SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 16 Desember 2014

Setia Raja

Setiap orang ingin dirinya menjadi raja. “Ingin”, seperti halnya menghayal, adalah hak setiap orang. Karena keinginan menjadi raja itu, maka setiap orang ingin menguasai apa saja, termasuk pikiran dan masa depan orang-orang.

Ya, setiap orang ingin dirinya menjadi raja. Karena itu, ia ingin dirinya dilayani hingga pelayan kehabisan masa depan dan pikirannya. Ia ingin, mulai dari bunga pucuk semangka hingga cita-cita anak pelayannya, semua wajib melayani dirinya.

Dalam perangai raja, kesetiaan adalah syair yang tidak pernah jelas mula muasalnya. Seperti ujung samudera di tepi horison langit. Ia, kesetiaan itu, mungkin juga seperti sepotong roti dan secangkir teh panas ketika bangun terjada dari tidur, saat sendiri di suatu pulau di tengah samudera. Muncul tanpa kita sadari.

Tapi orang-orang yang berlutut di tepi permadani, dalam ketenangannya, orang-orang itu menyaksikan kesetiaan berhenti. Kesetiaan tidak seperti yang saya bayangkan, seperti istirahat atau berkhianat, tetapi yang ini berhenti. Seperti mahluk yang lamat-lamat mati kelapan, atau juga seperti jantung yang berhenti begitu saja, lalu hening.

Nah, dalam setiap syair kesetiaan, juga ada ketegangan yang hampa. Sebuah ketegangan yang bukan suatu dedikasi. Di dalamnya, ada deklarasi yang diperdengarkan di bawah awan hitam yang berpetir. Di dalamnya, tak ada bahaya yang harus dihitung dan dicemasi. Kehilangan dalam kesetiaan, telah terbiasa tidak diakui. Bahkan hingga tidak diketahui.

Kesetiaan yang dikuasai seorang raja, bukanlah gurun pasir yang tepiannya dibatasi dari rawa, atau dibatasi dari padang rumput. Batas yang memisahkannya adalah suatu nuansa, dimana tak ada batas yang tegas setipis kulit bawang yang mengiris warna putih dari hitam, atau mengiris warna hitam dari putih.

Tapi ingat, janji itu bukan beton yang tidak berpindah-pindah, alias kokoh. Bukan aksara yang terukir di atas permukaan batu granit. Janji bisa sebaliknya, seperti perahu yang tidak tertambat. Janji tidak mengontrol, dan lebih labil dari pada rekaman. Kesetiaan itu tumbuh dari janji-janji itu, yang umumnya tidak diucapkan dalam kebebasan.

Makanya, kesetiaan bukanlah beton. Bukan hal yang final, yang dengan mudah diasumsikan, atau disimpulkan peneliti. Kesetiaan itu adalah buku teks yang tidak mungkin bisa final.
Seorang yang hidup dengan janji, berarti dia hidup dalam kesetiaan. Pada gilirannya, saat janji itu terjawab, itu berarti hidup keluar dari kesetiaan. Sikap seseorang terhadap janji itulah yang mengukur sepanjang bagaimanakah suatu kesetiaan berumur.

Hidup dengan janji, berarti hidup dalam kesetiaan: dikuasai, melayani, dan bersumpah. Antara raja dan setia, ada kalimat yang tidak kuat. 


Makassar, 15 Desember 2014

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim