SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Sabtu, 31 Januari 2009

Petaka Suara Terbanyak

Oleh Maqbul Halim

Subhan Mappaturung, bekas anggota KPID Sulsel, pernah bercerita bahwa ia mencicipi kebahagiaan tersendiri ketika melihat pengurus partai dan politisi merintis jalan menuju nomor urut terkecil pada daftar pelamar legislatif untuk tiap-tiap Daerah Pemilihan atau Dapil. Nomor urut masih berperan menentukan calon terpilih jika telah melampaui perolehan suara 30 persen, meski bukan sebagai peraih suara terbanyak. Beberapa partai menerapkan suara terbanyak, tapi lebih banyak lagi tetap mempertahankan nomor urut.

Seorang dari mereka politisi atau pelamar anggota legislatif itu misalnya, meretas jalannya dengan penuh liku, dan juga dengan strategi yang diyakini tak terendus oleh para pesaingnya untuk merebut nomor urut terkecil itu. Ada juga yang sudah mengatur strategi sejak usai Pemilu 2004 silam, agar nomor urutnya paling kecil pada Pemilu 2009. Analisis dan perkiraan tentang kekuatan pesaing di dalam partai sendiri, diperbarui setiap waktu agar nomor urut mereka lebih besar pada daftar calon.

Subhan mungkin benar. Di arena itu, seseorang akan tersingkir jika tidak menyingkirkan. Ada pula konsesi yang didahului dengan berkali-kali revisi draft agar tidak saling menyingkirkan menuju nomor urut terkecil. Seperti sebuah debat penentuan nasib masa depan seseorang, segala jasa budi dan kebaikan diperbandingkan dengan sisi negatif yang sepele sekalipun dari seseorang itu, agar nomor urutnya tepat.

Moral, sopan santun, dan dedikasi pelamar anggota legislatif dikuantifikasi menjadi sebuah grafik, menjadi sebuah petunjuk nomor urut. Visual grafiknya dibuat rumit sehingga tampak serius. Pertalian darah dengan ketua-sekretaris partai adalah garis bebas pada grafik. Para pelamar dituntut kesabarannya mempertahankan prilaku baiknya di hadapan partai dan ketua-sekretaris sebelum Daftar Calon Tetap (DCT) betul-betul telah disahkan oleh KPU. Di hadapan pelamar, ketua-sekretaris partai juga leluasa bermanja-manja ketika pada saat yang sama para pelamar dibebani kewajiban untuk tahu diri kepada ketua-sekretarisnya.

Ketua-sekretaris partai dinobatkan untuk melakukan pembacaan terhadap grafik itu. Informasi yang akurat dan menyeluruh mesti mereka miliki ketika membaca. Mereka bisa pura-pura bodoh membaca. Agar tidak pura-pura bodoh membaca, para pelamar biasanya menitipkan fulus agar grafiknya terbaca jelas. Dengan inisatif sendiri, para pelamar anggota legislatif juga “harus ikhlas” sering-sering bersilaturrahmi dengan sang ketua-sekretaris. Silarturahminya juga harus padat berisi, tidak boleh kosong.

Segenap pelamar anggota legislatif menunggu dengan cemas hasil pembacaan sang ketua-sekretaris. Sang pembaca juga memainkan keluhuran jabatannya agar nomor urut para pelamar tidak mungkin diprediksi sebelum Daftar Calon Sementara (DCS) diumumkan. Sebagian pelamar juga rajin menyambangi rumah ibadah dan berdoa agar Tuhan memperkecil nomor urutnya.

Semantara di Jakarta, mesin Mahkamah Konstitusi atau MK bergemuruh, terus membedah fatwa tentang calon terpilih berdasarkan nomor urut. Di lembah pencalonan, hasil bedah itu bergerak seperti badai, menggelegar. Banyak calon merasakannya seperti badai hawa panas. Ada juga calon yang merasakannya seperti gelombang hawa sejuk dan menenangkan. Pelamar terpilih berdasarkan suara terbanyak, bukan nomor urut.

Nomor urut kecil terlantar kehilangan wibawa dan nilai tukar. Pemangkunya terperanjat memandangi kuitansi pembelian nomor urut. Banyak juga yang menyesal telah berperilaku sopan dan santun demi nomor urut kecil. Sang ketua-sekretaris duduk terpekur di kursi tahtanya, sepi tanpa pemuja dan pujian.

Sementara pelamar anggota legislatif urutan nomor besar langsung bangkit dari tidur, berkelebat menggalang pemilih, berputar seperti roda gila. Mereka berlampias pada baligo, spanduk, iklan-iklan, dan seterusnya. Mereka juga berpikir cara beriklan pada mimpi orang-orang yang sedang tidur. Mereka yang malas menjadi rajin. Mereka yang biasa-biasa menjadi orang baik, penderma, murah senyum, mudah berteman. Mereka kompak membenci nyamuk malaria di Dapilnya, lalu foging. Tapi mereka tidak perduli nyamuk malaria di Dapil lain.

Putusan MK juga telah memaksa zona aman urutan daftar calon berubah pengertian. Sebelumnya, nomor urut kecil adalah zona aman. Setelah putusan MK, zona aman melar hingga ke nomor terakhir yang berangka besar. Pelamar anggota DPRD Kota Makassar yang berjumlah kurang lebih 1.403 itu misalnya sudah merasa jalannya ke kursi legislatif telah dilapangkan oleh putusan MK tersebut. Mereka semua merasa kursinya sudah aman dari gangguan nomor urut. Umumnya, mereka melihat gedung legislatif sudah begitu dekat.

Ada pula yang menyebut efek putusan MK ini amat dahsyat. Ruang publik menjadi space pasar tradisional yang gaduh dan serampangan. Gubernur, mantan bupati dan tukang ojek, misalnya, setara kedudukannya dalam pemasangan baliho. Sejumlah calon juga tidak segan-segan memasang stiker/foster gambar dirinya pada tempat-tempat yang tidak dikenal banyak orang. Ada juga foto pelamar yang sulit dikenali hingga baligo yang memuat gambarnya ambruk setelah tegak selama kurang lebih tiga bulan.

Pertarungan juga menjadi kian sporadis. Setiap calon sulit menyebutkan kriteria lawan atau pesaingnya. Untuk kepentingan dan popularitas diri, partainya pun juga ia bisa tuding sebagai musuh dalam selimut. Status seorang pelamar anggota legislatif bisa bermutasi setiap saat. Seorang pelamar jadi musuh bagi pelamar lain pada pagi hari karena ia berasal dari partai berbeda. Seseorang itu juga bisa jadi musuh bagi beberapa anggota partainya sendiri pada siang di hari yang sama karena berada pada Dapil yang sama.

Setelah putusan MK, tak ada kata yang lebih inspiratif dan penting bagi calon-calon selain kata Dapil. Para calon memilih mesjid shalat Jumat berdasarkan Dapil. Umumnya, calon-calon juga menyewa konsultan agar seyum, kebaikan hati, dan sumbangan yang mereka berikan tidak melewati batas wilayah Dapil. Bulan Ramadan baru-baru ini juga menambah syarat bagi penerima Zakat Fitrah. Selain fakir, miskin, dan yatim piatu, penerima zakat juga harus berdomisili di daerah pemilihan pembayar zakat.

Pada sisi lain, hanya ada 50 unit harapan (kursi) di DPRD Kota Makassar. Jumlah itu sangat jauh lebih kecil dari jumlah 1.403 pelamarnya. Setelah penghitungan suara nantinya, kurang lebih 1.350 pelamar jadi pecundang. Namun, tak satu pun dari 1.403 pelamar itu yang tekadnya luruh karena hitungan itu. Padahal sangat jelas, hitungan itu mestinya membungkam harapan semua pelamar. Tetapi, di sinilah putusan MK memberi kekuatan bagi tiap pelamar yang 1.403 itu untuk membayangkan kursi miliknya di legislatif. Praktis, jumlah kursi yang hanya 50 itu terbaca menjadi 1.403. Ini masalah percaya diri saja. Kata Subhan, MK itu tidak berperasaan.

Anggota Komunitas Elsim Makassar

Sumber: Harian Ujungpandang Ekspres Edisi 29 Januari 2009
Selengkapnya >>

Selasa, 27 Januari 2009

Masika ICMI Mulai Garap Kampus

Laporan: Furqon Majid, tribuntimurmks@gmail.com
Sabtu, 24 Januari 2009 | 22:06 WITA

MAKASSAR, TRIBUN - Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendikiawan Muda Indonesia (Masika ICMI) Organisasi Daerah (Orda) Makassar dalam waktu dekat mulai membangun organisasi satuan (orsat) tingkat kampus

Program ini diteguhkan dalam Rapat Kerja Daerah Masika ICMI Orda Makassar, di Gedung LPTQ Sulawesi Selatan, Jl Talasalapang, Sabtu (24/1).

Rakerda tersebut digelar untuk mempersiapkan program kerja Masika periode 2008-2010. Program kerja itu akan berorientasi dan diprioritaskan untuk meningkatkan kualitas intelektual pemuda dan mahasiswa.

Karena itu, hadir pula aktivis dari berbagai kampus, di antaranya dari Universitas Hasanuddin, Universitas Muslim Indonesia, Universitas Muhammadiyah Makassar, Universitas Negeri Makassar, dan Universitas Indonesia Timur.

"Dari kampus-kampus inilah nantinya akan menjadi orsat Masika-ICMI, yaitu struktur Masika di tingkatan kampus, yang Insya Allah selepas Rakerda I ini akan segera terbentuk diseluruh kampus se-kota Makassar," ujar Sekretaris Masika ICMI Orda Makassar, Anshar Aminullah.

Rakerda yang dirangkai dengan Bedah Buku "Sketsa Pergolakan Batin Perempuan" ini dihadiri oleh Ketua Masika ICMI Orda Makassar, Maqbul Halim, dan Sekretaris Masika ICMI Orwil Sulsel, Anwar Lasapa. Anwar membuka rakerda.(*)

Sumber: Tribun Timur Online (Sabtu, 24 Januari 2009 | 22:06 WITA)
http://www.tribun-timur.com/read/artikel/7176
Akses Tanggal 27 Januari 2009
Selengkapnya >>

Jumat, 23 Januari 2009

Kampanye Bersama, Minta Dukungan Media dan Ornop

Senin, 19 Januari 2009
Perjuangan KPPI untuk Kuota Perempuan di Parlemen

KUOTA 30 persen perempuan di parlemen amat susah terwujud. Politisi perempuan dan kelompok yang pro perempuan masih harus berjuang keras untuk memenuhi amanah undang-undang itu.

--ALIEF-FACHRUDDIN, Makassar--

KAUKUS Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Sulsel melakukan berbagai cara dalam mendorong jumlah perempuan di parlemen. Salah satunya dengan mengampanyekan perempuan pilih perempuan. Kampanye ini penting sebab populasi pemilih perempuan lebih banyak dibanding pemilih laki-laki. Jika perempuan solid memilih sesamanya, pasti jumlah perempuan di parlemen akan melebihi jumlah laki-laki.

“Perlu ada kesadaran bagi perempuan untuk memilih wakilnya di parlemen lebih banyak,” kata Ketua Perempuan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) Sulsel, Hj Andi Bulan Nanda di kantor Lembaga Studi Kajian Publik (LSKP) Makassar Minggu, 18 Januari.

Minggu kemarin, beberapa politisi perempuan yang bergabung dalam KPPI Sulsel menggelar road show. Selain ke LSKP, rombongan yang dipimpin Ketua KPPI Sulsel, Andi Mariattang itu juga melakukan silaturahmi dengan media massa. Termasuk berkunjung ke Harian Fajar.

KPPI yakin dukungan ornop terutama LSKP dan media sangat berpengaruh dalam menambah kursi perempuan di parlemen. LSKP diminta memperbanyak pelatihan dan asistensi bagi caleg perempuan dalam menggalang dukungan dan simpati di tengah masyarakat. Sementara media massa diminta memperbanyak berita yang pro caleg perempuan.

Direktur LSKP, Muhammad Darwis menyambut baik gerakan KPPI itu. Menurut dia, untuk memperbanyak keterwakilan perempuan di parlemen, politisi perempuan memang harus banyak melakukan gerakan bersama. LSKP sendiri, kata dia, bersedia memberi advokasi khusus terhadap caleg perempuan.

“LSKP sudah melakukan workshop khusus buat caleg perempuan di Makassar, Gowa, dan Bone. Bahkan dalam waktu dekat ini kegiatan seperti itu juga akan terus dilakukan,” kata Darwis saat menerima rombongan KPPI di kantor LSKP kemarin.

Darwis yang ditemani Maqbul Halim juga memberi strategi kampanye bagi caleg perempuan. Di antaranya soal pembangunan jaringan tim pemenangan sampai tingkat kelurahan. Darwis mengatakan caleg perempuan harus siap bersaing memperebutkan kursi parlemen dalam pemilu legislatif yang makin kompetitif.

Mariattang menambahkan caleg perempuan tetap siap bertarung dalam pemilu legislatif mendatang. Mereka cuma berharap agar peserta pemilu termasuk penyelenggara pemilu lebih profesional dalam menjalankan pemilu.

“Jangan ada upaya menghalalkan segala cara termasuk money politics. Bahkan kami meminta agar pemilih tidak memilih caleg yang terbukti melakukan money politics,” kata politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Sulsel itu.

Beberapa politisi juga tergabung di kaukus ini. Di antaranya Rusni Kasman (Golkar), Iriani Bustami (PBR), Litha Limpo (PDIP), Fatimah Wahab (PAN), Hj Indriani Radjab (PDK), dan beberapa politisi lainnya. (*)

Sumber: Harian FAJAR Edisi 19 Januari 2009
http://www.fajar.co.id/koran/1232292082FAJAR.OLG_19_13.pdf
Akses TAnggal 23 Januari 2009
Selengkapnya >>

Minggu, 11 Januari 2009

Mesin Cuci dan Kamera Digital Caleg

Makassar, 11 Januari 2009

Seorang kawan saya bercerita tentang pengalaman di kampung halamannya, Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Namanya Ni'matullah, calon legislatif dari Partai Demokrat untuk Daerah Pemilihan II, DPRD Propinsi Sulawesi Selatan. Ulla, sapaan akrabnya, datang menjenguk keluarga dan kerabatnya di kampungnya itu pada awal Nopember 2008. Ia bernostalgia dengan teman sekolahnya, dan juga kawan-kawan bermainnya yang lain ketika ia masih di sana.

Pada suatu kesempatan, Ulla bergabung dengan beberapa warga yang sedang berbincang di dekat rumahnya itu. Di sela-sela perbincangan itu, ia mencoba menarik perhatian orang-orang yang sedang berkerumun itu. Ulla menyatakan niatannya menjadi calon legislatif. Untuk itu, ia pun mengajak warga di sana untuk mendukung pencalonannya. Untuk itu pula, Ulla menawarkan alat peraga yang menandakan identitas pencalonannya. Ia menawarkan baju kaos dalam jumlah terbatas untuk tahap pertama.

Warga hanya merespon dengan sikap yang biasa-biasa terhadap penawaran itu. Seorang warga yang juga paman Ulla mengusulkan agar mencoba alat peraga yang lain. Ulla mengangguk dan berusaha untuk bersikap sopan. Ulla sangat segan kepada pamanya. Ulla sendiri mengaku, ia tidak berani berbicara sembarangan kepada pamannya yang satu ini.

“Nak, warga di sini tidak butuh baju kaos. Sudah banyak mi di sini,” ujar paman Ulla dengan Makassar menyarankan. “Kalau mau bagus, anu saja nak, eee, bagi-bagi mesin cuci saja. Warga di sini sangat membutuhkan mesin cuci,” katanya melanjutkan.

Keruan saja, Ulla merasa tidak mampu mengatur irama nafasnya mendengar saran itu. Ia merebahkan badannya ke belakang sambil merentangkan kakinya. Ia mencoba mengulangi kalimat saran itu dalam benaknya. Tetap saja ia tidak percaya ada orang yang sampai hati memberinya saran seperti itu. Dan orang yang memberi saran itu adalah pamannya sendiri.

Karena merasa saran dari pamannya itu di luar batas kewajaran, ia pun memberanikan diri mengajukan lagi penawaran lain, meski penawaran lain itu sendiri belum jelas.

“Om, mesin cuci itu terlalu berat di harga. Itu sangat mahal, om!” ujar Ulla menanggapi saran pamannya.

Dalam waktu sekejap, sang Paman langsung mengoreksi sarannya dengan mengajukan bentuk pemberian lain yang lebih murah.

“Kalau begitu, ganti mi dengan kamera digital. Warga di sini juga suka ji barang seperti itu, nak,” kata sang paman dengan enteng.

Saran alternatif ini ternyata belum membuat Ulla lega. Ia malah menyebut masukan pamannya itu sebagai cara lain bunuh diri.
Selengkapnya >>

Senin, 05 Januari 2009

Mereka Jadi Anggota KPU

Makassar, 05 Januari 2007

Waktu itu, saya selalu berpikir tentang KPU Kota Makassar sebagai lembaga yang membutuhkan orang terampil dan siap mendedikasikan diri. Saya sendiri menyerahkan diri untuk mendaftar lagi pada waktu itu. Pendafataran itu juga bukan sebagai ambisi pribadiku. Pendaftaran itu semata-mata karena panggilan pekerjaan. Mereka meminta saya untuk mendaftar lagi, agar kesinambungan pekerjaan dapat terjamin. Mereka pun mendaftarkan diriku pada hari terakhir waktu pendaftaran.

Saya masih yakin waktu itu, bahwa saya tidak membutuhkan lagi jabatan anggota KPU Kota Makassar itu. Itulah sebabnya, saya tetap memikirkan peluang orang lain untuk lolos pada seleksi ini. Ketika proses seleksi mengantarku masuk ke 20 besar, saya bertemu dengan calon lain yang masih asing bagiku. Calon seperti Pahir Halim dan Andi Dirgahayu Lantara, tentu saja tidak asing bagiku karena masih sedang bersama-sama di KPU Kota Makassar yang akan berakhir sebulan lagi. Waktu itu, saya melihat calon-calon lain itu dengan pandangan yang unik. Saya hanya menemukan sedikit dari mereka itu yang raut wajahnya mewakili sebuah ketulusan, serta kerelaan untuk menjadi anggota KPU Kota Makassar pelanjut saya dan teman-teman. Saya tahu, mereka sangat membutuhkan jabatan sebagai komisioner tersebut.

Sebagian dari mereka yang saat ini sudah menjadi anggota KPU Kota Makassar 2008-2013. Mereka adalah pejuang. Sebagian dari mereka mungkin sedang terlilit hidup yang luruh dan dengan nasib yang tak kunjung berubah. Harapan yang paling terang dengan jabatan sebagai anggota KPU Kota Makassar yang mereka sandang itu adalah bahwa saya dan sejumlah anggota KPU Kabupaten lainnya mengalami perubahan kehidupan finansial berkat jabatan itu sejak 2003. Orang seperti saya pada masa-masa awal di jabatan itu, memang berasal dari derajat berharta "nol". Meski ada peningkatan derajat sosial dari jabatan waktu itu, saya tidak peduli karena bukan itu orientasi saya. Saya terang saja kepada kawan-kawan waktu itu, gengsi sosial dari jabatan itu tidak begitu penting bagiku. Jadi waktu itu, saya betul-betul menemukan diriku sedang menyerupai orang yang miskin rupiah. Selain itu, saya juga dipandang lugu dan lucu karena tidak mengerti betapa penting dan strategisnya derajat sosial yang diberikan oleh jabatan itu.

Menjelang proses seleksi dimulai waktu itu, saya sadar bahwa diriku telah berubah. Wawasan dan pengalaman yang telah mengajar diriku selama di KPU Kota Makassar lima tahun lebih, membuat diriku bukan lagi Maqbul Halim pada 2003 silam ketika mendaftar pada Pansel Calon Anggota KPU Kota Makassar periode 2003-2008. Akibatnya, saya kerap gelisah ketika masa jabatan saya di KPU Kota Makassar bakal berakhir dalam sebulan ke depan, yaitu pada 23 Juni 2008, namun diperpanjang lagi oleh KPU Sulsel. Saya tidak membutuhkan lagi jabatan itu, apalagi jika hanya untuk mengangkat derajat sosialku seperti halnya pada lima tahun silam.

Saya lebih memilih bahwa jabatan tersebut lebih cocok dilanjutkan oleh mereka yang lebih kuat dan lebih kompeten dari saya. Ketika itu, saya juga berpikir bahwa saya akan gembira jika mereka yang akan melanjutkan jabatan tersebut adalah mereka yang tidak lagi bermotifkan perbaikan hidup seperti saya sebelumnya. Ia atau mereka bukanlah pencari kerja, laiknya para pendaftar PNS. Tentu mereka itu tidak berprinsipkan motif bahwa, dengan keanggotaan KPU Kota Makassar, hidup menjadi lebih sejahtera. Saya pernah memunculkan harapan seperti itu kepada tim seleksi. Saya bermaksud bahwa tim seleksi tidak dimuati oleh agenda untuk membantu perbaikan taraf hidup beberapa peserta yang mungkin saja sudah digadang-gadang menjadi pemenang.

Harapan saya itu ternyata perlu. Saya sendiri sangat menyesalkan karena beberapa anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan 2008-2013 lebih mengedepankan perbaikan nasib hidup kerabat dan keluarganya ketimbang nasib Pemilu 2009. Setidaknya, maksud itu juga yang diagregasi oleh para tim seleksi calon anggota KPU di kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan yang ditempatkan oleh KPU Sulsel 2008-2013, yang dua orang di antaranya adalah petugas perpanjangan tangan kepentingan anggota-anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Mereka, tim seleksi dan anggota KPU Sulsel itu, berhasil menutup diri dalam mengambil keputusan untuk memilih. Mereka tidak gugup atau risih mengekspresikan kegamangan dan kejijikannya dalam memutus yang kontroversial dan cenderung mempermalukan akal sehat. Saya lihat, mereka malah cenderung atraktif dalam hal itu. Mereka justru mendalilkan kemuliaan dan kecerdasan nuraninya setelah mereka menjatuhkan pilihan-pilihannya yang kontroversial dan cenderung mempermalukan akal sehat itu.

Mereka, tim seleksi dan anggota KPU Sulsel itu, agaknya sudah terlatih mengorbankan yang baik demi untuk sesuatu yang belum tentu baik. Banyak pihak yang tidak berhasil memahami cara dan logika berpikir mereka. Mereka berasal dari masa silam, yang sama sekali tidak bisa dibaca jejak keburukan maupun kebaikannya. Itulah sebabnya, pihak-pihak lain pun sulit berdiskusi secara sehat dengan mereka. Saya sendiri sudah mengumpul berbagai pengakuan kekecewaan terhadap mereka: ekspektasi publik tidak berarti di mata dan pikiran mereka. Mereka betul-betul mandiri dan independen dari masukan dan saran yang konstruktif dan produktif. Mereka juga terkesan menghindarkan diri untuk belajar dan mengetahui lebih jauh tentang sebuah resiko pemilu.

Boleh jadi, status intelektual mereka yang terhormat sudah terlacurkan oleh kekerdilan jiwa mereka. Saya menyebut status intelektual mereka yang terhormat terlacurkan karena mekanisme kerja mereka, tim seleksi dan anggota KPU Sulawesi Selatan itu, sangat tertutup, tidak patuh pada standar-standar logika dan akal sehat, dan argumen-argumen mereka cenderung mewakili persoalan yang mereka ingin jelaskan, bukan mewakili maksud kiritikan publik. Setiap orang yang menjadi peserta seleksi tidak bisa memastikan, apakah diri mereka gugur karena tidak patut dan layak atau mereka memang tidak dikehendaki. Sebagai contoh, ada beberapa dosen yang bergelar doktor yang dilibatkan oleh KPU Sulsel untuk menjadi anggota tim seleksi. Harapannya adalah agar kewibawaan akademik yang ada pada tim seleksi yang mereka tunjuk dapat mempengaruhi proses seleksi sehingga prosesnya dapat diaudit secara akademik, baik metodenya maupun dasar-dasar penilaian yang kemudian merekomendasikan sebuah hasil. Bagi saya, semua maksud itu hanyalah pepesan kosong, pernyataan munafik.

Hasil yang direkomendasikan, baik calon 10 besar dari tim seleksi maupun lima calon terpilih dari KPU Sulsel, sama sekali tidak merefleksikan kesan-kesan akademik. Prosesnya tertutup, penetapan calon terpilihnya tetutup. Standar penilaian tidak dibakukan sejak awal sebelum kegiatan peniliaian dimulai. Beitu pula, standar etik dan moral tidak dibelakukan sama bagi semua peserta. Akibatnya, seorang kawan saya tidak lolos karena istrinya menjadi calon legislatif Pemilu 2009 sementara seorang calon lain lulus meski saya menjadi saksi hidup bahwa ia pernah memimpin pertemuan di Partai Golkar pada 2006. Pontensi lulus antara peserta yang keterampilannya hanya tukang sate dan mereka yang pernah menjadi anggota KPU di deaerah selama lima tahun, adalah sama. Saya akhirnya tergelitik melihat semua itu dan berpikir bahwa itukah yang disebut proses akademik yang dipergakan oleh kaum-kaum terpelajar di tim seleksi dan para anggota KPU Sulsel itu.

Oleh karena itu, anggota KPU terpilih bukanlah hasil riset atau penelitian. Saya sendiri punya alasan. Sebuah penelitian mensyaratkan landasan teori, metode untuk mengoperasikan konsep tentang data dan fakta sesuati teori, serta referensi penelitian sebelumnya (tinjauan pustaka). Setelah itu, barulah peneliti memfatwakan kesimpulan. Dalam hal ini, kesimpulan menjadi bukan titik sentral nafas proses akademik. Titik sentralnya justru pada konfigurasi dan kronologi proses yang mencakup tujuan penelitian, maksud penelitian, focus penelitian, teori, metode, unit analisis, dan sebagainya, yang kemudian mencerminkan “logical frame” proses yang disebut akademik. Apalagi, sebuah kesimpulan dalam penelitian akan selalu terkoreksi, sebagai tanda bahwa bukan hasil yang prioritas, melainkan standar-standar dari proses-proses itu.

Saya pernah berpikir dan kemudian berkesimpulan seperti itu. Tapi saya kembali berpikir bahwa tim seleksi dan anggota KPU Sulsel mempunyai potensi untuk menilai subyektif. Saya sadar bahwa cara menilai seperti itu tidak bertentangan undang-undangan atau peraturan yang ada. Menurut Pahir Halim, teman saya di KPU Makassar yang juga gagal masuk ke 10 Besar, mereka itu mempunyai hak untuk berkehendak apa pun yang mereka inginkan. Ia mengatakan itu menanggapi ketidaklulusannya. Apalagi, saya juga sudah tahu sebelumnya, bahwa proses ini rentan dengan pengaturan. Ibaratnya lelang pengadaan barang atau lelang kontrak, pemenang sudah ditentukan sebelum pembukaan lelang. Hanya saja, saya dan Pahir Halim tidak tahu waktu itu, apakah saya dan Pahir atau salah salah satunya saja sudah digandang-gadang sebagai calon pemenang. Pahir Halim dan saya kandas di tangan tim seleksi.

Saya pun menjadi sadar bahwa subyektivitas selalu membutuhkan kekuasaan. Bukankah, setiap proses menjadi, selalu ada kekuasaan yang diperlukan. Kekuasaan tim seleksi dan anggota KPU Sulsel, yang saya rasakan ketika itu, bukanlah kekuasaan yang possesive, occupative, atau governing. Kekuasaaan yang mereka miliki adalah kekuasaan yang erat kaitannya dengan cita rasa. Kekuasaan itu tidak untuk membatasi kekuasaan lain di luar dirinya, atau kekuasaan yang rawan oleh ancaman resiko. Kekuasaan yang mereka miliki adalah peluang untuk memilih posisi subyektif. Posisi itu juga sekaligus lebih mengukuhkan kekuasaan itu.

Cita rasa dari proses kekuasaan itu bukan ketika mengagendakan bentuk dan isi hasil dari proses itu, melainkan kepuasaan yang diberikan oleh proses itu. Saya menyebut itu sebagai cita rasa. Saya lantas mencatat posisi cita rasa itu pada kekuasaan yang ada di tangan tim seleksi dan anggota KPU Sulsel. Cita rasa yang paling puncak dari kekuasaan mereka sebagai tim seleksi dan atau anggota KPU Sulsel adalah ketika mereka berkemampuan mempermak yang salah menjadi benar dan mempermak yang benar menjadi salah. Seperti sebagian orang ketahui, kemampuan mempermak seperti itu pada proses seleksi calon anggota KPU Makassar 2008, betul-betul nyata dan terbukti. Cita rasa kekuasaan mereka tentu bukan bermanfaat kalau hanya membuat yang patut menjadi memang patut, atau mempertahankan yang layak karena memang kelayakannya betul-betul nyata.

Jika betul proses seleksi ini demikian adanya, tepat jika disebut bahwa ini bukan proses akademik atau proses yang dapat diaudit oleh metode-metode akademik. Saya melihat proses ini lebih banyak dikendalikan oleh naluri kemanusiaan yang paling dasar, yaitu didorong oleh rasa lapar dari perut. Sebuah proses yang tidak memerlukan nalar. Ya, cukup dengan naluri. Dengan dorongan itu, bisa jadi mereka sekarang sudah menjadi anggota KPU Kota Makassar 2008-2013. Selamat.
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim