SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Jumat, 27 Februari 2009

Gerakan Internet Sehat Digelar Usai Pileg

(26 Feb 2009, 10 x , Komentar)
Suhardi Duka Pimpin KKU

MAKASSAR -- Keluarga Komunikasi Unhas (KKU) mendorong sosialisasi aplikasi internet bagi masyarakat Makassar lewat Gerakan Internet Sehat. Menkominfo Muhammad Nuh dijadwalkan melaunching Gerakan Internet Sehat itu di sela-sela seminar nasional teknologi komunikasi di Makassar, Mei 2009.Ketua Harian KKU, M Hidayat Nahwi Rasul mengatakan Makassar menjadi kota pertama di Indonesia yang mendorong lahirnya Gerakan Internet Sehat. Masyarakat dituntut untuk mengetahui perkembangan dan kemajuan internet. Jangan sampai masyarakat masuk dalam kategori "gaptek" (gagap teknologi) di tengah derasnya serbuan dunia IT di tanah air.

"Dengan gerakan ini, kita sangat berharap agar masyarakat lebih mengetahui penerapan internet dan persoalan IT. Nah, KKU turut berperan memasyarakatkan internet di kota ini. Kita akan menggelarnya bulan Mei setelah pemilu legislatif," ujar Hidayat usai rapat formatur KKU di Warkop Phoenam, Selasa 24 Februari.

Sementara itu, rapat formatur KKU menetapkan Suhardi Duka sebagai Ketua Umum KKU periode 2009-2012. Bupati Mamuju itu dipilih secara aklamasi oleh para formatur yang terdiri atas 13 anggota.

Suhardi berharap agar KKU bisa mengambil peran dalam memajukan daerah. Katanya, KKU punya potensi besar mengembangkan Sulsel karena dihuni oleh para alumni komunikasi yang andal. "Teman-teman yang ada dalam KKU adalah orang-orang hebat yang bisa diandalkan mengembangkan daerah ini," kata Suhardi.

Selain Hidayat, Sekjen KKU dijabat Syamsu Rizal MI (DPRD Makassar), ketua-ketuanya M Iqbal Sultan (dosen Komunikasi Unhas), M Akbar (Deputi III Unifa), Gener Wakulu (praktisi media), sekretarisnya Asdar "Cikon" Tukan (caleg Makassar), Maqbul Halim (eks anggota KPU Makassar), Leo Priyanto (praktisi periklanan), Muh Idrus (mahasiswa S2 Unhas). (lan)

Sumber: Harian FAJAR Edisi 26 Februari 2009
http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=87172
Akses: tanggal 27 Februari 209
Selengkapnya >>

Kamis, 26 Februari 2009

Formatur KKU Bertemu di Phoenam

Laporan: Eki Sakkirang. eki.tribuntimur@gmail.com
Rabu, 25 Februari 2009 | 12:43 WITA

MAKASSAR, TRIBUN - Para anggota formatur yang akan membentuk organisasi Alumni Komunikasi Universitas Hasanuddin (KKU) kini menggelar pertemuan di Warung Kopi Phoenam Boulevard, Makassar.

Pertemuan ini untuk membicarakan pertemuan untuk membentuk secara resmi dan memilih pengurus KKU, yang merupakan rekomendasi dari Kongres Komunikasi Unhas, beberaapa waktu lalu.

Alumni Komunikasi Unhas, Asdar Tukan, yang juga anggota formatur KKU mengungkapkan hal itu kepada tribun-timur.com.

Mereka yang dipercaya sebagai formatur, di antaranya, Suhardi Duka (Bupati Mamuju), Hidayat Nahwirasul (pengusaha/politisi), Dr Ikbal Sultan (dosen Ilmu Komunikasi Unhas), Gener Wakulu (praktisi media), Ryana Musatamin (manajer perusahaan asuransi), Kurniawaty Nara (dosen Universitas Paramadina Jakarta), Syamsul Rizal MI (anggota DPRD Makassar), Maqbul Halim (mantan anggota KPU Makassar), Asdar Tukan (politisi), dan Leo Aprianto (praktisi PR dan advertising).


KKU nantinya akan menjadi organisasi yang menghimpun alumni di seluruh Indonesia dan mancenegara ini secara informal sudah berjalan dalam lima tahun terakhir, termasuk di Jakarta.

KKU sudah membuat miling list sebagai wadah komununikasi alumni."Teman-teman merespon wadah KKU. Alumni yang bergabung di milist pun semakin bertambah dan kita juga memanfaatkan sarana Facebook untuk saling menyapa kembali teman-teman yang sudah lama berpisah," kata salah satu penggagas KKU, Gener Wakulu.(*)

Sumber: Tribun Timur Online Rabu, 25 Februari 2009
http://www.tribun-timur.com/read/artikel/13577
Akses tanggal 26 Februari 2009
Selengkapnya >>

Senin, 23 Februari 2009

Akses ke Jejaring Sosial

ulasan
Sabtu, 21 Februari 2009

Berbicara mengenai sistem suara pemilu legislatif, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, sebelum terbitnya putusan mahkamah konstitusi (MK) soal suara terbanyak. Di mana nomor urut ikut menentukan calon terpilih. Secara logika, nomor urut sampai sampai tiga menandakan akses ke dalam partai cukup kuat.

Sementara figur yang menempati nomor urut besar hanya dipandang sebagai vote getter, pengumpul suara. Untuk situasi pertama ini nomor urut kecil bisa tidur tenang menghadapi pemilihan. Penekanan saya di sini, caleg dengan nomor urut kecil memiliki akses penting ke internal partai. Paling tidak mereka adalah caleg yang bisa mempengaruhi pengambilan kebijakan di internal organisasi.

Situasi kedua pascakeputusan MK, cara pandang terhadap nomor urut berubah. Mulai pemangku nomor urut kecil hingga besar memiliki kedudukan yang sama dari segi peluang.

Sehingga masalah kemudain terjadi karena peluang setara akhirnya jenjang kasta dalam partai menjadi hilang. Misalnya tidak ada perbedaan antara sekretaris dengan fungsionaris biasa. Jenjang itu menjadi kabur.

Dengan sistem suara terbanyak yang diterapkan, bukan lagi akses kuat ke internal partai yang penting tapi akses ke komunitas, jejaring sosial yang sangat menentukan. Tidak ada lagi istilah vote getter. Partai-partai yang tidak siap dengan sistem suara terbanyak ini kelabakan.

Kuncinya, dari situasi ini ada perubahan paradigma di antara sesama kader partai. Dulu pengurus dan anggota memiliki perbedaan dipandang dari segi kepartaian. Sekarang, ketika berposisi sebagai caleg, perbedaan itu tidak ada lagi. Tinggal bagaimana partai mengatur kode etik agar sesama caleg tidak saling "menyerang".
Menghadapi Pemilu 2014, situasinya akan relatif sama. Karena bukan lagi nomor urut atau peringkat dalam daftar calon yang menjadi persoalan, tapi bagaimana caranya menjadi caleg.

Agar pengurus parpol memiliki bargaining, yang sekarang diperketat adalah seleksi menjadi caleg. Kemungkinan di 2014 nanti, tidak banyak partai lagi. Sehingga tidak banyak arena di mana semua orang menjadi calon. Singkatnya sedikit partai sedikit peluang menjadi calon. Pengurus akan memanfaatkan itu menyeleksi orang yang bakal mewakili partai ke parlemen. (sur)

*Makbul Halim, mantan Anggota KPU makassar

Sumber: Harian Tribun Timur Edisi Sabtu, 21 Februari 2009
http://www.tribun-timur.com//read/artikel/12752
Akses: 23/02/09
Selengkapnya >>

Sistem Suara Terbanyak Semangati Caleg Incumbent

Meski Dapat Nomor Urut Sepatu
Sabtu, 21 Februari 2009

Makassar, Tribun- Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 214 UU Nomor 10/2008 bahwa perolehan suara tidak berdasarkan nomor urut tetapi berdasarkan suara terbanyak menginspirasi sejumlah calon legislatif yang mendapat nomor urut besar. Keputusan ini juga menghidupkan kembali peluang sejumlah caleg incumbent dengan nomor urut sepatu.

"Pokoknya, tidak ada hari tanpa sosialisasi. Ini adalah pemilu pertama di mana caleg dengan suara terbanyak yang akan mewakili rakyat. Sistem suara terbanyak memberi energi berlipat untuk bekerja," kata caleg Golkar Sulsel, Madjid Tahir, di DPRD Sulsel, Jumat (20/2).

Majid adalah legislator beringin dan kembali mencalonkan diri. Kali ini mendapat nomor urut tujuh di Dapil VII, Luwu, Luwu Timur, Luwu Utara, dan Palopo. Di dapil Luwu Raya ini, juga ada nama Isjaya Kaladeng yang ditempatkan di nomor urut lima.
Hal senada disampaikan caleg nomor urut tujuh PKS dari Dapil Makassar, Munawwar Abd Djabbar. Meski berstatus wakil rakyat, Munawwar kebagian nomor urut sepatu. Kasus yang menimpa politisi senior ini juga terjadi pada koleganya di PKS, Susi Smitha Pattisahusiwa yang mendapat jatah nomor lima di dapil yang sama.
Di Dapil II, Gowa, Takalar, dan Jeneponto, legislator Golkar yang dikenal dekat dengan Wagub Agus Arifin Nu'mang, Chaidir Arief Krg Sijaya kebagian nomor urut sepuluh dari total 13 caleg yang diajukan Golkar. Sijaya yang dikenal rajin berkantor setiap hari di parlemen lebih banyak menghabiskan waktu di daerah.
Dari catatan Tribun, terdapat 20 caleg incumbent yang kebagian nomor urut besar (Lihat, Mereka Diuntungkan).
Dibanding caleg pendatang baru dengan nomor urut besar, mereka memiliki peluang sama melenggang kembali ke parlemen. Peluang mereka sama dengan caleg di nomor urut satu.
"Dengan bekal popularitas selama lima tahun mereka sudah dikenal konstituennya. Tinggal bagaimana mensosialisasikan nomor urutnya," kata mantan anggota KPU Makassar, Maqbul Halim, terkait peluang caleg incumbent dengan nomor sepatu ini. Sebagai incumbent, caleg ini mendapat "fasilitas" dari kas negara untuk membiayai perjalananya ke daerah. Tunjangan komunikasi Rp 9 juta per bulan, tunjangan reses Rp 15 juta per empat bulan plus gaji bulanan di angka Rp 20 jutaan menjadi salah satu modal berharga dibanding caleg pendatang baru. Belum termasuk akses ke birokrasi daerah yang menjadi dapilnya.
(sur)

Sumber: Harian Tribun Timur Edisi Sabtu, 21 Februari 2009
http://www.tribun-timur.com//read/artikel/12753
Akses: 23 Februari 2009
Selengkapnya >>

Jumat, 20 Februari 2009

Koordinator Jurnalis Makassar Jalani Sidang

Laporan: Jumadi Mappanganro. jum_tribun@yahoo.com
Selasa, 17 Februari 2009 | 13:02 WITA

Makassar, Tribun -- Koordinator Koalisi Junalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar Upi Asmaradhana siang ini menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Selasa (17/2).

Sidang kali ini mendengarkan pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU) yang dibacakan Bambang Eka, Imran Yusuf, dan Eka W. Sidang kasus ini dipimpin majelis hakim Parlas Nababan (ketua), Kemal Tampubolon, dan Mustari.

Upi adalah terdakwa atas laporan Irjen Polisi Sisno Adiwinoto, mantan Kapolda Sulselbar. Upi dituduh telah memfitnah dengan tulisan dan atau penghasutan atas diri Sisno Adiwinoto.
Sejumlah advokat yang menjadi tim pembela Upi terlihat di antaranya Abraham Samad, M Hasbi Abdullah, Abdul Muttalib, Anwar, Abdul Azis, Abdul Muin, M Dahlang, dan beberapa pengacara dari LBH Makassar. Terlihat di antara pengunjung juga hadir Nasaruddin Pasigai.

Puluhan jurnalis dari berbagai media memadati kursi pengunjung. Mereka umumnya mengenakan pakaian hitam-hitam sebagai simbol berduka atas terancamnya kebebasan pers menyusulnya diseretnya Upi sebagai terdakwa atas laporan Sisno Adiwinoto.

Sejumlah pengacara seperti Nasaruddin Pasigai dan beberapa aktivis LSM seperti Ketua Forum Informasi dan Komunikasi (FIK) Ornop Sulsel Khudli Khuduri dan mantan anggota KPU Kota Makassar Maqbul Halim juga tampak berdiri di ruangan sidang menyaksikan JPU bacakan dakwaannya.

Sebelum sidang digelar, sejumlah jurnalis membagi-bagikan bunga kertas yang dihiasi kertas bertuliskan Stop Kriminalisasi Pers dan Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers kepada para JPU dan hakim.

Inilah sidang kali pertama yang mendudukkan jurnalis sebagai terdakwa karena kasus tuduhan penghinaan seorang pejabat.(*)

Sumber: Tribun-Timur.com Online Selasa, 17 Februari 2009
http://www.tribun-timur.com/read/artikel/11946
Akses; 20/02/09
Selengkapnya >>

Selasa, 17 Februari 2009

Temu Konstituen Caleg Perempuan

















Temu Konstituen Caleg Perempuan, Kerjasama LSKP Makassar dan The Asia Foundation (TAF)di Hotel Singgasana Makassar, 17 Februari 2009



Selengkapnya >>

Rabu, 11 Februari 2009

Puisi MUI tentang Rokok dan Golput

Oleh Maqbul Halim
Rabu, 4 Februari 2009

Seorang bertanya tentang fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia). Pertanyaannya jenaka. Orang ini menanyakan hubungan antara ayat Al-Quran sebagai satu pokok dengan rokok atau pemberian suara pada Pemilu 2009 sebagai pokok lainnya dalam fatwa MUI.

Untuk masalah rokok dan hak pilih pada Pemilu, beberapa bagiannya dapat saya jelaskan ala kadarnya. Namun untuk mengulas isi Al-Qur'an, tentu saya bukan ahlinya.

Tetapi hubungan dua bagian itu, tetaplah sebuah kegilaan, dan juga konyol. Dalam situasi apa, hubungan antara rokok dan ayat suci dapat ditemukan keterkaitannya? Atau, bagaimana memahami Al-Quran sehingga kitab suci ini juga mengatur hak pilih pada Pemilu? Kira-kira seperti itu pertanyaannya. Agak jenaka.

Contoh kaitan yang sederhana tapi tidak gila adalah setelah seseorang bertadarrus Al-Qur'an, ia lalu menghisap sebatang rokok. Contoh kaitan yang konyol adalah sebagian anggota MUI yang akan memfatwakan haramnya rokok adalah perokok kawakan.

Kaitan Konyol
Para anggota MUI ini tidak punya potensi hamil, yang semuanya adalah pria. Dan lagi pula mereka bukan lagi anak-anak. Maka, fatwa haram merokok akhirnya hanya dikenakan kepada mereka yang perempuan hamil (bukan pria) dan anak-anak.

Kaitan antara perintah Tuhan dan kegiatan pemberian suara pada pemilu juga punya saling kait yang relatif tidak gila. Contohnya adalah sebelum atau sesudah memberikan suara di TPS pada Pemilu, seseorang melakukan kegiatan tadarrus Al-Qur'an. Atau, ketua KPPS membaca basmalah atau bedoa dengan ayat-ayat Al-Quran ketika membuka sidang pemungutan suara.

Kaitan yang konyol adalah para anggota MUI yang akan memfatwakan haramnya golput atau tidak memilih ternyata adalah calon legislatif atau pengurus partai politik. Paling tidak, keluarga atau sahabat mereka adalah calon legislatif yang butuh partisipasi pemilih yang tinggi.

Risiko bahaya dari kegiatan merokok sehingga diharamkan adalah tidak lebih sebagai upaya keras Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengekspresikan kepicikan mereka dalam ber-Islam. Saya kira, Tuhan saja mungkin tidak sampai hati melarang (mengharamkan) hamba-Nya menggenggam besi panas membara atau meminum air panas 100 derajat celcius mendidih.

Jika demikian, tentu penting pula MUI mengharamkan kebut-kebutan di jalanan bagi pengendara, haram gunakan kacamata hitam mengendarai motor pada malam yang gelap, bermain bulutangkis bagi perempuan hamil, tidak membayar rekening listrik, atau membangun rumah tinggal permanen di tengah jalan raya.

Fatwa MUI
Terlepas dari apa yang diharamkan oleh MUI dalam fatwanya, pihak-pihak yang menjadi target fatwa itu juga tidak pernah jelas. Kali ini, saya kembali mendapatkan pertanyaan: siapa-siapa saja yang terikat kewajiban oleh fatwa MUI itu?

Konon, fatwa MUI itu mengikat bagi umat Islam karena itu adalah hasil ijtihad terhadap Al-Qur'an. Itu artinya fatwa itu mengikat bagi mereka yang beragama Islam, entah ia di negara mana pun atau apa pun kebangsaannya. Persoalannya, bagaimana efektifnya daya ikat fatwa MUI itu bagi umat Islam di Inggris, Kazakstan, Turki, atau Thailand misalnya.

Apakah umat Islam di negeri-negeri itu harus tunduk pada fatwa MUI tersebut? Setahu saya, negeri itu tidak terjangkau oleh sinyal fatwa MUI. Islamnya MUI juga tentu sangat berbeda dengan dengan Islam yang dianut oleh muslim di Turki atau Iran, misalnya. Buktinya, golput atau tidak memilih bukanlah perbuatan haram menurut Islam pada dua negara tersebut.

Islam yang dianut MUI dan NU (Nahdatul Ulama) juga beda. Menurut Islamnya NU, merokok itu makruh. Hal itu menunjukkan bahwa Fatwa MUI hanyalah salah satu pilihan. Lagi pula, Islam yang difatwakan oleh MUI adalah "Islam Kepentingan". Artinya, MUI sendiri adalah "customer service" bagi kepentingan pelanggannya.

Masa Lalu
Jawaban atas pertanyaan tentang siapa saja yang dibebani kewajiban untuk tunduk pada fatwa MUI, kini semakin gampang. Mereka itu adalah hanya yang mempunyai Kartu Tanda Anggota (KTA) MUI. Mungkin saja ada pemegang KTA MUI tidak tunduk pada fatwa MUI, apalagi yang bukan pemegang KTA MUI. Jadi, yang bukan anggota MUI, tentu tidak wajib mengikuti fatwa MUI.

Secara kelembagaan , MUI adalah jejak masa lalu. Lembaga ini pernah menjadi "state apparatus" bagi kekuasaan Orde Baru. Orde Baru adalah bisul RI yang menyalahgunakan kekuasaan dan kedaulatan negara. MUI adalah kaki tangannya. Itulah sebabnya MUI disebut masa lalu yang pahit. Eksistensi MUI saat ini adalah bukti bahwa umat Islam Indonesia belum bisa lepas dari belenggu kepahitan itu.

Fungsi MUI saat ini tentu tidak lagi seperti ketika Orde Baru. Saat ini bukan hanya kepentingan pemerintah saja yang menjadi beban fatwa MUI. Oleh karena itu fatwa-fatwa MUI dapat juga disebut Fatwa Multiguna. Maksudnya, orientasi manfaat dan tujuan fatwa ditentukan oleh kegunaan yang diharapkan oleh pemesan (customer).

Karena MUI mengurus masalah dalil-dalil tentang cara memahami ajaran Islam dan ritual-ritualnya, maka MUI akhirnya menjadi salah satu sekte dalam Islam di Indonesia. Organisasi sekte ini tidak pernah dipersoalkan keberadaannya karena memang lebih dahulu mendapat legitimasi dari pemerintah. Sekte Ahmadiyah adalah saingan terberat MUI akhir-akhir ini.

Urusan MUI dan urusan Pemilu/Rokok memang tidak dalam satu kategori. Kalau pun benar, tetap saja tak ada eksistensi yang menyebabkan adanya alasan keduanya berada dalam satu kategori.

Ini akan sama sulitnya menempatkan persoalan kelamin dan ruang angkasa dalam satu kategori. Sulit bagi astronot menangani penyakit kelamin. Sebaliknya juga, sulit bagi dokter kelamin menangani persoalan antariksa. Tapi eksistensi MUI meruntuhkan tesis kelamin dan ruang angkasa itu.

Jika ada pertanyaan tentang apa-apa saja yang menjadi kewenangan MUI, maka jawabannya adalah kewenangan MUI adalah mengurus semua urusan kecuali urusan keagamaan.

Penulis: Ketua MASIKA ICMI Orwil Sulawesi Selatan

Sumber: Harian Tribun Timur Edisi 4 Februari 2009
http://www.tribun-timur.com/read/artikel/9404
Tanggal Akses: 11 Februari 2009
Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim