SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Kamis, 30 Juli 2015

Uang Setan dan Uang Iblis

From: http://images.rapgenius.com
Seorang pemilik kedai kopi di Kota Makassar bernama Rudy, bertanya kepada saya tadi siang sembari saya menyeruput secangkir kopi. Dari tatapan matanya, saya tahu ia ingin bertanya tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Dia katakan bahwa seorang calon gubernur di Indonesia harus siap-siap dengan uang sejumlah paling kurang Rp 200 milyar jika ingin ikut bertarung dalam pemilihan kepala daerah. Rudy juga menyebutkan bahwa untuk calon bupati, harus menyiapkan duit paling kurang Rp 50 milyar.

Itulah yang ingin Rudy konfirmasi kepada saya, apakah itu betul? Saya jawab bahwa itu betul. Betul 150 persen. Rudy tiba-tiba berpikir membandingkan uang sebanyak itu jika ia menggunakannya untuk menjalankan “bisnis halal”.

Lalu saya meluruskan pikiran Rudy yang komparatif itu. Pilkada adalah suatu arena dimana “uang iblis” dan “uang setan” saling mengintai dan mengintimidasi. Iblis memakan “uang setan” dan setan memangsa “uang iblis”.

Pilkada adalah arena “hitam”, dimana orang-orang tidak tega mengucurkan harta dan rejeki mereka yang didapatkan di jalan halal.

Rudy kemudian bertanya lagi, dari mana calon-calon itu mendapatkan “uang setan” atau “uang jin” itu?

Sekali lagi, bahwa sulit memiliki calon kepala daerah yang ingin menggunakan “uang halal”-nya bertarung di pilkada. Mereka umumnya disokong oleh pengusaha atau investor yang sudah lama bergelut dengan bisnis. Alapagi, calon-calon itu tidak punya uang “baik-baik” hingga sejumlah Rp 200 milyar atau Rp 50 milyar.

Rudy, yang juga seorang pengusaha, keberatan dengan pejelasan saya. Pengusaha atau pebisnis, katanya, tidak mungkin mengucurkan “uang tidak baik”. Alasan Rudy, karena pengusaha atau pebinis hanya punya “uang baik-baik”.

Pada sisi lain, Rudy ada betulnya tentang itu. Tetapi pada sisi yang kelam, Rudy juga tahu bahwa bisnis yang mengelolah proyek APBN dan APBD adalah bisnis yang kerap disebut BISNIS MAKAN BURUNG BERAK KERBAU. Apa itu? Hanya memakan satu sendok, tetapi beraknya satu karung.

Kepada Rudy saya melanjutkan penjelasan. Ada proyek APBN/APBD bernilai Rp 100 milyar, misalnya. Anda mestinya hanya untung paling banyak 20 persen. Ternyata anda bisa untung sampai 50 persen. Nah, yang 30 persen sisanya itulah yang paling gaduh masuk arena pilkada.

Rudy juga tidak lupa bertanya perihal motif pebisnis yang menjadi investor di pilkada. Saya katakan bahwa jika di telpon seluler ada kuota intenet. Maka dalam pemerintahan daerah hasil pilkada, ada juga yang disebut kuota APBD. Kuota itulah motif mereka.

Ada juga investor lain yang bisa berinvestasi di pilkada karena sukses membisniskan jabatan basah dan perizinan.

Saya bertanya, apakah Rudy berhasrat menjadi calon kepala daerah? Dia terbahak. Dia merasa lucu jika ia punya pikiran seperti itu.

“Pak Maqbul, kalau saya punya duit Rp 200 milyar, saya tenang dapat bunga deposito Rp 80 juta per bulan. Tidak ada yang ganggu,” kata Rudy.

Ia bungkam ketika saya timpali bahwa memang dia bisa tenang tetapi tidak bakal pernah mendapatkan kehormatan. Dia hanya berujar simpel bahwa tidak perlu dirinya terhormat dengan cara konyol seperti itu.

Rudy, kamu lugu tapi tidak bijaksana!


Makassar, 30 Juli 2015. 

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim