SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Jumat, 07 Agustus 2015

Korban Partai


sumber: Kompas.com
Suatu pagi di pangkal Mei 2015, saya menyertai seorang birokrat senior memenuhi panggilan salah satu partai politik (parpol) di Kota Makassar. Hari masih pagi, jalan AP Pettarani masih lengang. Sekretariat parpol tingkat provinsi yang dituju juga belum “bangun”.

Dalam cerita ini, saya memberi nama birokrat ini dengan nama “Petta”. Petta ini, seperti juga figur-figur lain yang hendak menjadi calon kepala daerah, saya memberinya gelar “calon korban”. Kenapa korban? Ikut saja cerita ini, akan terjawab mengapa mereka lebih awal saya menyebutnya calon korban.

Petta ini hendak menjalani ritual pemaparan visi-misi atas rencananya menjadi calon kepala daerah pada Pilkada Serentak tahun 2015 ini. Pencoblosannya pada Desember 2015. Sementara Pencalonan pada akhir Juli 2015. Bentangan waktu masih lama dari Mei ke Juli, dari Mei ke Desember. Masih bisa wafat beberapa kali sebelum mendaftar jadi calon di kantor KPU kabupaten pada akhir Juli.

Konon, mirip-mirip alkisah. Kesempurnaan mental dan wawasan sang calon korban saat paparkan visi-misi di depan panelis partai di tingkatan ini sangat menentukan peluang untuk dicalonkan partai yang bersangkutan. Berpeluang mendapatkan sabda DPP.
Ini adalah etape kedua rangkaian ritual ini. Etape yang baru saja berlalu adalah ritual pemaparan visi dan misi di depan panel forum partai yang sama seperti ini di tingkat pimpinan kabupaten. Kira-kira sepekan sebelum di tingkat provinsi ini.

Pemaparan visi dan misi di tingkat provinsi ini relatif lebih komplit ketimbang di kabupaten sebelumnya. Di tingkat ini, panelnya terdiri dari kalangan akademik dua orang, seorang bergelar doktor dan seorang lagi bergelar profesor dan doktor.

Anggota panel lainnya terdiri dari praktisi yang ekspert di bidang pemerintahan, bidang ekonomi makro, bidang ekonomi mikro, dan bidang pertanian-peternakan. Pokoknya, komplitlah. Mereka itu cerdas bin pintar, dan dihonor tinggi-tinggi oleh pengurus DPD partai.

Petta dan calon korban lainnya dicecar oleh anggota panel forum dengan berbagai ragam dan bentuk pertanyaan. Mirip-mirip polisi rahasia Uni Soviet ketika menginterogasi informannya. Saklek, ketat dan nyinyir. Para profesor dan doktor yang wawasannya di bawah standar akademik itu, sangat memukau ketika bertanya.

Tak berapa setelah itu, kawanan figur-figur yang hendak jadi calon korban itu bergerak bergerombol menyerbu Jakarta. Di pusat ini, mereka bergerak berpindah-pindah seperti nelayan mengikuti arus ikan di laut. Mereka digilir, dipelonco oleh interogator-interogator di depan pimpinan partai tingkat pusat (DPP).

Mereka, termasuk Petta, ikhlas dan pasrah mengikuti perpeloncoan DPP. Tidak tanggung-tanggung, ada figur yang habiskan waktu di Jakarta sampai sebulan untuk sambangi 12 kantor DPP partai-partai. Termasuk juga dua partai yang punya dua kantor DPP di Jakarta, Partai PPP dan Partai Golkar.

Di DPP pada salah satu partai misalnya, juga banyak makelar-makelar yang siap 24 jam melumat calon korban seperti Petta. Seorang sekretaris umum partai misalnya, menggerakkan beberapa makelar sesuai jumlah calon korban yang membutuhkan tanda-tangannya. Demikian pula sang ketua umum.

Sementara pengurus lainnya di DPP partai memberikan “bimbingan tes” kepada calon korban untuk menghadapi Uji Fit dan Proper Test. Saya jadi ingat bimbingan tes orang-orang yang sedang melamar pekerjaan. Calon korban siap memberikan presentase terbaik tentang visi-misi mereka.

Para calon korban dan tim berjubel di kantor DPP seperti calon penerima bantuan Sembako di tepi jalan. Seperti kantor POS yang diserbu penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai).

Apa sebenarnya yang terjadi dengan jalan berliku itu semua? Itu yang selalu saya tanyakan saat bulan Juli 2015 beranjak berlalu. Pendaftaran calon di KPU di daerah berlangsung 26 – 28 Juli 2015. Itu artinya, calon korban harus selesaikan URUSAN-nya di DPP paling lambat 27 Juli, sisa tiga hari lagi.

Saya tulis “urusan” dengan huruf kapital. Kenapa? Calon korban ternyata tidak berurusan dengan visi-misi di DPP. Visi-Misi itu hanya sampul Buku Cek (chaque). Yang terpenting diurus oleh calon korban adalah apa kewajiban yang harus mereka tunaikan berdasarkan nominal yang ada pada Buku Cek itu. 

Seorang calon korban sudah diharapkan lebih awal di DPP bahwa perkara visi-misinya sudah bagus, excellent. Hebat bin luar biasa. Dinilai atau tidak dinilai oleh profesor, doktor, atau master, hasil tetap sama. Di DPP, nilai dalam Buku Cek lah yang menjadi faktor pengali terhadap nilai visi-misi.

Bila calon korban gagal memahami isi Buku Cek itu, maka sia-sialah semua visi-misi yang telah dipaparkan mulai dari tingkat kecamatan hingga tingkat DPP. Sabda DPP tidak akan keluar jika calon korban belum lunasi kewajibannya sebagaimana dalam Buku Cek itu.

Apa isi Buku Cek itu? Kesannya seperti kitab suci saja, yang mungkin memuat dalil keselamatan dan kecelakaan bagi sang calon korban!

Buku Cek itu memuat suatu nilai rupiah, atau dolar. Suatu ongkos. Suatu tarif. Suatu yang tak bisa dipertukarkan dengan visi-misi. Dengan sumpah atau janji. Termasuk dengan Loyalitas kepartaian. Juga dengan hasil survei yang top juga tidak tajir.

Besarannya berapa? Itu juga tidak jelas. Alas argumen suatu besaran nilai rupiah dalam Buku Cek itu cair-lentur, dan juga liar. Ada nilai yang dikalikan dengan jumlah kursi di parlemen. Ada juga tanpa argumen sedikit pun.

Saat itu di Jakarta, 27 Juli 2015. Mata saya menatap kosong ke arah Petta yang lunglai. Dia duduk diam-kaku seperti karung tinju. Perkaranya, calon korban partai lainnya yang telah mendapatkan sabda DPP, telah berangkat menyebar ke seluruh pelosok nusantara menemukan kantor KPU. Sementara Petta hanya mendapatkan janji DPP yang kian samar tertinggal roda waktu.

Petta tidak berdaya melihat angka dalam Buku Cek yang harus ditunaikan, Rp 3 milyar. Itu untuk tiga kursi. Lebih besar dari partai koalisi lain yang hanya Rp 1 milyar untuk dua kursi.  

Pada akhirnya Petta sanggupi nilai Rp 1 milyar per kursi itu. Tapi kesanggupan itu tidak menolong. Sebab DPP memihak kepada penawar tertinggi dari calon korban lainnya, yakni Rp 1,5 milyar per kursi. Tunai tanpa embel-embel. Petta tidak sanggup, meskipun ia jual mahal mertuanya atau ipar-iparnya.

Itulah sebabnya kenapa Petta menjadi diam-kaku seperti karung tinju penuh pasir yang jatuh ke lantai. Ia shock karena memikirkan pemaparan visi-misi yang gagah nan cerdas itu. Semua menjadi tidak berarti. Ibarat menggantang asap di angkasa.

DPP memainkan calon korban seperti halnya dalam permainan Halma, menggerakkan pion-pion. Jika membosankan, DPP bisa meninggalkan papan Halma dan melemparkan kembali pion-pion batu itu ke bahu jalan.

“Saya seperti baru saja dihajar bertubi-tubi oleh lawan dan wasit di ring tinju,” ujar Petta sambil matanya tajam menatap dinding tak berkedip. Tangannya terus terkepal.

Benar saja. Petta tidak melaju begitu saja hingga ke DPP di Jakarta. Di dewan pimpinan kecamatan, dirinya dihajar pukulan Jab sebelum diizinkan ber-visi-misi. Di tingkat kabupaten, Petta dihajar dengan pukulan Straight sebelum dizinkan ber-Visi-misi.

Di tingkat Dewan Pimpinan provinsi, Petta dihajar dengan pukulan Hook yang cukup mematikan. Di DPP Jakarta, dihajar dengan pukulan Upper-Cut. Jenis pukulan yang terakhir ini sering menghasilkan KO bagi yang terkena pukulan.

Nilai sakit yang ditimbulkan oleh Upper-Cut adalah Rp 1,5 milyar per kursi. Hook senilai Rp 150 juta, Straight senilai Rp 15 juta, dan Jab senilai Rp 1,5 juta.

Untuk mendapatkan sabda DPP, seorang calon korban harus mendapatkan hajaran dengan empat jenis pukulan tinju di atas pada setiap level. Bahkan saat masih ada pukulan upper-cut yang tersisa di DPP, sang calon korban terpaksa disiram air harapan visi-misi seember agar bisa siuman. Dan kembali bangkit untuk menerima pukulan Upper-cut dari DPP.

Ada juga calon korban yang tidak dihajar di kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. Tetapi mendapatkan PUKULAN AGREGAT di DPP. Dihajar secara random, Jab, Hook, Upper-Cut, Straight, Jab, Straight, dan seterusnya.

Itu baru dari satu partai. Jika harus diusung (dicalonkan oleh beberapa partai) secara berkoalisi, calon korban juga harus menjalani hajaran yang serupa itu di partai-partai lain.

Kita berandai-andai saja bahwa calon korban harus diusung oleh oleh tiga partai. Berarti akan dihajar dengan upper-cut sebanyak paling kurang tiga kali. Begitu juga dengan pukulan Hook. Pantas rahang dan pelipis Petta tidak karuan.

Kondisi seorang calon, yang juga korban partai—yang telah dihajar sedemikian rupa untuk mendapatkan sabda DPP agar pendaftaraannya memenuhi syarat di KPU, tentu hancurnya sudah sampai level 90 persen. Mestinya sudah lempar handuk putih.

Saya lihat kerusakan Petta belum sampai 90 persen. Ia baru sampai pada tahap korban partai. Belum korban pilkada. Sudah pasti bahwa korban pilkada, dengan sendirinya juga adalah korban partai.

Jika Calon Korban lolos menjadi calon kepala daerah dalam status rusak 90 persen, lantas kemudian kalah, betapa nelangsa risalah hidup sang korban. Tuhan, semoga mereka jauh dari barang tajam dan racun serangga. Amin.

Setelah partai-partai, gerombolan berikutnya yang siap menghajar calon korban:
1. Kawanan Pengacara
2. Kawanan konsultan hukum
3. Kawanan Tim Sukses
4. Kawanan Konsultan Kampanye
5. Kawanan Lembaga Survei
6. Kawanan makelar percetakan
7. Kawanan biro iklan
8. Kawanan ahli nujum
9. Kawanan Pakkappala’-Tallang (penipu)
10. Kawanan Makelar Massa
11. Kawanan pemilik suara.

Selamat berpilkada. Jangan lupa jika menang, beryukurlah pada Tuhan. Jika kalah, berusujudlah di Mahkamah Konstitusi (MK). Dan, jangan sekali-kali kalah dengan tenang dan ramah.


Makassar, 7 Agustus 2015 

1 komentar:

bruce mengatakan...

good writing

follow me @maqbulhalim