepat. Saya grogi karena tidak menyangka Aswanto akan mengatakan itu di hadapan peserta. Saya berusaha memotong ucapannya itu, tapi gagal. Dengan sedikit munafik, saya menyelipkan sedikit sikap bangga setelah ucapan Aswanto itu. Waktu itu, hadir juga Jayadi Nas sebagai peserta. Saya melihatnya berkidik sambil memalingkan wajah ketika mendengar ucapan Aswanto itu. Saya betul-betul khilaf karena saya terbuai menerima pujian itu. Saya mestinya mencairkan kembali situasi sehingga masukan Aswanto kepada Nurpati tidak terkesan personal dan saya bukan lagi satu-satunya target penerima manfaat dari pujiannya.

Saya meyakini, proses yang saya lewati ketika itu untuk sampai ke peringkat 10 besar adalah adalah proses yang tidak memerlukan keahlian khusus. Atau, bahwa mereka yang lolos adalah hanya orang-orang khusus dari segi kemampuan khusus. Pikiran dan perasaan itulah sebenarnya yang melumuri pikiranku sehingga saya tidak tergerak mengekspresikan kegirangan atau rasa bahagia ketika mendapatkan SMS dari Rachmat Noer, anggota Tim Seleksi. Sekaligus, pikiran dan perasaan itu juga yang melemahkan semangatku untuk mendaftar lagi menjadi calon anggota KPU Kota Makassar 2008-2013 beberapa bulan kemudian. Peruntungan yang akan saya kejar dan raih pada proses itu, tentu saja, tidak mungkin akan kelihatan terang, laiknya sebuah hasil analisis. Peruntungan itu akan tetap gelap dan tidak mungkin diketahui atau diprediksi. Ketika datang, ia bisa putih atau hitam.

Saya tidak mengerti, kenapa beberapa bulan kemudian setelah gagal masuk ke peringkat Lima Besar calon anggota KPU Sulsel 2008-2013, saya melihat prestasi tembus ke 10 Besar dan kans yang kuat untuk masuk Lima Besar adalah sebuah kekuatan dari kompetensi, pengalaman, integritas, dan kapasitas yang saya miliki. Akibatnya, saya mencibir dan bersikap dingin ketika saya mendapatkan saran agar saya mendaftar lagi di KPU Kota Makassar untuk periode berikutnya. Setiap mendapat saran atau masukan tersebut, saya katakan bahwa saya ini terbukti pantas menjadi KPU Sulsel. Bukan lagi KPU kabupaten/kota. Sementara, yang mereka sarankan itu adalah level KPU level kabupaten/kota.

Beberapa sudut pandang bisa membenarkan alasan saya itu. Seperti, salah satunya adalah alasan di atas bahwa saya lolos sampai masuk peringkat 10 Besar dan sekaligus berpeluang besar masuk ke peringkat Lima Besar calon terpilih. Saya sendiri yang membuat pengandaian untuk menguatkan alasan itu. Beberapa peserta yang ikut tes tertulis adalah anggota KPU kabupaten/kota seperti saya dan satu orang adalah anggota KPU Sulsel yang masih menjabat. Mereka gagal masuk ke 20 Besar. Itu berarti, mereka mungkin hanya pantas untuk menjadi anggota KPU kabupaten/kota. Sebagian mereka yang tidak lolos itu, akhirnya terpilih kembali terpilih menjadi anggota KPU kabupaten/kota untuk periode selanjutnya. Mereka tidak menemui kegagalan pada proses rekruitmen di daerahnya masing-masing. Mereka hanya gagal pada seleksi di KPU Propinsi Sulawsesi Selatan, tetapi berhasil di daerahnya masing-masing.

Seleksi tahap selanjutnya menuju peringkat 10 Besar juga menguatkan alasan kepatutan saya agar tidak mendaftar lagi di KPU Kota Makassar. Andaikan saya gagal tembus ke peringkat 10 Besar, saya tentu yakin bahwa saya betul-betul hanya layak menjadi anggota KPU kota/kabupaten, termasuk menjadi anggota KPU Kota Makassar. Kenyataannya, SMS Rachmat Noer mengatakan bahwa saya lolos ke peringkat 10 Besar. Ada anggota KPU Sulsel dan anggota KPU kabupaten/kota gagal masuk ke Peringkat 10 Besar ketika itu. Waktu itu, saya betul-betul merasakan kebanggaan atas prestasi itu. Prestasi itu pula yang kerap mencegah saya untuk berpikir melangkah surut. Saya berpikir bahwa kalau pun nantinya saya tidak masuk ke peringkat Lima Besar calon terpilih, saya tidak boleh mendaftar kembali di KPU Kota Makassar. Setelah itu, saya memang berhasil membuang jauh-jauh pikiran untuk kembali mendaftar kembali di KPU Kota Makassar.

Akhirnya, segalanya menjadi ironis. Saya sendiri meyakini bahwa prestasi itu tidak lebih dari sebuah hadiah undian. Prestasi itu sendiri adalah keberuntungan, bukan hasil dari sebuah perjuangan. Kalau pun saya berjuang, prestasi itu bukan karena perjuanganku. Proses itu hanyalah sebuah hasil undian. Tenri Palallo, empat tahun menjadi anggota KPU Kota Makassar dan delapan bulan menjadi anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan, tidak lolos. Agustina yang pernah menjadi anggota Panwas Pemilu 2004 dan Panwas Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan 2007, juga tidak lolos. Kedua orang itu tidak lolos ketika mereka berkali-kali mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak atas kinerja dan integritasnya dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Mereka tidak beruntung. Mungkin mereka sial.

Bandingkan dengan Lomba Sultan dan Syamsir, atau Jayadi Nas yang telah saya kemukakan pada bagian awal. Sebelum mendaftar, Lomba adalah dosen Syariah IAIN/UIN Alauddin dan sedang menjabat dekan Fakultas Syariah. Hingga beberapa minggu sebelum pendaftaran calon anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan dibuka, ia belum pernah mengkhayal tentang pemilihan umum atau dirinya menjadi anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Saya juga tidak pernah mendengar ia pernah menjadi peserta atau pemateri pada seminar atau diskusi tentang ikhwal pemilihan umum. Ia juga tidak pernah menjadi penyelenggara pemilu seperti petugas PPK, PPS, KPPS, Panwas dan sebagainya. Lomba betul-betul berangkat dari titik nol. Hal yang sama juga saya temukan pada diri Syamsir, peserta dosen Universitas Muhammadiyah Makassar.

Jayadi Nas adalah cerita yang berbeda. Saya pernah beberapa kali melihat Jayadi berbicara tentang politik dan pemilihan umum karena memang latar belakangnya adalah dosen ilmu pemerintahan dan mengajar di Universitas Hasanuddin Makassar. Ketika baru saja pulang menggondol gelar doktornya dari Univeristas Indonesia Jakarta, ia mendaftar sebagai calon anggota Panwas Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan 2007. Ketika itu, ia gagal. Menurut HM Darwis, mantan anggota KPU Sulsel 2003-2008, berdasarkan informasi yang ia peroleh dari Ismarli Muis (psikolog UNM yang menyelenggarakan psikotes untuk rekruitmen panwas ketika itu), faktor utama kegagalan Jayadi Nas ketika itu adalah ditemukannnya kepribadian ganda pada dirinya. Meski demikian, Jayadi Nas lolos pada seleksi calon KPU Propinsi Sulawesi Selatan 2008-2013.

Nasib kelima orang ini, dua orang berpengalaman dan berbekal wawasan dan kompetensi kepemiluan tidak lolos, dua lagi yang tidak pernah menghayal tentang pemilihan umum namun lolos, dan satu lagi yang divonis berkepribadian ganda dan juga lolos, telah menggiring saya ke dua pilihan yang cukup dilematis. Apakah saya lolos ke peringkat 10 Besar karena kompetensi dan pengalaman kepemiluan saya atau bukan? Jika betul karena itu, mengapa Tenri dan Agustini tidak lolos? Saya betul-betul bersyukur dengan pertanyaan itu. Saya lolos bukan karena kompetensi. Saya lolos melalui cara seleksi yang paling gampang, yakni like and dislike tim seleksi. Saya menyebut hasil dari cara seleksi seperti ini sebagai keberuntugan. Keberuntungan bukanlah sebuah prestasi. Pada akhirnya, saya kerap meminta agar apa yang saya alami ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa, melainkan hanyalah keberuntungan belaka seperti yang diperoleh Lomba Sultan, Syamsir, dan Jayadi Nas. Seleksi tersebut adalah uji keberuntungan, seperti sebuah perjudian.

Berkat pertimbangan yang terakhir tersebut di atas, saya pernah mengubur niatku untuk mendaftar lagi di KPU Kota Makassar. Jika kemudian saya sukses terpilih kembali, saya tidak ingin karena keberuntungan. Demikian pula, ketika saya gagal, saya tidak ingin gagal karena sial, melainkan karena memang saya tidak patut menjadi anggota KPU Kota Makassar. Entah bisikan dari mana, akhirnya saya berubah orientasi lagi. Saya memutuskan untuk mendaftar lagi. Resikonya adalah harus melewati proses seleksi yang tidak dijamin kejujuran dan profesionalitasnya. Artinya, saya akan menghadapi proses yang sangat berpeluang menghacurkan reputasi saya yang pernah lolos ke 10 besar pada seleksi calon anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Segaligus juga menghacurkan reputasi yang telah saya ukir selama lima tahun lebih menjadi anggota KPU Kota Makassar. Kata teman-teman, saya rela untuk dipermalukan.

Saya pun akhirnya menyetujui permintaan dan pertimbangan beberapa kawan dan pihak agar saya mendaftar lagi di KPU Makassar untuk periode selanjutnya. Saya memulai dengan asumsi dasar bahwa seleksi ini adalah serupa dengan cara-cara seleksi beberapa bulan silam pada seleksi calon anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan 2008-2013. Intinya, lagi-lagi keberuntungan yang menentukan. Saya dan Pahir yang juga mendaftar kembali, punya peluang untuk dijahili alias bisa ketibang sial. Saya tahu waktu itu, saya kembali akan memasuki arena pertarungan yang tidak memberi jaminan kejujuran. Karena itu pula, saya tetap berpeluang juga untuk dipecundangi oleh ketidak-jujuran tim seleksi maupun anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Saya yakin dan tahu tentang itu. Tetapi, saya juga harus meneruskan pendaftaran ini karena langkah saya untuk mendaftar bukan ambisi pribadi saya.
Selengkapnya >>

Dari Seleksi Wawancara Calon Anggota KPU Makassar

Jumat, 05-12-2008
Berkeringat di Ruangan Ber-AC

Seleksi wawancara calon anggota KPU Kota Makassar, di Balaikota, Kamis (4/12) kemarin, berlangsung ketat dan alot. Peserta mengakui, standar yang dipakai tim kali ini terhitung berat dan butuh konsentrasi besar untuk melaluinya.

Bagaimana tidak, setiap peserta paling minimal berada di dalam ruangan dan diuji oleh lima tim seleksi selama satu jam. Akibatnya, seleksi yang dimulai pukul 09.00 Wita itu, baru berakhir pada malam hari, sekitar pukul 20.00 Wita, tadi malam. ''Berat, tetapi kita tetap optimis. Saya pikir, konsentrasi memegang peranan penting,'' kata salah seorang peserta seleksi, Izdin Idrus, ketika ditemui usai melakukan wawancara. Izzdin mengaku, meski ruangannya berpendingin, tetapi para peserta rata-rata berkeringat ketika keluar ruangan karena stres.

Dalam pantauan BKM, tim seleksi yang terdiri dari Prof DR Sadli, AD, MPA, Drs. H. Latief Yusuf, Mustawa Nur, SH, MH, Prof. DR. Hambali dan DR. Nasrullah, memang menerapkan standar ketat dalam seleksi ini. Kelimanya terlihat ingin mendapatkan 10 besar anggota KPU Makassar yang memang benar-benar mampu untuk menjalankan tugas sebagai penyenggara pemilu. Pertanyaan-pertanyaan yang diujikan pun sebagian besar mengenai pelaksanaan pemilu.

Ada 10 calon anggota KPU Kota Makassar yang diseleksi pada hari pertama, kemarin. Ke-10 orang itu adalah Andi Dirganhayu Lantara, Abdul Rauf Suddin, Abdillah Mustari, Ahmad Namsum, Akbar M Kurusi, Andi Fadli, Armin, Danial, M Izzdin Idrus dan Maqbul Halim.

10 calon sisanya, baru akan diseleksi pada, Jumat (5/12) hari ini. Mereka adalah Mastur Muin, Misnah, Mukti Malik, Nasruddin, Novandy Imam, Nurmal, Pahir Halim, Pantja Nurawahidin, Sakka Pati dan Sattu Dassi.

10 terbaik dari 20 peserta ini akan lolos ke seleksi akhir yang dilakukan oleh KPU Sulsel. Tim seleksi sendiri langsung akan melakukan pleno untuk menentukan 10 besar itu, pada Jumat (5/12) hari ini. Rencananya, KPU Sulsel akan menetapkan lima anggota KPU Makassar terpilih pada tanggal 22 Desember 2008 mendatang dan kemudian melantiknya pada tanggal 24 Desember 2008. (Warta Saleh Hidayat )

Sumber: Harian Berita Kota Makassar edisi 5 Desember 2008
http://www.beritakotamakassar.com/view.php?id=22334&jenis=Politik
Akses tanggal 6 Desember 2008
Selengkapnya >>

Calon Komisioner Dicecar soal UU Pemilu

(05 Dec 2008, 12 x , Komentar)

MAKASSAR -- Tes wawancara bagi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar yang berlangsung Kamis, 4 Desember, diikuti sepuluh calon, masing-masing, A Dirgahayu Lantara, Abd Rauf Sudding, Abdillah mustari, Ahmad Namsum, Akbar M Kurusi, Andi Fadli, Armin, Danial, M Izzdin Idrus, dan Maqbul Halim.Dalam tes yang digelar di Sekretariat Pansel KPU Kota Makassar Balaikota Jl Ahmad Yani tersebut, setiap calon dicecar pertanyaan seputar undang-undang, juga aturan-aturan mengenai pemilu.

Salah seorang calon, Dirgahayu Lantara yang ditemui kemarin mengungkapkan, selama satu jam sepuluh menit, dirinya dicecar dengan pertanyaan seputar undang-undang, hukum, serta masalah-masalah pemerintahan.

Sekretaris KPU Kota Makassar yang juga Sekretaris Panitia Seleksi (Pansel), Sabaruddin, kemarin mengungkap, para bakal calon (balon) anggota KPU tersebut, diwawancarai lima pansel, yakni, Nasrullah, Prof Sadli, Mustawa Nur, Prof Hambali, dan Muh Latief Yusuf. Menurutnya, materi pertanyaan pansel sesuai dengan kepakaran masing-masing.

Sabaruddin mengatakan, tes wawancara tersebut akan digelar selama dua hari, setiap hari pansel mewawancarai masing-masing sepuluh balon. Menurut Sabaruddin, dalam wawancara, pansel tidak berdasarkan nomor urut, melainkan secara acak. Pantauan Fajar kemarin, beberapa calon di luar ruang wawancara, tampak sedikit tegang menanti giliran. Itu tergambar dari wajah mereka.

Pada tes hari kedua, sepuluh calon kembali akan diuji wawasannya, masing-masing, Mastur Muin, Misnah, Mukti Malik, Nasruddin, Novandy Imam, Nurmal, Pahir Halim, Pantja Nurwahidin, Sakka Pati, dan Sattu Dassi. (asw)

Sumber: Harian Fajar edisi 5 Desember 2008
http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=81079
Akses tanggal 6 Desember 2008
Selengkapnya >>

Jumat, 05 Desember 2008

Maqbul Halim ke KPU Makassar Lagi? (3)

Makassar, 05/12/08

Meskipun ada pertimbangan atau pemikiran lain dari saya, tetapi saya masih ada sedikit keyakinan bahwa harapan mereka agar saya melanjutkan kiprah di KPU Makassar adalah sesuatu yang ikhlas. Hal ini cukup kontroversial karena sebelumnya saya sudah memutuskan bahwa dukungan dan harapan mereka tidak menjadi alasan atau motivasi untuk urusan ini. Tapi, mari kita memilih pengandaian lain, bahwa mereka betul-betul bisa dipercaya ihklas menyatakan harapannya.

Saya juga tahu, sebagian besar dari mereka hanya mungkin bermodalkan doa, atau harapan dari hati yang paling dalam. Di antara mereka, hanya sedikit yang saya percaya bisa berbuat dan memberi pengaruh terhadap jalannya proses seleksi yang akan ditentukan hasilnya pada malam ini oleh Tim Seleksi.

Bagi saya, sulit untuk melihat adanya kaitan yang saling berpengaruh antara harapan mereka dan pertimbangan-pertimbangan tim seleksi. Apakah harapan mereka itu, seperti Sabaruddin, Yusuf Pani, Anwar, Suwarno, Syamsu Rizal MI, Dharmawangsyah, dan lain-lain dapat meluncur hingga menembus draft keputusan Tim Seleksi? Atau sebaliknya, dari sisi sebaliknya pada Tim Seleksi: Dr. Nasrullah, Profesor Sadly AD, Hambali Thalib, Jusuf Latief, Mustawa Nur punya kemampuan untuk mengenali harapan-harapan yang terlanjut berkomit tentang saya? Entah jika merujuk pada masa silam, bisa dari dua pihak ini pernah terjadi adalah saling berhubungan kepentingan. Namun, hubungan itu belum tentu bisa berdampak terhadap pengambilan keputusan oleh Tim Seleksi.

Dengan demikian, saya memutuskan bahwa harapan-harapan yang ada mengenai saya di KPU Makassar, tidak cukup efektif untuk menjadi petunjuk bagi Tim Seleksi. Bukankah Tim Seleksi juga tidak mempunyai jalan atau instrumen untuk mendapatkan informasi mengenai harapan-harapan itu! Oleh karena itu, berbekal doa atau harapan untuk kesuksesan saya mengikuti seleksi ini akhirnya menjadi sesuatu yang lucu. Sebab, mereka yang mendeklarasikan harapannya pada saya, juga belum tentu rela menawarkan informasi yang bisa menjadi petunjuk bagi Tim Seleksi.

Apa yang baik bagi pendapat publik, keinginan bebarapa orang, atau mereka yang berkepentingan, terhadap pilihan-pilihan yang ada bagi tim Seleksi, belum tentu adalah sebuah norma penilaian bagi Tim Seleksi. Tim Seleksi bisa saja independen dari pendapat publik itu ketika mengambil keputusan untuk peringkat 10 Besar calon anggota KPU Kota Makassar. Saya selalu berprinsip, segalanya bisa terjadi. Tak ada jaminan terhadap apa pun.

Tiadanya kesaling-kaitan antara pihak pembuat harapan dan pihak penjawab harapan, rupanya tidak mengurungkan niatku untuk mengajukan diri lagi sebagai calon anggota KPU Kota Makassar 2009-2014. Saya ternyata tetap mendaftarkan diri. Sebuah tindakan yang tidak disebabkan.
Selengkapnya >>

Rabu, 03 Desember 2008

Maqbul Halim ke KPU Makassar Lagi? (2)

Makassar, 03/12/08

Saya membubuhkan tanda tangan pada setiap jenis formulir yang ada di hadapanku, pada siang 3 Nopember 2008 itu. Hati kecilku ketawa. Ketika saya membubuhkan tanda tangan itu, berarti saya telah mendustai diriku secara sadar dan sempurna. Itu berarti juga saya mendustai orang-orang yang telah mendengar sendiri pengakuanku bahwa saya tidak akan mendaftar lagi di KPU Kota Makassar.

Kelihatannya, saya memang sangat lucu. Tangan saya bergerak lincah menggoreskan tintah di atas setiap tempelan materai Rp 6 ribu yang melekat di atas tulisan namaku pada formulir-formulir pendaftaran itu. Saya bertanda tangan seperti tidak ada masalah sebelumnya. Dari cara bertanda-tangan seperti itu, seakan-akan ini adalah keputusan yang menggembirakan, atau keputusan yang tidak memerlukan perdebatan sebelumnya.

Anca Darmawangsyah (anggota PPK Kec. Rappocini) dan Jus (satu-satunya anggota PPK Kec. Ujung Tanah), duduk di depan meja kerja menunggu kepastian, apakah saya betul-betul sudah bertanda-tangan dengan benar pada formulir pendaftaran. Anca telah menyusun dan melengkapi formulir saya, sehingga siap untuk diserahkan kepada panitia pendaftaran pada hari itu.

Pada sisi lain, saya meyakini suatu hal. Saya mendapatkan nasihat terus menerus sehingga saya kehilangan alasan untuk hanya memikirkan kepentinganku sendiri. Anwar Wahab, senior saya di Jurusan Komunikasi Unhas, kerap menuding saya terlalu mementingkan diri sehingga merasa tidak penting untuk mendaftar lagi di KPU Kota Makassar. Beberapa kawan dan sahabat saya lainnya juga menudingku bersikap terlalu mementingkan diri, tanpa mempertimbangkan bahwa mejadi anggota KPU Kota Makassar juga sekaligus menjadi kepentingan banyak orang. Saya tidak tahu, apa yang ia maksudkan dengan itu, yakni kepentingan banyak orang!

Itulah yang saya yakini, bahwa meskipun saya ternyata mendaftar menjadi calon anggota KPU Kota Makassar, tetap saja saya memiliki pijakan motivasi. Setiap orang menyarankan gagasan yang berbeda, tetapi maksudnya tetap sama: saya jauh lebih baik bila mendaftar kembali menjadi calon anggota KPU Kota Makassar. Apalagi, kata Suwarno Sudirman, senior dan alumni Pertanian Unhas tahun 80-an, saya tidak mempunyai agenda besar atau agenda lain yang bakal menghalangi niatku mendaftar kembali. Ia pernah menanyakan hal itu secara tidak langsung. Saya menjawab, bahwa saya tentu saja tidak punya agenda khusus sehingga saya beralasan akan lebih baik mencari kegiatan lain selain di KPU Kota Makassar.

Saya juga kadang berpikir, apa yang mereka pikirkan tentang kepentingannya bila saja saya terpilih menjadi anggota KPU Kota Makassar? Mereka yang kusebutkan tadi, tentu berbeda dengan saran-saran yang telah diberikan oleh para staff sekretariat di KPU Kota Makassar. Mereka, seperti Anwar atau Suwarno itu, sebenarnya menuntut saya agar tidak mementingkan diri. Akan tetapi, mereka itu juga tidak sadar bahwa desakan yang terus-menerus dari mereka adalah juga sikap yang mementingkan diri yang tidak memikirkan kepentingan saya. Bisa jadi, mereka berharap saya akan menjadi juniornya yang bisa dibanggakan bila kembali lagi menjadi anggota KPU Kota Makassar. Semoga hanya itu saja kepentingan mereka terhadap pendaftaran saya.

Kawanan staf sekretariat setali tiga uang dengan mereka. Saya telah mengetahui, mereka mungkin telah mengoleksi berbagai pengalaman tentang bagaimana kami berlima bekerja, termasuk Pak Andi Dirga yang bergabung dengan kami di akhir periode. Saya salah satu di antara lima orang tersebut, dan Pahir Halim, yang sangat direkomendasikan untuk mendaftar kembali. Alasan mereka cukup sederhana. Mereka tidak begitu yakin jika semua orang baru, sementara tidak ada komisioner lama yang tinggal. Yusuf Pani sebagai contoh, Kasubag Umum KPU Kota Makassar, mengaku lebih senang bila Pahir Halim dan saya tetap bertahan di KPU Makassar. Ketika saya tanyakan alasannya, Yusuf mengatakan bahwa ia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bisa bekerja secara tim dengan orang baru.

Bagi saya, alasan itu hanyalah kekhawatiran saja. Saya ingat pada lima tahun silam. Saya tiba di KPU Kota Makassar bersama empat anggota komisi lainnya yang juga baru. Kami hadir sebagai orang baru, dan juga mereka yang bekerja sebagai staf sekretariat juga adalah orang baru bagi kami. Akhirnya dalam waktu tidak sampai setahun kemudian, yaitu 2004, mereka dan kami ternyata bisa saling beradaptasi. Kami berlima sebagai anggota memang tidak memerlukan cara khusus karena memang merekalah yang harus aktif beradaptasi.

Pola hubungan anggota terhadap staf sekretariat memang kelihatan partiarkal. Meski demikian, kami berlima pada saat itu berusaha menghindarkan diri agar tidak larut pada pola hubungan itu. Setiap hari saya merasakan adanya sikap yang berlebihan dari mereka sebagai staf yang melayani pekerjaan anggota, dan sekaligus dimana saya dan teman yang lain diperlakukan sebagai atasan yang harus dilayani pekerjaannya. Sampai beberapa waktu kemudian, kami mampu meninggalkan pola itu, dan secara perlahan mereka tidak lagi dibebani dengan sikap sebagai yang harus diperagakan oleh ajudan terhadap bupati atau walikotanya.

Kata, Sabaruddin (sekretaris KPU Kota Makassar), dirinya tidak bisa berbuat banyak kalau saya meninggalkan KPU Kota Makassar. Ia mengatakan seperti itu juga kepada Pahir Halim. Saya percaya saja karena memang dia tidak cukup kompetensi dan kapasitasnya untuk menjalankan tugas sebagai pemimpin kantor sekretariat. Karena itu, saya justru berpikir sebaliknya ketika Sabaruddin mengajak saya untuk tetap bertahan di KPU Makassar. Saya berpikir bahwa keterbatasannya akan tertutupi dengan kehadiran saya dan Pahir. Mungkin saja Sabaruddin tidak perlu lagi bekerja keras sebagai sekretaris berkat kehadiran kami kembali.

Sampai saat ini, saya sendiri masih ragu tentang harapan Sabaruddin atau Yusuf Pani itu. Saya selalu bertanya pada diriku sendiri, benarkah harapan mereka wajar menjadi motivasi bagi saya untuk mendaftar lagi? Kalau itu masalahnya, tentu ini sangat sederhana. Dan, bisa saja juga menyebabkan keputusan saya untuk mendaftar lagi adalah hal yang sederhana pula.

Sakka Pati, seorang kolega dari Panwas Kota Makassar untuk Pemilukada Kota Makassar 2008, juga pernah memberiku semangat. Ia mengaku bahwa dirinya akan ikut bertarung dalam pencalonan bila ada jaminan bahwa saya memang akan mendaftarkan diri. Ia mengatakan bahwa energinya untuk mempersiapkan diri, ditentukan oleh komitmen saya untuk mendaftar juga. Ia sampaikan itu ketika usai berlangsung Debat Calon Walikota dan Wakili Walikota di Clarion Hotel Makassar, 25 Oktober 2008. Hingga saya berpisah dengannya, saya tidak memberi tanggapan yang memuaskan baginya. Apa yang mestinya menjadi tanggapan saya saat itu, betul-betul tidak ada. Setelah pertemuan itu, saya tak pernah lagi mendapatkan hubungan telepon dari Sakka Pati.

Ria Azharia Harun, istri saya, menyerahkan sepenuhnya pengambilan keputusan kepada saya. Saya berkonsultasi dengannya mengenai rencana mendaftar di KPU Provinsi Sulsel di awal Februari lalu. Ia memberi tanggapan berupa pertanyaan, apakah saya betul-betul punya peluang. Waktu itu saya jawab bahwa inilah peluang saya dan saya betul-betul sudah siap. Ketika itu, saya berpikir bahwa peluang tidak datang dua kali, dan hanya mampir pada orang yang siap dengan kesempatan itu. Ria beranggapan, adalah lebih baik memikirkan yang lain jika memang pendaftaran di KPU Sulsel itu bukan peluang saya. Apa yang dipikirkan Ria waktu itu, betul-betul membuat saya semakin terpacu untuk menembus persaingan itu.

Ternyata kemudian, Ria yang benar: saya gagal. Ia sebenarnya mungkin ingin bercerita tentang itu lagi ketika saya berdiskusi mengenai rencana pendaftaran saya di KPU Makassar. Tetapi, saya mendahului dengan mengakui keunggulan nasihatnya pada saya ketika itu. Ia pun urung mendebat rencana saya. Kami mengakhiri diskusi dengan bersama-sama membangun persiapan saya meninggalkan KPU Kota Makassar begitu bulan berjalan menginjak pertengahan Desember 2008. Ia juga tidak menyesalkan bila memutuskan untuk meninggalkan KPU Kota Makassar. Ia memang tidak senang keputusan yang ia juga dukung ini, karena secara finansial, status keanggotaan saya di KPU Kota Makassar akan sangat membantu melewati hari-hari berikutnya pada rumah tangga kami. Saya bangga, karena Ria memikirkan yang jauh lebih besar dari itu: apalah arti menjadi anggota KPU Kota Makassar kalau hanya memberi kepuasa finansial belaka. Ucapan Ria itulah menguatkan hati dan semangat untuk meninggalkan KPU Kota Makassar. Andaikan bisa selekas mungkin, juga pasti lebih baik.

Saya memang pada akhirnya mendaftarkan diri juga. Motivasi, nasihat, dan gagasan dari kawan-kawan tetap tidak mampu membuatku percaya bahwa itulah sebabnya sehingga saya merasa penting untuk mendaftar kembali menjadi calon anggota KPU Kota Makassar 2009-2014. Saya akan tetap mengingat semua itu, tapi bukan sebagai alasan pembenar bagi keputusanku membubuhkan tanda tangan di formulir pendaftaran. Saya membiarkan pendaftaran saya itu melaju tanpa alasan, tidak jelas berasal dari mana. Saya melupakan apapun dan siapa pun.
Selengkapnya >>

Selasa, 02 Desember 2008

Kisah Trio Bom Bali dari Majalah SABILI

Assalamu alaikum

Saya share dari mailing list tetangga...
Mungkin berguna untuk melihat kematian dari sebuah perspektif

Wassalam,
Yani


Kejaksaan Agung bakal mengeksekusi trio terpidana bom Bali I akhir Ramadhan nanti. Ketiganya kini tinggal menunggu hari, kala sang maut tiba. Akankah eksekusi mengakhiri segala misteri?

Alhamdulillah, di Sabtu siang yang cerah itu, (30/8), saya berkesempatan menjenguk trio 'pelaku' bom Bali I di Nusakambangan, juga sempat berbicara empat mata dengan tiap orang dari ketiganya. Saya berhasil masuk ke dalam Lapas Klas I Batu Nusakambangan dan bertemu mereka dengan mengaku sebagai sepupu Imam Samudera yang datang dari Jawa Timur. Tentu saja semua ini karena pertolongan Allah jua, dan atas kebaikan hati seseorang yang mau mengizinkan saya ikut dalam rombongannya.

Liputan tentang kunjungan TPM (Tim Pengacara Muslim) dan keluarga 'bomber' itu memang luarbiasa besarnya. Puluhan jurnalis dari berbagai media tumpah ruah di Dermaga Wijayapura, pintu masuk menuju Nusakambangan. Tampak hadir pula, sesosok jurnalis kawakan dari Metro TV yang sering saya temui ketika liputan di beberapa daerah bencana dan konflik, Desi Fitriani.

Entahlah, saya sudah lupa berapa kali bertemu dengan wartawan yang satu ini, mulai di Aceh, Yogyakarta, Jawa Timur hingga Poso. Namun, kami tidak pernah bertegur sapa, karena memang tidak saling kenal. Yang saya heran, ketika para wartawan lain, sibuk mengambil gambar atau wawancara dengan TPM maupun para keluarga ketiga terpidana, si Desi malah kelihatan santai saja. Tidak terlihat kesibukan yang mencolok dari sikapnya sebagai seorang wartawan jagoan. Tentu saja hal ini mengundang tanya di benak saya. Ada apa dengan (mu) Desi?

Ternyata semua ini bermuara pada satu hal, yaitu, liputan ekslusif Metro TV dalam Lapas ketika trio bomber bertemu para keluarga. Kebetulan beberapa kali, gambar saya dengan Amrozi maupun dengan Imam Samudera terekam jelas dalam sorotan ekslusif itu. Ketika Imam Samudera membacakan surat wasiat di depan saya juga terekam jelas, -dan kebetulan memang surat itu dititipkan lewat saya untuk disampaikan kepada kaum muslimin..

Saya salut dengan teman-teman Metro yang berhasil masuk Lapas dan lolos dari pemeriksaan ketat aparat keamanan, baik ketika masih Dermaga Wijayapura maupun ketika masuk ruang Lapas Batu. Sekali lagi salut, dan acungan dua jempol buat mereka. Padahal saya sendiri telah berupaya semaksimal mungkin menyelundupkan kamera atau alat perekam, tetap saja tidak berhasil.

Ternyata itulah jawaban atas 'kesantaian' seorang Desi di Wijayapura, karena memang ia telah punya 'orang' di dalam Lapas. Walau ia menyiarkan Live di dermaga, tetap saja Metro menayangkan "Desi laporan langsung dari Lapas Nusakambangan". Padahal Wijayapura beda dengan Nusakambangan. Keduanya dipisahkan selat kecil yang menghubungkan kedua tempat tersebut. Letak Lapas sendiri masih jauh dari pintu masuk Nusakambangan, yaitu Dermaga Nusakambangan.

Begitu kapal fery Pengayoman II berlabuh di Dermaga Nusakambangan, kami tidak serta-merta melanjutkan perjalanan ke Lapas, karena masih menunggu keluarga lain yang belum terangkut. Maklum, kapal kecil itu tak mampu memuat semua penjenguk yang berkendara dalam sembilan mobil. Waktu menunggu ini digunakan istirahat oleh anggota TPM maupun keluarga yang telah menyeberang. Ada yang merekam area dermaga dengan handycam, ada juga anggota keluarga yang berfoto di sekitar pulau penjara yang konon paling seram se-Indonesia itu.

Di kawasan dermaga kecil ini memang masih diizinkan membawa dan menggunakan kamera atau handycam. Hanya terdapat sebuah pos pemeriksaan kecil di bibir dermaga dan beberapa warung penjual aneka makanan dan minuman yang terletak beberapa meter di belakangnya. Sebuah tugu 'proklamasi' setinggi kurang-lebih sepuluh meter bertuliskan Nusakambangan tegak menjulang di depan pebukitan yang mengitari pulau. Tugu ini menjadi tempat pavorit para pembezuk untuk melakukan foto bersama atau merekam diri lewat handycam.

Tak sampai dua puluh menit, rombongan kedua yang dijemput kembali oleh Pengayoman II pun tiba. Tanpa perlu menunggu lama, ketika semua rombongan telah lengkap, iring-iringan mobil lantas berarak menuju Lapas yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari Dermaga Nusakambangan. Laju kendaraan dengan kecepatan sedang membelah aspal mulus Nusakambangan di siang menjelang Zuhur itu. Baru beberapa putaran roda mobil berjalan, rombongan dicegat dua polisi yang berjaga di sebuah pos kecil di pinggir jalan. Mereka meminta salah seorang perwakilan pembezuk turun dan meminta daftar nama seluruh anggota rombongan. Hati saya sempat deg-degan, walau berhasil lolos pemeriksaan di pintu Wijayapura, saya agak ragu dapat lolos dalam pemeriksaan polisi kali ini.

Tak mau berpusing-pusing, Koordinator TPM Achmad Michdan segera turun mobil dan melakukan negosiasi dengan petugas tersebut. Namun, mereka tetap ngotot meminta daftar rombongan. Michdan pun memanggil salah seorang anak buahnya yang memang membawa daftar itu dan menyerahkannya. Setelah melihat-lihat ke dalam tiap mobil, Pak Polisi itu pun mengizinkan kami melanjutkan perjalanan. Alhamdulillah, kali ini lolos lagi.

Gerbang Wijayapura merupakan tempat masuk yang cukup ketat. Selain memeriksa daftar nama para pembezuk, petugas Lapas juga menatap tajam ke setiap anggota rombongan. Kebetulan nama saya yang tercetak dalam daftar itu memang bukan dalam cetakan resmi yang disetujui Kejagung, namun berupa coretan biasa saja. Saya menggantikan salah seorang keluarga Imam Samudera yang tak turut serta karena sakit. Jadi, namanya dicoret diganti nama saya.

Begitu tiba di depan bangunan Lapas Batu, beberapa petugas menyambut rombongan. Sebuah papan berwarna putih bertuliskan "Departemen Hukum dan HAM RI Kantor Wilayah Jawa Tengah Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan No. Telp/Fax (0282) 542XXX" yang berdiri kokoh di sebelah kiri pintu masuk, seolah-olah turut serta menyambut pengunjung. Tampak pula beberapa orang yang mirip intel berada di lokasi. Bahkan salah seorang bertampang intel itu dengan leluasa merekam segala gerak-gerik pembezuk yang baru turun dari kendaraan maupun ketika berada dalam ruang depan Lapas. Rekaman orang inilah yang sebagian muncul dalam liputan langsung dan ekslusif Desi Fitriani dari Lapas Batu.

Ketika saya menanyakan salah seorang anggota TPM, siapa orang yang merekam dengan kamera mirip wartawan itu? Ia menjawab, orang itu adalah intel Densus 88. Darimana ia tahu? Jawabnya, sudah berulangkali dia menemui yang bersangkutan setiap datang ke Lapas Batu. Dan kebetulan, kata anggota TPM ini, komandan yang bersangkutan kenal juga dengan Achmad Michdan. Oh, jadi begitu ceritanya. Michdan juga tak menampik status orang itu. "Yang penting, ia tidak boleh merekam pertemuan dengan Amrozi nanti," ujarnya. Namun, tetap saja rekaman pertemuan keluarga itu lolos dan disiarkan Metro TV. Makanya, saya salut atas keberhasilan mereka menembus rintangan yang demikian ketat, hanya demi sebuah gambar bergerak.

Begitu masuk ke dalam bangunan Lapas, petugas melakukan absensi. Setiap orang yang dipanggil harus menghadap untuk dilakukan pemeriksaan. Kali ini rasa deg-degan kembali menggeranyangi. Saya hanya berdoa berulang-ulang, "Ya Allah mudahkanlah. Jangan Kau persulit." Setelah turun anak tangga dan melewati pintu jeruji besi, si petugas dengan seksama menatap raut wajah saya, mencocokkan dengan daftar nama yang dibawanya. Setelah yakin bahwa nama saya tercantum -walau hanya berupa coretan-, saya diizinkan masuk.. Begitu lega rasanya di dada. Namun ternyata, pemeriksaan itu bukanlah yang terakhir. Setelah memasuki sebuah pintu besi yang merupakan pintu utama ruang Lapas, pemeriksaan kembali terjadi.

Di sini, semua yang berbau metal, alat komunikasi, kamera, maupun handycam harus dititipkan. Setelah menyerahkan semua itu ke petugas, setiap orang diperiksa kembali dengan metal detector, dan pemeriksaan badan. Setelah lolos scanning, barulah yang bersangkutan diizinkan masuk. Alhamdulillah, pemeriksaan terakhir ini juga saya lolos. Saya pun dapat bergabung dengan para pembezuk lain yang sebagian telah menunggu di ruangan berukuran sekitar 5 x 7 meter. Sebagian ruangan ini ditutupi tembok kaca yang tembus pandang. Dua buah tiang penyangga berdiri kokoh di tengah-tengah. Sebuah kipas angin putar ukuran sedang bertengger pada tiang kedua dari pintu masuk. Di ruangan inilah para pembezuk menunggu dengan sabar kedatangan keluarga tercinta mereka, yang sebentar lagi dijemput ajal.

Suhu udara di terik hari itu terasa kian panas dalam ruang yang disesaki enam puluhan orang lebih. Kipas angin yang terus berputar pelan tak mampu meredam sumuk yang dirasakan pembezuk. Dari dinding kaca tembus pandang yang terletak di sebelah kiri, tampak lapangan sepak bola berukuran mini. Di belakang dan samping lapangan terdapat bangunan yang mirip rumah-rumah petak yang dikontrakkan pemiliknya. Konon cerita, di dalam kamar-kamar petak itulah para terpidana menikmati sisa hidupnya, dalam kesendirian dan keterasingan. Wuih....puitis amat.

Suasana siang itu tampak sepi. Tak seorang pun Napi yang terlihat lewat atau berjalan. Penasaran rasanya ingin melihat seperti apakah manusia-manusia 'buas' yang dikurung di kawasan penjara yang telah ada sejak zaman Belanda ini? Hampir sepuluh menit menatap kehampaan, akhirnya lewat dua orang Napi. Sayang, gambaran kedua orang itu tak seperti bayangan saya tentang Napi Nusakambangan; besar, berotot, brewokan dan sangar. Salah satu orang itu kurus tinggi -mirip gambaran Habe Arifin, sory lho Cak, gak nuduh sampeyan Napi, he...he- dengan kumis tipis di bibirnya. Satunya lagi, pendek, kecil dan terlihat culun –sama seperti saya mungkin, yang kecil dan pendek. Sempat ragu juga, apakah benar mereka Napi kelas berat hingga harus di-Nusakambangan- kan. Namun tak jadi soal, toh mereka tetap saja Napi, peduli amat dengan postur dan bentuk tubuh. Sayang, sekian lama menanti dan penasaran melihat Napi Nusakambangan, yang nongol dua orang itu. Sementara, yang
'tiga serangkai' belum juga muncul.

Saya bergabung dengan pembezuk lain, duduk dan ngobrol ngalor-ngidur, ngabuburit waktu menunggu. Kurang lebih dua puluh menit menit kemudian, 'tiga bintang' itu pun hadir. Ali Ghufron alias Mukhlas menjadi orang pertama yang masuk ruang bezuk, disusul Amrozi dan Imam Samudera. Para pengunjung pun serentak berdiri, menyalami dan memeluk mereka satu persatu secara bergantian. Giliran salaman dengan saya, Mukhlas sempat kaget, maklum wajah baru dalam rombongan. Saya bilang, saya Chairul dari Sabili. Ia nampak kaget, namun saya katakan sambil berbisik bagaimana saya masuk dan untuk apa saya datang berkunjung. Ia pun tersenyum penuh arti, "Nanti kita ngobrol banyak." Ekspresi yang sama juga muncul pada Amrozi dan Imam Samudera ketika kami bersalaman. Tak lupa pula, kata-kata yang sama saya ucapkan pada mereka, dan mendapat sambutan yang sama pula. Wah, benar-benar pertemuan yang mengesankan.

Setelah bersalaman dengan seluruh anggota rombongan yang berjumlah sekitar 64 orang, ketiganya kemudian asyik-masyuk dengan keluarga masing-masing. Amrozi bercengkrama dengan ibunya (Tariyem), kedua istrinya; Khoiriyana dan Ria Rahmawati serta anak-anaknya. Imam Samudera juga demikian, ia bermesraan dengan anggota keluarganya, ibunya Embay Badriah, istrinya Zakiah Darajad, adiknya Lulu Jamaludin serta keempat anaknya. Mukhlas hanya bersalaman dan sungkem sebentar dengan Tariyem lalu berbaur dengan pengunjung lain. Maklum, bininya lagi di Negeri Jiran, Malaysia.

Setelah itu Mukhlas menghampiri saya dan beberapa saudaranya yang lain. Ia pun bercerita tentang kehidupannya di penjara. Tentang mimpi-mimpinya, tentang kesiapannya menghadapi eksekusi kapan saja itu terjadi, karena itu baginya adalah takdir Allah SWT. Di sela-sela waktu berbincang itu, saya mencuri waktu Mukhlas sebentar, mengajukan sebuah pertanyaan yang selama ini mengganjal di hati, benarkah ia dan kawan-kawannya yang melakukan pengeboman di Kuta Bali? Mukhlas menjawab benar, namun efeknya tidak pernah mereka bayangkan bisa sedahsyat itu.

Pengeboman itu mereka lakukan sebagai bentuk pembalasan atas tindakan negara-negara thagut macam AS dan sekutu-sekutunya terhadap kaum muslimin di Afghanistan dan negeri-negeri Muslim lainnya. Aksi itu adalah bentuk jihad dan pembelaan mereka terhadap Muslim lainnya yang teraniaya. Pertanyaan yang sama saya ajukan pada Amrozi dan Imam Samudera, dan mereka menjawab dengan jawaban yang sama. Efek ledakan bom -yang berupa bahan-bahan mercon- itu tidak pernah mereka bayangkan akan memakan korban jiwa dan bangunan sebanyak dan separah itu. Mereka memang sempat 'bersyukur' atas keberhasilan bom yang sangat dahsyat tersebut. Tak heran jika mereka mengaku karena memang benar demikian. Dan mereka pun siap menerima segala konsekuensi hukum atas tindak pidana itu.

Bertahun-tahun lamanya ketiga sekawan ini 'mensyukuri' hasil bom yang mereka racik, dan menganggapnya sebuah 'keberhasilan' yang gemilang. Hingga datang suatu masa, ketika keyakinan itu mulai goyah. Masukan dari beberapa pakar dan ahli bom, yang disampaikan melalui TPM, maupun dari sumber lain, mengusik keyakinan mereka yang terpendam lama. Bahwa, bom yang mereka gunakan itu tidak akan mampu meledakkan Legian sedemikian parahnya, hanya dari bahan-bahan kimia yang sebagian besarnya adalah bahan baku petasan.

Oleh karena itu, TPM selaku kuasa hukum mereka telah berulangkali melakukan upaya agar pemerintah mau melakukan rekonstruksi dengan racikan bom yang mereka gunakan, namun tidak pernah mendapat tanggapan. Hal ini untuk membandingkan, benarkah bom yang mereka buat itu, ataukah ada bom lain yang juga turut meledak? Sayang, upaya rekonstruksi ini ibarat menggantang asap. Karena pemerintah tidak mau boroknya ketahuan.

Jauh sebelum peledakan terjadi rencana mereka memang telah bocor duluan. Bocornya dari orang dekat sendiri, yaitu Natsir Abbas, yang katanya mantan tokoh JI (Jemaah Islamiyah) dan juga kakak ipar Mukhlas. Si Natsir ini adalah intel yang memang disusupkan untuk mengawasi gerak-gerik dan rencana ketiga serangkai dan rekan-rekan mereka yang lain. Bahkan Natsir pula yang membentuk mantiqi-mantiqi JI yang tersebar di beberapa wilayah di tanah air. Hingga kini, hubungan Mukhlas dan Natsir masih memburuk, walau adik Natsir adalah istri Mukhlas. Ledakan bom di Bali juga turut meledakkan hubungan kekeluargaan kedua orang yang berbeda suku dan kewarganegaraan itu.

Sadar bahwa dampak ledakan ternyata bukan karena hasil murni mereka, ketiga sekawan itu pun sempat 'dongkol'. Merasa dikibulin gitu. Secara konyol pula, dan oleh orang dekat pula. Namun, vonis memang telah jatuh, dan mereka kadung telah dicap sebagai pelaku. Dan memang iya, walau juga ditunggangi pihak lain. TPM pun terus berupaya meminta pemerintah melakukan rekonstruksi walau tak mendapat tanggapan. Sedangkan hari-hari eksekusi kian dekat menjelang. Karena putusan peradilan telah dinyatakan inkracht (berkekuatan hukum tetap) dan sulit berpaling dari eksekusi, maka ketiganya mengaku siap. Namun, TPM meminta eksekusi dilakukan berdasarkan syariat Islam, yakni dengan cara dipenggal atau dipancung. Sesuai dengan hukum syariah, yang diyakini ketiga terpidana. Walau ketiganya sendiri tidak pernah meminta secara eksplisit untuk dieksekusi dengan cara pancung atau gantung.

Hal ini ditegaskan ketika saya bertemu mereka. Mukhlas berkata, "Saya tidak pernah meminta dieksekusi dengan cara apapun. Kalau memang itu terjadi, itu merupakan takdir Allah SWT. Kami yakin akan mati syahid. Kami tidak pernah meminta disuntik mati, dipancung atau dipenggal, karena kami memang tidak mengakui hukum thagut yang berlaku. Kalau kami bersalah secara syar'i, maka akan berlaku hukum qishash..."

Qishash yang dimaksud Mukhlas adalah, kalau memang ia terbukti bersalah secara peradilan Islam (syariah) maka ia mestinya dibunuh juga. Nah, dalam Islam qishash ini dipahami dengan cara pancung atau penggal. Inilah yang memunculkan wacana, bahwa mereka meminta dihukum secara qishash -pancung atau penggal-, bukan dengan cara ditembak mati. Masalahnya adalah, negara kita memang bukan negara Islam dan tidak ada pemberlakuan hukum qishash. Oleh karena itu, TPM setelah berdiskusi dengan ketiganya juga dengan para dokter ahli, menyimpulkan bahwa hukum pancung lebih minimal sakitnya ketika meregang nyawa ketimbang ditembak. TPM pun mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No.2/PNPS/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Proses ini termasuk bagian dari upaya hukum, oleh sebab itulah kenapa eksekusi selalu ditunda. MK sendiri belum memutuskan apakah menolak atau menerima judicial review ini karena masih dalam proses
persidangan. Namun, rupanya Kejaksaan Agung telah keukeuh menetapkan eksekusi usai lebaran.

Hampir senada dengan Mukhlas, Amrozi juga mengaku tidak pernah meminta dieksekusi. "Orang-orang luar saja yang sibuk ngurusin eksekusi kami. Padahal kami di sini tenang-tenang saja. Media-media banyak yang memutarbalikkan fakta (mlintir) tentang kami. Kami tidak pernah ngomong tentang sesuatu, di luar ada beritanya. Kami diisukan sudah diisolasi karena akan dieksekusi, padahal sejak pindah dari penjara di Bali, sel kami di sini ya di situ itu. Tidak pernah pindah kemana-mana. Memang sel itu beda dengan sel Napi biasa karena terpisah. Tapi bukan merupakan tempat isolasi khusus menjelang eksekusi," tuturnya.

Amrozi merupakan sosok yang paling disegani di kalangan Napi maupun petugas sipir di sana. Ia juga disebut-sebut galak dan suka memukul orang kalau yang bersangkutan berbuat kemungkaran. Suatu ketika mantan Menteri Hukum dan HAM RI Hamid Awwaluddin datang ke Lapas Batu dan bertemu ketiga tersangka. Oleh Amrozi, Hamid dipegang kepalanya dan didoakan, "Kamu akan dicopot, karena kamu berlaku zalim terhadap sesama Muslim!" Karuan saja Hamid kaget dengan tindakan Amrozi itu, namun ia diam saja. Para petugas yang mengawal juga hanya terdiam. Tak berapa lama, doa Amrozi terkabul. Hamid dicopot SBY dan digantikan Andi Mattalata. Hingga kini, kabarnya si Andi tidak berani menemui Amrozi. "Takut disumpahin Amrozi," ujar salah seorang sipir Lapas Batu, mengutip kata-kata Andi Mattalata.

Petugas keamanan Lapas juga tampak begitu hormat kepada Amrozi. Bahkan kepala keamanan Lapas Batu, EW, tampak takzim mendengarkannya tausiyah. Di depan saya, dengan entengnya Amrozi menepuk-nepuk pundak EW dan menasihatinya, "Mau Ramadhan, perbanyak shalatmu, ibadah ditingkatkan lagi!"

Ajaibnya, si EW manggut-manggut dan berujar, "Iya Ustadz, iya Ustadz, terima kasih atas nasehatnya." Kepada saya dan yang lain EW berkata, "Tausiyah beliau selalu saya dengarkan dan lakukan." Kami semua pun manggut-manggut saja.

Suatu ketika pada persidangan kedua kasus bom Bali I, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, I Made Karna SH, pernah 'disemprit' Amrozi. Ketika maju ke meja hakim untuk menandatangani berkas perkara, Amrozi berkata kepada Made Karna, "Liat nanti, kamu yang mati duluan ketimbang saya!"

Akhirnya, si hakim yang memvonis mati Amrozi dkk, memang mati terlebih dahulu ketimbang yang divonis. Ia meninggal dunia hari Minggu pukul 19:00 tanggal 28 Oktober 2007 di Denpasar, Bali. "Kematian hakim itu (Made Karna) adalah takdir Allah SWT, bukan karena kesaktian saya," kata Amrozi sambil memamerkan senyum khasnya.

Begitu pula dengan Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjebloskan Amrozi cs ke penjara. Amrozi pernah mendoakan Urip ketika disidang dulu, "Kamu juga akan masuk penjara dan dihinakan." Dan ternyata si Urip akhirnya masuk penjara juga, karena kasus suap-menyuap.

Kata-kata Amrozi yang 'manjur' inilah yang juga membuat sebagian petugas dan sipir Lapas Batu segan dan hormat. Padahal pria dua istri itu bergaul biasa-biasa saja dengan mereka.. Dengar-dengar –tapi ini belum bisa diverifikasi- , hal ini juga yang mempengaruhi rencana eksekusi sehingga terus-menerus ditunda dan ditunda. Para pejabat terkait takut kualat.

Bertemu dengan Amrozi akan membawa kita dalam suasana yang selalu santai, gayeng, gaul, akrab dan menyenangkan. Seperti bertemu dan ngobrol dengan FG gitu, tapi saya tidak menganggap FG itu teroris lho... Sory yo, Mas Farid...he.. .he! Ia termasuk pria murah senyum dan humoris, beda dengan kakaknya Mukhlas yang selalu serius dan Imam Samudera yang lebih serius dan 'galak'.

Pertemuan dengan Imam Samudera lebih mengesankan lagi. Dengan sorot matanya yang tajam, seolah-olah menembus jantung orang di yang dilihatnya, mantan mujahidin Afghanistan ini banyak berbicara tentang jihad. "Akhi (saudaraku) jika ana (saya) jadi antum (engkau), maka ana sudah tidak berada di sini (Indonesia) lagi. Ana akan pergi ke Afghan, Irak, Kashmir, Moro, Pattani, Chechnya, Sudan dan bumi jihad lainnya. Antum masih muda ya akhi, masih banyak jalan menggapai jihad dan syahid," katanya dengan suara tegas, bergetar sambil menepuk-nepuk paha kanan saya. Ia terus saja bertausiyah tentang keutamaan jihad, apalagi menjelang bulan Ramadhan. "Syahid adalah cita-cita tertinggi setiap mukmin sejati, dan itu hanya dapat dicapai dengan jihad di medan perang," tegasnya.

Jujur saja, kata-kata Imam ini begitu terasa di hati. Membekas dan menjelma menjadi kekuatan yang memberontak untuk segera mendapatkan pelampiasan. Semangat jihad saya sontak muncul dan seolah-olah diri telah siap berperang di medan laga. Imam sangat ahli dalam memberikan tausiyah (baca: doktrin) terhadap orang lain. Kepiawaiannya merangkai kata disertai mimik, gesture dan sorot mata yang tajam, seolah mampu membuat lawan bicaranya bertekuk lutut.

Sebagaimana Mukhlas, Imam juga menyinggung pemberitaan media tentang eksekusi yang mereka minta hendaknya dilakukan dengan cara pancung atau gantung. "Ana dan ikhwan-ikhwan (saudara) tidak pernah berkata, ngomong, bicara atau meminta kami dipancung atau disuntik mati. Bagaimana kami mau menuruti hukum yang bukan hukum Allah?"

Munculnya wacana pancung-memancung ini, kata Imam, adalah ketika seseorang menanyakan pada dirinya bagaimana Islam mengatur tentang vonis hukum pidana. Maka ia menjawab, yang paling shahih adalah dengan hukum gantung atau pancung. "Itulah yang dijadikan dasar oleh mereka bahwa kami meminta dipancung atau digantung. Kami tidak pernah meminta eksekusi. Walau demikian kami juga tidak takut mati. Kami siap dieksekusi kapan saja dan dimana saja," tandasnya.

Imam kemudian membacakan sebuah surat yang ditujukan kepada kaum muslimin untuk dimuat di Sabili. Di sela-sela pembacaan surat itu, seorang petugas sipir mengumumkan bahwa waktu berkunjung telah usai. Para pengunjung hendaknya bersiap-siap kembali ke rumah masing-masing, dan para terpidana tentu saja harus kembali ke sel masing-masing.

Begitu bersalaman terakhir kali dengan Imam Samudera, ia menanyakan alamat email saya. Katanya, dia mau mengirim email. Tentu saja saya kaget, bagaimana ia bisa mengirim email lewat jeruji besi angker seperti Nusakambangan ini? Ia hanya tersenyum, "Allah pasti akan memberikan jalan jika kita bersungguh-sungguh menjalin silaturrahim, apalagi demi kebaikan," ujarnya.
"Insya Allah, ana tunggu email antum," kata saya lalu beranjak keluar ruangan. Mengikuti para pembezuk yang keluar teratur menuju dunia bebas, dunia tanpa jeruji besi.

Dalam mobil yang berjalan menuju Dermaga Nusakambangan, Michdan berujar, "Jadi begini saja Rul, nanti kita katakan pada teman-temanmu di luar sana, bahwa bagaimanapun dan dengan cara apapun eksekusi itu adalah sebuah kezaliman."
Saya hanya mengangguk dan menjawab lirih, "Iya, Pak."

Hampir tiga jam di Pulau Nusakambangan itu, telah membuka banyak tabir yang selama ini tersaput misteri. Setidaknya untuk saya pribadi.

[Non-text portions of this message have been removed]

From: Chairul Akhmad (chairulakhmad@yahoo.com)
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim