SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 15 Desember 2009

Habibie: Indonesia Kaya, Tapi Warga Miskin

Citizen Reporter: Maqbul Halim dari Batam, Kepualuan Riau
Sabtu, 12 Desember 2009 | 02:03 WITA

SILATURAHMI Kerja Nasional (Silaknas) Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang berlangsung di Batam, Kepulauan Riau, 11-13 Desember 2009, dihadiri dan dibuka oleh Presiden Ke-3 RI BJ Habibie. Selain membuka, pendiri dan Ketua Dewan Pembina ICMI ini juga memberi orasi selama dua jam 15 menit.

Dalam orasinya, Habibie mengatakan bahwa kekayaan Bangsa Indonesia harus ditransformasi dari kekayaan sumber daya alam (SDA) ke sumber daya manusia (SDM). Jika hal itu tidak ditransformasi, maka fakta bahwa bangsa Indonesia kaya akan SDA tetapi warga hidup miskin.

"Ini fakta, dimana bangsa kita kaya akan sumber daya alam, namun manusianya hidup miskin," kata Habibie. SDA harus menjadi modal dasar dan menunjang pengembangan SDM. Dengan cara itu, katanya, maka kita tidak perlu dipusingkan dari mana gerangan kita mendapatkan modal untuk pengembangan SDM.

Semua pihak harus bertanggung jawab untuk membantu bangsa ini dalam tranformasi dari kaya SDA menjadi kaya SDM. Untuk itu, kata Habibie, upaya harus dilandasi dengan tiga prinsip dasar, yaitu kerja keras, selesaikan masalah secepat-cepatnya dengan pengorbanan sekecil mungkin, dan rasional/fair dalam bekerja.

Selain itu, pasar dalam negeri harus menjadi motor penggerak bagi industri dalam negeri. Ia mencotohkan mobil buatan Jerman menjadi mobil yang paling banyak digunakan oleh warga Jerman sendiri. Demikian juga di Jepang, ia mencotohkannya lagi. Di negeri matahari hari terbit itu, lebih 80 persen warga Jepang menggunakan mobil yang diproduksi oleh perusahaan otomotif dalam negeri.

Pada silknas tahun ini, seperti dilaporkan salah seorang peserta, Maqbul Halim, ICMI Orwil Sulsel mengutus delegasi yang terdiri atas badan otonom seperti Masika ICMI Orwil Sulsel, FCMP ICMI Sulsel, Simpul Madani Sulsel, ICMI Bangun Karakter Bangsa, Orbit, serta organisasi daerah dan organisasi satua se-Sulsel.

Jumlah delegasi ICMI Orwil Sulsel yang terdaftar di panitia adalah sebanyak 42 orang. Jumlah ini merupakan jumlah terbesar dari seluruh delegasi yang terdaftar di panitia.(*)

Sumber: http://tribun-timur.com/read/artikel/62460
Akses: 15 Desember 2009

Selengkapnya >>

Kamis, 10 Desember 2009

SBY dan Citra Anti Korupsinya

Thursday, December 10, 2009 at 3:41pm | Edit Note | Delete

Ketika Chandra dan Bibit ditetapkan sebagai tersangka, SBY sangat antusias menyambut status itu. SBY menjadi motivator bagi kepolisian yang berwenang menangani pemeriksaan kedua petinggi KPK tersebut. Status tersangka yang dilekatkan oleh polisi kepada kedua orang ini sekaligus menjadi maskot lembaran baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Tanpa sedikit pun rasa canggung, pihak kepolisian dan kejaksaan bertekad membersihkan anasir korupsi dari tubuh KPK.

Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hanya berpidato, dengan api yang menyala menjalar dari mikrofon ke loudspeaker. Kata "tidak" kepada para koruptor oleh SBY bukan sebuah modal politik dan hukum untuk mengenyahkan para koruptor dari tubuh kabinetnya. "Tidak" itu adalah kata yang tidak memiliki niat untuk melawan. Kata itu hanyalah komponen pencitraan yang sedang dilakoni SBY. Sejatinya, ia harus senantiasa dalam perilaku santun dan penuh pesona.

Sudah dua kali SBY berpidato, menjelelaskan sebuah ketidakjelasan dengan narasi yang tidak jelas. Ia tidak pernah lugas dan enteng mengumbar usahanya melawan korupsi. Sikap yang paling tinggi yang ia miliki adalah membenci korupsi dan koruptor. Membenci hanyalah sebuah suasana hati, bukan sebuah program kerja atau, yang cukup jauh dari suasana hati, sebuah karakter. Sikap ini memang terkesan agak keremajaan dan genit. Kita tahu, sikapnya itu dilatari oleh jabatan kenegaraan tinggi, Presiden Republik Indonesia. Di sinilah letaknya sehingga sikap ini kemudian menjadi lucu dan mengkitik.

Audiens sesungguhnya berharap tinggi kepada presiden, dimana presiden bakal menyebutkan nama Anggodo secara blak-blakan sebagai sebuah masalah dalam pemberantasan korupsi. Atau, beliau berbicara sebagai pendengar dari pendapat publik perihal polisi Susno Duaji atau jaksa Ritonga. Atau, presiden mengurai satu per satu rekomentasi Tim Delapan. Tapi rupanya, presiden memilih absen dari persoalan-persoalan itu. Presiden memilih menerangkan masalah-masalah seputar korupsi yang dapat meningkatkan popularitasnya. Ia memilih berbicara sebagai bapak yang baik, yang mengayomi semua pihak, dan harus didengar oleh pihak manapun meski pihak-pihak itu dalam keadaan kantuk.

Pada akhirnya, penampilan SBY menyikapi masalah kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century, termasuk soal mafia hukum yang menjadikan Anggodo menjadi tokoh sentral dalam rekaman penyadapan, menjadi penampilan yang sama sekali tidak memberi rasa enak dan kebanggaan. Media di Jakarta menyebut pidato terakhir presiden jelang hari Anti Korupsi se-Dunia 9 Desember 2009 ini sebagai pidato yang menyejukkan kondisi yang tengah memanas. Namun, pidato itu sesungguhnya tidak memberi arah yang terang dan sama sekali tidak produktif.

Publik masih bisa memutar kembali memori ingatannya dalam suatu pidato SBY di akhir Oktober 2009 dalam keterangan pers di kantornya, yang menyebutkan bahwa dirinya akan terdepan dalam pemberantasan korupsi. Pidato itu merupakan respon atas kecurigaan berbagai pihak akan upaya pemerintah di bawah kepemimpinan SBY untuk melemahkan KPK. Ketika masyarakat sipil dalam empat bulan terakhir ini berjibaku menyerukan penguatan KPK dan penentangan mafia hukum dalam melumpuhkan upaya pemberantasan korupsi, SBY justru berada di urutan paling belakang.

Mengapa beliau berada di urutan paling belakang? Sederhana saja. Itu terjadi karena beliau lebih banyak berpidato ketimbang bertindak. Ia lebih banyak berpidato ketimbang mengambil keputusan dan tindakan. Ia lebih banyak memilih sikap yang justru mengingkari fakta empiris. Ketika ia berjanji, ia hanya berasumsi tentang apa yang akan dilakukan dirinya. Asumsi inilah yang disosialisasikan melalui kegiatan pencitraan.

Terakhir, SBY menggunakan senjata konvensional untuk membungkam pihak-pihak yang menyerang orang-orang dekatnya, baik koleganya maupun personel kabinetnya, yang diduga terlibat dalam kasus kriminalisasi KPK, skandal Bank Century, dan aktor-aktor mafia hukum pada hasil rekaman penyadapan KPK. Senjata konvensional itu adalah mencurigai pihak-pihak tersebut hendak melakukan tindakan makar terhadap pemerintahan yang sah yang dipimpinnya. Hal itu dikemukakan SBY di depan peserta Rapat Pimpinan Partai Demokrat di Jakarta pada awal Desember 2009. Inilah senjata favorit Soeharto di zaman Orde Baru, dan juga digunakan oleh B.J. Habibie ketika menjabat presiden di masa transisi.

http://www.facebook.com/home.php?#/note.php?note_id=200017161366
Selengkapnya >>

Kamis, 03 Desember 2009

Kriminalisasi KPK menuju Bank Century

Thursday, December 3, 2009 at 7:49am | Edit Note | Delete

Setiap kali membaca berita soal Skandal Kirminalisasi di KPK yang diduga melibatkan penyidik Polri dan Kejaksaan Agung, saya tidak berpikir tentang skandal itu. Demikian juga ketika saya membaca berita tentang Skandal Bank Century, saya tidak berpikir tentang skandal ini. Saya berpikir tentang SBY, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB II), dan Partai Demokrat.

Saya yakin, muara dan hulu skandal kriminalisasi dan Bailout Bank Century adalah korupsi. Saya tahu, ketika kampanye legislatif dan presiden 2009, SBY mengaku tidak akan berkompromi dengan hal ikhwal korupsi. Bahkan, ide tentang penentangannya pada korupsi merupakan ide yang paling dominan pada isi kampanyenya.

Lalu, KIB II sebagai sebuah harapan bagi nasib pembangunan Indonesia juga terancam tergadaikan. Saya tidak bisa memungkiri dimana Budiono dan Sri Mulyani adalah pilar penyangga utama bagi KIB II SBY. Kedua orang ini menjadi tumor yang mengakar mencengkram di dinding "hati" KIB II. Tentu sulit mengorbankan "hati" untuk membuang tumor itu. Meski demikian, pilihan ini juga bukan berarti harus berakhir dengan kematian. Sebab, jika SBY merasa dirinya sehat, kedua orang ini bisa juga menjadi trigger bagi bubar kabinet KIB II. Masih ada harapan, dimana masalah ini bakal tidak berhadap dengan pilihan sulit itu, yakni buang tumor bersama hati dan KIB II mati (bubar), ataukah tetap mempertahankan hati meski ada tumor dan tetap akan mati (bubar) dalam beberapa waktu kemudian.

Soal dana kampanye, saya mengalami sebuah kelucuan. Partai Demokrat begitu yakin tidak menerima kucuran dana dari skandal Bank Century. Kata Ahmad Mubarokh, petinggi Partai Demokrat, KPU sudah mengaudit dana kampanye Partai Demokrat. Audit itu melibat auditor independen. Hasilnya, tidak masalah sumber dana (penyumbang). Dana Kampanye yang dihabiskan partai demokrat waktu kampanye legislatif dan presiden baru-baru ini termasuk tertinggi setelah Partai Gerindra, yaitu Rp 243,8 miliar. Saya tentu masih bisa bertanya, bisakah dipercaya KPU bekerja dalam menjalankan tugas-tugasnya pada Pemilu 2009 yang lalu? Saya percaya, bukan KPU yang seperti sekarang ini yang layak dipercaya untuk masalah yang telah menjadi skandal. Dalam berbagai pemberitaan, saya tahu bahwa ketika pelaporan dana kampanye untuk pemilihan legilslatif maupun presiden, Partai Demokrat maupun Tim Kampanye SBY-Budiono beberapa kali mengalami kegugupan. Mereka gugup karena ada bagian-bagian dari laporannya yang tidak sesuai dengan fakta lapangan.

http://www.facebook.com/home.php?#/note.php?note_id=193700821366

Selengkapnya >>

follow me @maqbulhalim