SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Jumat, 28 Desember 2018

Ulama dan Bukan Ulama


Perkara tesis dan anti-tesis mungkin sudah berlangsung di Indonesia menjelang Pilpres 2019. Di film kita mengenal aktor protagonis (yang baik) dan antagonis (yang tidak baik). Kedua kutub ini dipertentangkan sepanjang film berjalan.

Dalam sistem nilai logika oposisi, ilmu pengetahuan juga selalu memperhadapkan, jika bukan mempertentangkan dua kutub. Yakni kutub positif dan negatif. Subyek terhadap obyek. Seperti lazimnya mempertentangkan warna hitam terhadap putih. Atau penjahat terhadap pembaik. Pejuang/pahlawan terhadap pengkhianat. Proletar terhadap Bornjuis.

Pilpres Indonesia pada Pemilu 2019, juga menghadirkan dua kutub yang "wajib" dipertentangkan, sesuai keputusan KPU RI. Yakni sosok Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Dulu, Pemilu 2014, Jokowi adalah antagonis terhadap Prabowo, dan juga Prabowo adalah antagonis terhadap Jokowi. Waktu itu, Jokowi pihak yang menang dan Prabowo pihak yang kalah. Titik logika pertentangannya adalah pada "kalah" terhadap "menang".

Dalam film-film yang dibuat oleh pedagang, kita selalu berharap agar film-film yang dibuat dapat diakhiri dengan kemenangan di pihak yang tidak jahat. Pihak yang jahat wajib kalah. Ini sesuai dengan hati nurani manusia.

Jika Pilpres 2014 itu adalah film yang dibuat, film yang disutradarai, maka kita mestinya punya alasan mengapa Jokowi yang menang, jika tidak bermaksud mengatakah bahwa Jokowi dimenangkan. Dan sebaliknya, mengapa Prabowo di pihak yang kalah, jika tidak mengatakan Prabowo menjadi pihak yang dikalahkan.

Di sini jelas pembagian kolomnya: Penjahat vs Pembaik. Dimenangkan vs Dikalahkan. Pemenang vs Pekalah. Jadi di sini adalah pertentangan (opsisi) yang partikular, dua entitas saling bertentangan penuh.

Sayangnya, sampai saat ini tidak pernah jelas, mana yang kutub jahat dan yang mana yang tidak jahat pada Pilpres 2014 itu.

Dalam konteks agama, Neraka oposisi dari Sorga. Malaikat dipertentangkan terhadap Iblis/Setan. Konteks agama menjelang Pemilu Pilpres 2019, khususnya Agama Islam, pertentangan sudah dipolakan: Muslim dan Non-Muslim, atau Islam dan kafir, ulama dan bukan Ulama. Khusus kata "bukan ulama", itu beresiko untuk diberi pejelasan atau definisi.

Apa resikonya? Resiko yang paling pasti adalah Prabowo didukung oleh Ulama sementara Jokowi didukung oleh bukan ulama, dengan kata lain Jokowi didukung oleh lawannya ulama dalam pengertian logika oposisi. Siapakah lawannya ulama? Inilah yang dimaksud beresiko.

Diskursus ulama tidak mungkin diidentikkan dengan diskursus penjahat (awas salah baca "penjahit"), diskursus kafir, diskursus non-Muslim. Yang identik dengan ulama itu adalah unsur-unsur seperti fasih mengaji, imam Solat, rutin Salat, tidak merayakan Natal, akhlaknya baik, santun dalam bertutur (tidak marah-marah, apalagi pukul-pukul meja, sebagaimana Rasulullah SAW yang diketahui tidak pernah marah-marah dan menghardik). Mereka inilah, ulama inilah yang mendukung Prabowo melalui produksi Ijtima.

Pihak yang merupakan lawannya (bukan) Ulama, inilah yang mendukung Jokowi. Lawan ulama, atau bukan ulama, bisa diidentikkan dengan tidak Solat, karena Solat itu identik dengan Ulama. Tidak bisa ngaji, karena Ngaji baca Al Qur'an itu identik dengan Ulama. Mereka yang non-ulama, atau oposannya ulama inilah yang mendukung Jokowi.

Jika dibuat, kira-kira resumenya akan menjadi sepert ini: ulama yang selalu jadi Imam Solat, tentu mendukung calon presiden yang bisa memimpin Solat, setidak bisa Solat tunggal. Karena itu, jika ulama mendukung Prabowo, dapat dipastikan Prabowo pasti bisa pimpin Solat. Ulama pasti tidak salah dukung.   

Jika ternyata Prabowo tidak bisa pimpin Solat, kemungkinan ulama pendukungnya satu kotak dengan Prabowo.

Sebaliknya pun begitu, jika Jokowi didukung oleh bukan ulama (lawannya ulama), maka Jokowi kemungkinan tidak mampu jadi imam Solat.

Jika dirunut logika pertentangan tersebut, akan seperti ini hasilnya: Prabowo bisa pimpin Solat karena didukung ulama, sementara Jokowi tidak bisa pimpin Solat karena didukung oleh bukan ulama.

Nah, kawan-kawan silakan memilih, apakah memilih logikanya atau memilih faktanya! Apakah memilih dukungan ulama, atau memilih dukungan dari yang bukan ulama!

Makassar, 28 Desember 2018

*) Gambar dikutip dari sumber: http://www.halaqoh.net/2017/02/enam-nama-kiai-dahlan-dan-pentingnya.html

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim